Friday, January 26, 2007

Res Publica

Pengalaman dengan kekuasaan, kata orang bijak, acap kali melahirkan alegori. Kita hendak mengatakan tentang satu hal dengan cara menampilkan hal yang lain. Begitu kira-kira. Dalam konteks kekuasaan seperti ini, pelbagai ekspresi kesenian (seni rupa dan puisi) dapat dikatakan sebagai alegori yang tak tepermanai.
Dari sini kita menyadari bahwa kita selamanya berada bersama dalam sebuah terra incognita (Lt.: daerah, wilayah tak dikenal; daerah yang belum dijelejahi) yang menyimpan apa yang tak selamanya muncul ke permukaan: sebuah the public affairs atau res publica (Lt.: hal dan kepentingan umum/publik, atau urusan kita bersama) antah-berantah tempat bergejolaknya semua ketidakpastian, kepedihan, perlawanan rakyat yang tak berkesudahan, serta intrik, dengki, dan tipu muslihat.
Novelis kelahiran Florence, Italia, Roberto Calasso (penulis sejumlah novel dan buku bermutu seperti L’impuro folle (1974), The Marriage of Cadmus and Harmony (1993), The Ruin of Kasch (1994), Ka: Stories of the Mind and Gods of India (1998), dan The Forty-nine Steps (2001) pernah mengatakan, “Kesusastraan adalah paspor istimewa yang paling langsung diterima ke dalam terra incognita itu.” Tentu saja ini tak hanya berkenaan dengan kesusastraan, ia berlaku universal.
Saya kira ia benar. Karena itu, saya harus bercermin pada sahabat cerpenis, Kurnia Effendi. Kef (begitu ia biasa disapa) yang minggu depan akan meluncurkan antologi cerpen terbarunya, Burung Kolibri Merah Dadu (2007), seolah ingin berkata senada yang diungkap Calasso, bahwa “Sastra membuat pikiran (mind) dan tubuh (body) kita menjadi lebih rasional dan sensitif terhadap kekuasaan”. Tentu saja ia tak sedang berfilsafat melalui pendekatan Epistemologinya René Descartes (1596-1650). Namun saya percaya, ‘pisau’ sastra bisa merobek jantung kekuasaan (régime).
Sejarah kekuasaan di Tanah Air—sejak zaman Orde “Soekarno” Lama (1945-1966) dan Orde “Soeharto” Baru (1967-1998), adalah ironi represif. Puisi dibungkam. Pementasan teater dilarang. Seniman sastra dipenjara. Penulis buku diinterogasi. Begitulah adanya. Tapi itu dulu, ancien régime. Sekarang, justru sebaliknya. Rezim diawasi, dikritisi, dicemoohi, dihujat, dan bila perlu mandatnya dicabut.
Benar. Sebuah catatan pernah mengemuka. Dengan nada risau, tentang akhir abad ke-20, oleh sejarawan Marxis-Inggris kelahiran Aleksandria, Mesir, Eric John Earnest Hobsbawm (l. 1917). Penulis buku sejarah populer dan biografi seperti The Age of Revolution: Europe 1789-1848 (1962), Bandits (1969), dan Revolutionaries: contemporary essays (1973) ini pernah mengatakan (dalam sebuah ceramah ilmiah di depan The American Anthropological Association, yang dimuat dalam Anthropology Today, Februari 1992), bahwa apa yang mempersatukan umat manusia hari ini adalah justru penampikan terhadap sesuatu yang sama-sama bisa dimiliki: “What holds humanity together today is the denial of what human race has in common”.
Apa yang berbeda memang mengasyikkan, dan apa yang berbeda mengganggu mimpi kita. Perbedaan (pendapat dan visi) di antara kita dan di antara para elite politik, mungkin saja, melahirkan anarki (kekacauan dalam suatu negara). Perbedaan ini ibarat madu dan racun. Dibutuhkan dan dihindari. Tetapi, kalau kritikan yang timbul karena adanya perbedaan pandangan dan visi menjadi “api dalam sekam”, maka perseteruan ini tak akan melahirkan welfare state yang diimpikan.
Kita terjerat dalam problema pelik tak terpecahkan. Paralisis politik, kepemimpinan politik mediocre dengan wawasan ke depan yang dangkal. Hilangnya kebersamaan dan menggunungnya rasa permusuhan di antara kita. Konflik sosial, rasial dan etnik, kejahatan terorganisasi yang anarki menyebabkan hidup bersama dalam damai semakin sulit didapat. Harapan akan kesejahteraan dan kedamaian di antara kita, sulit terwujud.
Dari waktu ke waktu kita terus menyaksikan para pemimpin bangsa (elite politik) saling menghasut dan menyerang, saling membenci, saling menuding, saling menyalahkan, dan xenophobia yang kerap kali mengilhami mereka untuk melakukan tindakan kekerasan kepada pihak lain dengan legitimasi “mandat rakyat”.
Selama ini, kita sering kali mudah ditelan oleh gegap gempita proklamasi yang bernada holier than thou (saya lebih suci daripada anda), atau “perjuangan saya lebih benar”. Di lain pihak, mereka pun berkata: “Apa yang anda lakukan tidak populis, sekadar wacana (“tebar pesona”) tanpa bukti konkret yang bisa menyejahterakan rakyat”.
Proklamasi ini semakin keras ditopang oleh pola perilaku yang sejalan. Semakin kuat tantangan dari luar, semakin meningkat kecenderungan untuk melarikan diri ke alam yang tidak riil yang bisa mempersetani pemikiran yang nuchter. Kalau ini semakin menjadi gejala umum di negeri ini, apa lagi yang bisa diharapkan selain meluasnya perasaan desperation di antara kita? So what?
Kegemaran kita membicarakan secara ad infinitum (Lt.: tidak terbatas; selamanya) perkara “kepemimpinan” (dan kekuasaan) sebagai penyebab masalah yang mendera negeri ini, mungkin punya muasalnya (asbabun nuzul). Peneliti independen, B. Herry-priyono, mengelompokkan penyebab masalah ini ke dalam lima gejala umum (“Kepemimpinan Republik” dalam Esei-esei Bentara 2004, 2004).
Pertama, kita belum beranjak dari masa kanak-kanak ketika apa yang memikat adalah dongeng tentang orang-orang hebat, mythical or real. Kedua, kegemaran itu adalah bagian pemujaan kepada pahlawan. Gejala ini merupakan implikasi dari pokok di atas: barangsiapa menyelamatkan kita dari kesesakan, dialah sang pahlawan. Ketiga, gejala itu merupakan cara kita membebankan solusi masalah pada pemimpin. Keempat, pembicaraan kita tentang kepemimpinan berakar pada truisme berikut. Berbagai masalah yang mengepung kita bukan gejala alami seperti gempa Bumi, tetapi hasil relasi timbal balik antara tindakan manusia dan struktur sosial. Kelima, kontroversial tentang kepemimpinan merupakan kombinasi keempat pokok di atas.
Kita harus sadar, tak ada masyarakat yang tak memiliki masalah. Wacana tentang “masyarakat yang bebas masalah” adalah buih verbal tak bermakna. Maka, masalah yang mendera bangsa dan negeri ini merupakan urusan kita bersama. Kita, tentu saja, ingin tetap hidup bersama dalam Ibu Pertiwi. Dan, Indonesia adalah sebuah cita-cita luhur res publica. Cita-cita res publica tidak terjadi di ruang kosong, tetapi berlangsung dalam hiruk-pikuk basic instincts kita. Itulah pathos kekuasaan (pathos of power). ■ (Syafruddin Azhar/PARLE 73)