Thomas Stamford Raffles (1781-1826)
Hatinya Tertambat di Tanah Jawa
Judul buku : The History of Java
Penulis : Thomas Stamford Raffles
Penerjemah : Eko Prasetyaningrum, dkk.
Penerbit : Narasi, Yogyakarta
Edisi : I, 2008
Tebal buku : xxxvi + 904 hlm. (Hard cover)
Orang Inggris dan Singapura menyebutnya dengan panggilan terhormat, Sir. Padahal, sosok yang paling banyak meninggalkan nama ilmiah pada kekayaan flora dan fauna di Hindia Belanda ini tidak lahir dari lingkungan istana. Dia bukan bangsawan atau kaum feodal yang berhak menyandang gelar “Tuan”. Bayi yang diberi nama Thomas Raffles ini lahir nun jauh di lepas pantai Jamaika, dekat Port Morant, di atas geladak Kapal Ann, pada 6 Juli 1781.
Ayahnya, Benjamin Raffles (1739-1812), pada awalnya hanyalah seorang tukang masak di sebuah kapal hingga akhirnya menjadi kapten. Ibunya adalah Anne Lyde Linderman (1752-1824), putri pasangan William Linderman (1721-1791) dan Susannah Leigh (1725-1754).
Krisis ekonomi yang melanda Inggris pada masa itu menyebabkan keluarga Kapten Benjamin Raffles ini menghadapi kesulitan ekonomi yang cukup berat. Situasi ekonomi yang tidak menentu memaksa Thomas Raffles muda untuk mencari pekerjaan guna menyokong ekonomi keluarganya. Ditunjang pendidikan formal seadaya, Thomas Raffles beruntung tatkala ayah dari seorang sahabatnya memberinya pekerjaan pertama sebagai juru tulis di sebuah perusahaan Hindia Timur (1795). Raffles dikenal sebagai pemuda yang tekun dan rajin belajar. Berkat keuletan dan kemauannya yang keras, ia kemudian dipromosikan menjadi Asisten Sekretaris di perusahaan yang sama untuk wilayah Kepulauan Melayu.
Thomas Raffles baru mencantumkan nama “Stamford” di tengah namanya di kemudian hari, yakni ketika sosok berkarakter penuh warna ini berkembang menjadi pribadi yang sangat dihormati di kawasan Laut Cina Selatan. Sejarah hidupnya dimulai, ketika anak seorang pelaut ini dikirim ke Pulau Penang, Malaysia (1804).
Pada 1811, Thomas Stamford Raffles disertakan dalam rombongan ekspedisi ke Tanah Jawa sebagai Letnan Gubernur (Lieutenant Governor of Java), di bawah perintah Gubernur Jenderal (di India) Sir Gilbert Elliot Murray-Kynynmond (1751-1814) yang lebih dikenal dengan nama Lord Minto; hingga 1817. Lord Minto menyukai Raffles karena kemampuannya dalam berbahasa Melayu sehingga ia dikirim ke Malaka. Tidak lama setelah tiba di Tanah Jawa, Raffles mengatur ekspedisi militer melawan Belanda di Jawa.
Thomas Stamford Raffles mengadakan negosiasi dengan pihak Belanda untuk mencapai perdamaian dan mengatur berbagai ekspedisi kecil untuk menaklukkan sejumlah pangeran lokal, sekaligus mengambilalih Pulau Bangka untuk menjamin kekuasaan Inggris di daerah itu bila Jawa kembali ke dalam kekuasaan Belanda pasca-Perang Koalisi Keenam di Eropa.
Setelah Jawa dikembalikan kepada kolonial Belanda sebagai akibat Perang Napoleon, yang diatur oleh Perjanjian Anglo-Belanda (1814); Raffles kembali ke London (1815) karena mengidap penyakit tropis yang cukup parah, serta kesedihannya yang mendalam karena meninggalnya istri pertama yang dinikahinya pada 14 Maret 1805, Olive Marianne Devenish, di Jawa pada 26 November 1814 karena penyakit malaria.
