Fakta tentang Barack Obama
Setan Berkedok Malaikat?
Judul buku : Mau ke Mana Obama?
Judul asli : An American Story: The Speeches of Barack Obama; A Primer
Penulis : David Olive
Penerjemah : Hari Ambari, Dewi Anggraeni
Penerbit : Zahra, Jakarta
Edisi : I, Agustus 2008
Tebal buku : 272 hlm.
“Saya mendapat dukungan paling kuat dari komunitas Yahudi. Itu karena sejak dulu saya menjadi sahabat dekat Israel. Saya pikir, mereka adalah salah satu sekutu kita yang paling penting.”—Barack Obama
Sejak Barack Obama muncul ke hadapan publik Amerika (dan dunia) untuk memperkenalkan dirinya sebagai bakal calon Presiden Amerika Serikat, Senator asal Illinois ini hadir bagaikan “the rising star” yang akan melakukan perubahan mendasar atas politik luar negeri Amerika menjadi lebih humanis, lebih bersahabat (dialog) ketimbang aksi militer, sebagaimana dilakukan pendahulunya dari Washington (Gedung Putih).
Setan Berkedok Malaikat?
Judul buku : Mau ke Mana Obama?
Judul asli : An American Story: The Speeches of Barack Obama; A Primer
Penulis : David Olive
Penerjemah : Hari Ambari, Dewi Anggraeni
Penerbit : Zahra, Jakarta
Edisi : I, Agustus 2008
Tebal buku : 272 hlm.
“Saya mendapat dukungan paling kuat dari komunitas Yahudi. Itu karena sejak dulu saya menjadi sahabat dekat Israel. Saya pikir, mereka adalah salah satu sekutu kita yang paling penting.”—Barack Obama
Sejak Barack Obama muncul ke hadapan publik Amerika (dan dunia) untuk memperkenalkan dirinya sebagai bakal calon Presiden Amerika Serikat, Senator asal Illinois ini hadir bagaikan “the rising star” yang akan melakukan perubahan mendasar atas politik luar negeri Amerika menjadi lebih humanis, lebih bersahabat (dialog) ketimbang aksi militer, sebagaimana dilakukan pendahulunya dari Washington (Gedung Putih).
Obama menjadi figur nasional untuk pertama kalinya dengan pidatonya pada 27 Juli 2004 di Konvensi Nasional Partai Demokrat di Fleet Center Boston yang memilih Senator John Kerry sebagai nominasi calon presiden. Dia mampu membangkitkan spirit Amerika dan mendapat banyak pujian, baik dari kubu konservatif maupun liberal. Penampilannya memesona publik Amerika dengan cerita kehidupan pribadinya dan tentang mimpi Amerika. Dua tema itu—kebutuhan untuk bersatu mengatasi masalah penting di Amerika, dan Obama sebagai salah satu perwujudan mimpi Amerika—menjadi penentu pencalonan dirinya sebagai calon Presiden ke-44 Amerika Serikat empat tahun kemudian.
Karena itu, melejitnya Obama (Partai Demokrat) sebagai kans terkuat mengalahkan rivalnya dari Partai Republik, John McCain, membawa pandangan baru bagi publik Amerika, dan bahkan masyarakat dunia dengan harapan baru yang lebih membumi.
Banyak kalangan menggantungkan harapan pada Obama. Banyak yang mengira, jika dia terpilih menjadi Presiden Amerika Serikat, ia akan menjadikan Amerika lebih bersahabat (secara politis) dengan dunia, terutama dunia Islam. Tetapi, benarkah itu?
Buku Mau ke Mana Obama? karya David Olive, jurnalis Kanada yang kerap memenangi berbagai penghargaan jurnalistik ini, menyajikan fakta tentang Obama. Melalui pidatonya yang disajikan dalam buku ini, akan memahami langkah politiknya bila menjadi Presiden Amerika Serikat. Buku luar biasa ini menyajikan pikiran Obama sendiri, yang dengannya publik dapat membaca dan memahami langkahnya ke depan.
Buku karya Olive ini merupakan kumpulan pidato unik yang mendorong kebangkitan tak terduga kandidat unggulan untuk menduduki jabatan tertinggi di Gedung Putih. Obama menyampaikan detail pembaruan dan reformasi dalam bidang pendidikan, kesehatan, kemandirian energi, kebijakan internasional, serta isu politik dan ekonomi lainnya. Dalam acara Konvensi Nasional Demokrat (2004), suami Michelle ini menyampaikan semboyannya menyatukan harapan bangsa, mencptakan keterbukaan, dan pendekatan inklusif politik Amerika, serta mengatur barisan untuk menghadapi tantangan terorisme, penggunaan nuklir, perubahan iklim, dan krisis energi.
“Kenapa menjadi presiden jika kau tidak berniat menjadi presiden yang baik?” Itulah salah satu ungkapan isi hati Barack Obama yang pernah ia sampaikan kepada salah seorang sahabatnya. Pertanyaannya, presiden yang baik untuk siapa?
Lewat kumpulan pidato politik yang pernah disampaikan Obama ini, akan terungkap fakta tentangnya, skenario kebijakan politik bila Obama terpilih menjadi Presiden Amerika Serikat nantinya. Di antaranya: mendukung Zionis Israel; menentang kemajuan negara kaum muslim yang mandiri seperti Iran dan Suriah; menganggap Irak, Afghanistan, dan Pakistan sebagai sarang teroris; dan menolak dukungan atas Nation of Islam.