Thomas Stamford Raffles pernah menjadi Gubernur Jenderal pada masa yang sangat singkat di Jawa. Selama kepemimpinannya (1811-1816), dia mengubah sistem tanam paksa (cultuur stelsel) yang diberlakukan kolonial Belanda dengan sistem kepemilikan tanah yang kemungkinan besar dipengaruhi oleh tulisan awal Dirk van Hogendorp (1761-1822). Dia pun menerapkan kebijakan landrente atau pajak bumi yang dilaksanakan berdasarkan hukum adat di Jawa. Prinsip yang digunakannya berdasarkan pada teori liberalisme, seperti dipraktikkan Inggris di India. Raffles menetapkan bahwa semua tanah adalah milik negara dan rakyat sebagai pemakai (penggarap) tanah wajib membayar sewa (berupa pajak bumi) kepada pemerintah. Pemimpin pribumi seperti sultan dan bupati yang tidak taat pada peraturan landrente, akan dipecat. Dia juga mengubah sistem berkendara di koloni Belanda menjadi sistem berkendara seperti di Inggris, yaitu di jalur kiri yang dipakai hingga sekarang.
Selain menerapkan kebijakan landrente, Thomas Stamford Raffles membagi Tanah Jawa ke dalam 16 karesidenan serta mengurangi jabatan bupati yang berkuasa. Kesultanan Banten dihapuskan, kedaulatan Kesultanan Cirebon harus diserahkan kepada kolonial Inggris, Sri Sultan Hamengkubuwono II (1750-1828) yang adalah Raja Kesultanan Yogyakarta karena bertentangan pendapat dengan Raffles, diasingkan ke Pulau Pinang (1812). Pengganti Sultan Sepuh—julukan Sri Sultan Hamengkubuwono II—adalah Sri Sultan Hamengkubuwono III (1769-1814), ayahanda dari Raden Mas Ontowiryo atau Pangeran Diponegoro (1785-1855).
Dengan diberlakukannya Konvensi London (13 Agustus 1814), bahwa semua wilayah yang pernah dikuasai Belanda harus dikembalikan oleh pihak Inggris. Kecuali Bangka, Belitung, dan Bengkulu yang diterima Inggris dari Sultan Najamuddin (Palembang). Raffles menerima konvensi itu yang sebenarnya tidak disetujuinya karena mengetahui kekayaan alam Hindia Belanda yang akan sangat menguntungkan pihak Inggris. Raffles pun kemudian ditarik kembali ke Inggris dan digantikan oleh John Fendall (1762-1825).
Pada 1818, Thomas Stamford Raffles kembali ke timur dan segera dipromosikan menjadi Gubernur Bengkulu (Bencoolen) yang sekarang dikenal sebagai Pulau Sumatera. Pada masa pemerintahannya di pesisir pantai barat Sumatera itu, Raffles melakukan banyak kegiatan penelitian flora dan fauna, yang baginya sangat menakjubkan. Dia menelusuri hutan di pedalaman Sumatera serta sebagian Pulau Jawa bersama para ahli binatang dan botani yang dipekerjakannya di luar misi imperialisme dagang yang ditugaskan Kerajaan Inggris. Eksotisme flora dan fauna di Tanah Jawa dan Sumatera, telah membuat hatinya tertambat.
Setahun masa pendudukannya di bagian barat Sumatera, Raffles kemudian menggagas proyek bernama “Singapore”. Proyek mercusuar ini adalah pelampiasan dari rasa kecewanya karena penyerahan Tanah Jawa kepada Belanda. Beberapa proyek botani dan arkeologinya di sana terputus. Pada 19 Januari 1819, dia menggagas penguasaan Pulau Singapura yang mengapung di Selat Malaka lewat perjanjian antara Temenggong Sri Maharaja dan Raffles mewakili Perusahaan Hindia Timur. Dalam perjanjian itu, Inggris diizinkan mendirikan pusat perdagangan di Singapura. Sebagai imbalannya, Temenggong Sri Maharaja akan dilindungi dari ancaman serangan Belanda dan orang Bugis. Raffles bersumpah menciptakan koloni baru yang meskipun kecil, akan jauh lebih maju daripada Tanah Jawa.
Sumpah Thomas Stamford Raffles ini kemudian terbukti. Pulau Sungapura melesat menjadi koloni perdagangan paling strategis dalam sejarah kolonialisme Inggris di Hindia Timur. Obsesi Raffles menghentikan laju Belanda dalam menguasai kepentingan Inggris di Hindia Timur berjalan baik. Komoditas perdagangan yang mengalir dari pesisir timur Sumatera tetap dapat mereka tampung tanpa harus menguasai pesisir tersebut secara teritorial.
Belakangan, Belanda yang lebih agresif dengan orientasi penguasaan teritorial, akhirnya berhasil mengendalikan Sumatera Timur yang kemudian berkembang menjadi sentra perkebunan terpenting di Asia Tenggara. Perdagangan di Selat Malaka pun menjadi panas. Inggris dan Belanda saling tuding tentang pelanggaran Traktat London yang mereka sepakati bersama pada 1824. Kedua imperialis Eropa itu saling berseteru memperebutkan “kue” perdagangan di Pulau Sumatera, yang disebut-sebut sebagai “tanah harapan”.