Barack Obama yang pernah menjalani masa kecilnya dan bersekolah di Jakarta serta memiliki ikatan emosional (kekeluargaan) dengan bangsa Indonesia karena ayah tirinya, Lolo Soetoro, adalah warga asli Indonesia; sudah barang tentu memiliki ikatan emosional yang sangat erat dengan bangsa Indonesia. Banyak kalangan di Tanah Air menaruh harapan tinggi pada Obama. Jika ia terpilih menjadi Presiden Amerika, akan mengubah kebijakan luar negeri dan cara pandang masyarakat Amerika khususnya dan negara Barat pada umumnya terhadap Islam, khususnya kaum muslim di Indonesia.
Akankah harapan ini terwujud? Buku Mau ke Mana Obama? ini justru menyajikan fakta yang sebaliknya. Ketika menyampaikan pidato pada saat demo antiperang di Chicago Federal Plaza (2 Oktober 2002), pada saat itu orang berpengaruh di Partai Demokrat, termasuk mantan Wakil Presiden Al Gore, Senator Ted Kennedy, Robert Byrd, Bob Graham, dan Senator Dick Durbin, menentang rencana perang Presiden George W. Bush di Irak. Namun kemudian, petinggi senat di Partai Demokrat, termasuk rival Obama pada pemilihan presiden 2008 seperti Hillary Clinton dan John Edwards, akhirnya mendukung rencana perang Presiden Bush, serta menginvasi Irak. Adapun Obama memiliki pandangan yang berbeda dengan arus pemikiran utama Partai Demokrat.
Obama berseru, “Perang di Irak telah membesarkan hati Iran yang memberikan tantangan terbesar terhadap kepentingan Amerika di Timur Tengah, meneruskan program nuklir mereka dan mengancam sekutu kita, Israel. Hamas menguasai Gaza, bendera Hizbullah berkibar di Kota Sadr. Kalau saya jadi presiden, kita akan menjalani perang yang harus dimenangkan: keluar dari Irak menuju ke medan yang tepat, yakni ke Afghanistan dan Pakistan. Sebagai presiden, saya akan membuat Program Kerja Sama Keamanan Bersama demi melumpuhkan jaringan teroris dari pulau-pulau terpencil di Indonesia hingga ke kota-kota yang membujur di Afrika. Saya juga akan mendukung Dana Pendidikan Global untuk melawan madrasah-madrasah radikal.”
Buku ini tidak hanya menyuguhkan 20 pidato politik terbaik Obama, yang tercatat lengkap; namun juga menyajikan profil Barack Obama dan istrinya, Michelle; kronologi lengkap kehidupan Obama; penjelasan rinci kebijakan Obama dibandingkan dengan rivalnya dalam perebutan kursi presiden di Gedung Putih, John McCain.
Pidato politik yang pernah disampaikan Obama, sebagaimana disajikan dalam buku Mau ke Mana Obama? ini, berkisar pada isu tentang masa depan invasi militer di Irak; Obama mengeluhkan pemisahan yang salah di antara rakyat Amerika; mengutuk tindakan penelantaran terhadap veteran militer; pendekatan pragmatik Obama untuk kemajuan politik; perubahan iklim harus segera ditindaklanjuti; blueprint penarikan mundur tentara di Irak dan mengembalikan stabilitas di Timur Tengah; rencana penghancuran terorisme global; serta pandangan orang Amerika garis keras dan humanitarian.
Ketika menyampaikan pidato mengenai kebijakan luar negeri Amerika Serikat di atas kapal komando (19 Maret 2008) di Fayetteville, Carolina Utara, Obama menguak pendekatan holistik dalam merenungkan konsekuensi tindakan Amerika—diplomatik, militer, dan humanitarian—dalam penegasan kembali untuk meneruskan kepemimpinan Amerika Serikat dengan lebih komprehensif dan multidimensional. (hlm. 214)
Mengenai fenomena dan dilematika perang terhadap terorisme dan perang di Irak, Obama memiliki pandangan yang berbeda dan fundamental. “Saya akan mengakhiri peperangan ini. Mengakhiri perang adalah hal yang tepat demi keamanan nasional kita dan akan membuat kita menjadi lebih aman.” (hlm. 221) Demikian pernyataan Obama di Fayetteville, Carolina Utara (19 Maret 2008). Dia mengutuk Presiden Bush karena kebijakannya menginvasi Irak dan perang pada 2001.
Dalam pidato politiknya, Obama mengatakan, “Ada seorang presiden yang ideologinya mengesampingkan pragmatisme... Pelajaran mengenai Irak adalah ketika kita membuat keputusan mengenai hal-hal yang gawat seperti perang, kita membutuhkan kebijakan yang punya akar di dalam alasan dan fakta, bukan ideologi dan politik.”
Anehnya, terhadap kebijakan luar negeri Amerika Serikat atas Zionis Israel, Obama tampaknya adalah pemimpin yang ideologinya justru mengesampingkan pragmatisme. Dia tidak akan memutuskan kebijakan yang memiliki akar di dalam alasan dan fakta, namun kelewat peduli pada romantisme hubungan emosional dengan komunitas Yahudi itu. (Dimuat Koran Jakarta, 8 September 2008; hlm. 4)
Syafruddin Azhar, kolumnis dan peneliti pada Lembaga Pemerhati Kebijakan Publik (LPKP) Jakarta.
Syafruddin Azhar, kolumnis dan peneliti pada Lembaga Pemerhati Kebijakan Publik (LPKP) Jakarta.
No comments:
Post a Comment