Dari Calcutta (India), Gubernur Jenderal Lord Hastings mengakui pendapat Raffles bahwa jalur laut yang paling penting, Selat Malaka, harus dilindungi jika ingin menjamin keamanan perdagangan Inggris di kawasan Laut Cina Selatan. Singapura yang terpilih sebagai frontliner di rute itu akhirnya berhasil menjadi pemimpin perdagangan di jalur tersibuk itu.
Di Bengkulu, Raffles mendirikan benteng paling besar kedua di Asia Pasifik setelah benteng utama di India. Dari pendirian benteng yang demikian kokoh dan multifungsi itu, dapat dipastikan Raffles memiliki cita-cita tinggi di kawasan ini. Sayang karena gejolak politik di Eropa, pada 1823 ia terpaksa meninggalkan Sumatera. Namun dia sempat mewujudkan obsesinya di Singapura dalam proyek botani dan satwa Hindia Timur, terutama di Sumatera. Imperialis Inggris ini menggagas pendirian Raffles Museum di Singapura untuk mendokumentasikan binatang dan tanaman khas yang terdapat di Jawa dan Sumatera.
Berdasarkan catatan dalam buku biografi Memoir of the Life and Public Services of Sir Thomas Stamford Raffles (1830), yang ditulis oleh istri kedua Thomas Stamford Raffles, Sophia Hull (1786-1858)—menikah dengan Raffles di Gereja St. Marylebone, London (22 Februari 1817), koleksi spesimen binatang yang dimiliki Raffles sangat banyak dan bervariasi.
Raffles dikenal sebagai pecinta ilmu biologi. Sekembalinya ke London, dia mendirikan London Zoo dan Zoological Society of London yang terkenal hingga kini di Inggris. Dia memberi nama sejumlah binatang dengan memakai nama Sumatera, di antaranya: Rhizomys sumatrensis (tikus bambu besar), Ardea sumatrana (Great-billed Heron), Sterna sumatrana (Black-naped Tern), Phaenicophaeus sumatranus (Chestnut-bellied Malkoha), Bubo sumatranus (Barred Eagle Owl), dan Corydon sumatranus (Dusky Broadbill).
Karena kerja kerasnya di bidang biologi, sederatan jenis tumbuhan dan binatang telah dinamai dengan menggunakan namanya (rafflesi). Di antaranya: Megalaima rafflesi (Red-crowned Barbet), Dinopium rafflesi (Olive-backed Woodpecker), dan Chaetodon rafflesi (Latticed Butterflyfish). Barangkali tumbuhan paling terkenal yang juga menggunakan namanya adalah Rafflesia arnoldii, sejenis tumbuhan parasit di pohon palem yang ditemukan Thomas Stamford Raffles di sekitar Bengkulu (Sumatera).
Thomas Stamford Raffles meninggal dunia sehari sebelum ulang tahunnya yang ke-45 (5 Juli 1826), atau hanya dua tahun sekembalinya dari Hindia Timur karena apoplexy atau stroke. Raffles dianggap sebagai salah seorang pelopor kajian Jawa, serta bukunya menjadi sumber gagasan Barat mengenai daerah tersebut dan sebagai titik awal pengkajian wilayah Timur.
Buku The History of Jawa ini bukan sekadar rekam jejak perjalanan Raffles di Hindia Belanda, terutama di Jawa dan Sumatera. Dia telah mengusahakan banyak hal seperti mengintroduksi otonomi terbatas, menghentikan perdagangan budak, mereformasi sistem pertanahan yang pernah diberlakukan pemerintah kolonial Belanda, melakukan penelitian mendalam atas sastra kuno Jawa, serta mendokumentasikan peninggalan arsitektur kuno seperti Candi Borobudur dan Candi Prambanan.
Buku The History of Java diterbitkan pertama kali pada 1817 dalam dua jilid besar (jilid I: 479 halaman, dan jilid II: 291 halaman), yang dilengkapi dengan ilustrasi gambar berwarna yang cukup mewah dan menarik pada masanya. Pada 1965, buku karya Thomas Stamford Raffles ini telah dicetak ulang oleh Oxford University Press, London (Inggris). Buku ini merupakan referensi utama tentang Tanah Jawa yang eksotik dan bersifat komprehensif.
Syafruddin Azhar adalah editor dan penulis serta peneliti pada Lembaga Pemerhati Kebijakan Publik (LPKP) Jakarta.
Thursday, August 28, 2008
The History of Java
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment