Monday, September 29, 2008

Tionghoa dalam Cengkeraman SBKRI


Etnik Tionghoa dalam Kemelut SBKRI

Judul buku : Tionghoa dalam Cengkeraman SBKRI
Penulis : Wahyu Effendi dan Prasetyadji
Penerbit : Visimedia, Jakarta
Edisi : I, 2008
Tebal buku : xii + 148 hlm.
Harga : Rp. 28.000,-

Sosialisasi Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia yang dilakukan Departemen Hukum dan HAM RI di berbagai daerah di Tanah Air sejak Agustus 2006 lalu, tampaknya masih mengundang banyak pertanyaan. Hal ini disebabkan masih ada yang mempersyaratkan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) dalam setiap pengurusan berbagai dokumen seperti paspor, pengurusan KTP dan atau SIM, serta dokumen pernikahan.

Kewarganegaraan adalah pengertian yang senantiasa diolah ulang dalam wacana kehidupan berbangsa dan bernegara. Istilah itu terdiri dari dua suku kata yang menyatu, “warga” dan “negara” yang masing-masing bermakna melintas, meskipun mencakup pengertian “anggota” dan “suku” atau “agama”, “daerah”, “adat”, atau “marga”.

Kebangsaan Indonesia dibangun di atas dan bersama oleh berbagai identitas kelompok masyarakat. Karena itu atas nama konstitusi yang menjadi dasar kehidupan bersama bangsa Indonesia tidak seharusnyalah didiskriminasi, khususnya SBKRI yang diangkat secara jelas dalam buku Tionghoa dalam Cengkeraman SBKRI, yang dibiarkan hidup di bumi persada ini.

Sampai dengan dua tahun pasca-diterbitkannya UU No. 12/2006 itu ternyata masih saja disemarakkan dengan tetap diberlakukannya SBKRI kepada WNI keturunan Tionghoa. Kenyataan ini menambah daftar panjang “kegagalan” upaya pemerintah dalam menyelesaikan persoalan diskriminasi rasial sejak 1978. Kala itu Peraturan Menteri Kehakiman ditindaklanjuti pelaksanaannya dengan terbitnya Surat Edaran Menteri Kehakiman No. JHB.3/31/3 Tahun 1978 kepada semua Pengadilan Negeri. Inti Surat Edaran tersebut ‘mewajibkan’ kaum peranakan untuk memiliki SBKRI.

Fenonema SBKRI itu menjadi persoalan kewarganegaraan dan salah satu catatan hitam Indonesia dalam pemenuhan International Convention on Elimination of All Forms of Racial Discrimination, yang telah diratifikasi Pemerintah Indonesia pada 1999.

Padahal, SBKRI sebagai sebuah dokumen an sich tidaklah istimewa, hanya berbentuk buku saku hampir menyerupai paspor, bersampul hijau, dan pada cover depan bertuliskan “Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia”. Namun memiliki dokumen SBKRI ini, persoalannya tidaklah sesederhana dan terbatas sebagai seorang anak dari orangtua warga negara Indonesia etnik Tionghoa beranjak usia 18 tahun, atau sudah menikah, biar pun sang orangtua atau kakek-nenek buyutnya telah menjadi warga negara Indonesia. Layaknya suatu “ritual generasi” ketika sang anak telah menjadi orangtua, dia pun harus mengurus SBKRI anaknya, begitu seterusnya terjadi dari generasi ke generasi.

Sepuluh tahun yang lalu atau bahkan mungkin juga saat ini, kenyataan tersebut dibantah sebagai praktik diskriminasi atau bahkan dianggap sebagai mitos diskriminasi. Adanya kebijakan dan korban beberapa generasi membuktikan bahwa SBKRI bukanlah mitos, melainkan kisah nyata anak negeri, yang sejak dilahirkan dari rahim ibunya sampai menutup mata (meninggal) dalam pelukan Ibu Pertiwi, wajib memiliki SBKRI!

Walaupun hanya berupa kewajiban administrasi, tetapi dalam prinsipnya penerapan SBKRI terhadap WNI keturunan Tionghoa telah menyentuh persoalan mendasar dalam kebersamaan kebangsaan, yakni (legalitas) kewargaan dengan negaranya, Indonesia. Dengan menyandang SBKRI itu sama artinya menempatkan warga etnik Tionghoa dalam status kewargaan “yang dipertanyakan”; seolah-olah keindonesiaannya patut dipertanyakan.

Dengan demikian, persoalan SBKRI ini tidak saja menjadi “momok” bagi warga Tionghoa semata, tetapi telah menjdi “duri” dalam upaya mewujudkan integrasi kebangsaan Indonesia yang sesungguhnya. Sebab, pada hakikatnya SBKRI dalam arti identitas kewarganegaraan tidak saja berkaitan dengan status legalnya (citizenships-as-legal-status), tetapi juga luasan dan kualitas kewarganegaraan seseorang yang merupakan fungsi dari partisipasi orang tersebut di dalam komunitas politiknya (citizenships-as-desireable-activity).

Fakta ketimpangan kehidupan berbangsa dan bernegara itu berupa kebijakan diskriminatif negara terhadap etnik Tionghoa di Indonesia beserta sejarah dan latar belakang lahirnya kebijakan SBKRI inilah yang dicoba dipaparkan dalam buku karya bersama Wahyu Effendi (Tjoa Jiu Tie) dan Prasetyadji, berjudul Tionghoa dalam Cengkeraman SBKRI.

Penyelesaian persoalan SBKRI menjadi batu ujian konsistensi prinsip kebangsaan Indonesia yang diwariskan founding fathers sejak 63 silam. Apakah bangsa ini akan menjadi bangsa yang sesungguhnya, di mana semua komponen bangsa yang multikultural dapat mempersatukan dirinya dengan negara, atau hanya akan menjadi “bangsa di atas kertas” semata?

Sebagai suatu kebijakan negara di masa lalu, SBKRI hanyalah sebuah produk dari politik kebangsaan yang “rasialis”. Kini saatnya bercermin dari ide luhur pendiri bangsa ini untuk belajar dari kesalahan masa lalu, dan menatap masa depan kebangsaan Indonesia yang baru tanpa sekat primordialisme.

Dalam diskusi publik di Kantor CSIS (22/9/2008), Harry Tjan Silalahi mengomentari persoalan SBKRI ini. Dia mengeluhkan masalah SBKRI ini sebagai suatu sikap kebodohan serta mempermaslahkan judul buku yang didikusikan. Istilah Tionghoa dalam “cengkeraman” memiliki konotasi seolah-olah Tionghoa itu ditindas di mana-mana. Padahal tidak demikian.

“Dipersulit, iya, tetapi enggak sampai tertindas,” kata pendiri CSIS itu bersemangat. Lebih lanjut dikatakan Harry Tjan, bahwa persoalan SBK itu dibutuhkan di semua negara di mana pun. SBK sebagai kata generik adalah hal yang biasa, tetapi di Indonesia SBKRI ini hanya dikenakan kepada keturunan Tionghoa sehingga tidak diterima dan dianggap sebagai unsur diskriminasi. Harry Tjan pun menceritakan mengenai adiknya yang seorang kolonel.

“Sebagai kolonel, tentara yang berperang membela negara, tetapi ketika anaknya akan masuk sekolah, kok malah diminta SBKRI-nya. Apakah ini masalah politis, politik diskriminasi? Atau suatu kebodohan karena ketidaktahuan?” tanya Harry Tjan.

Harry Tjan Silalahi menganggap SBKRI sebagai produk kebodohan dan “pemanfaatan” kebodohan dan ketidaktahuan tersebut yang semakin berkembang menjadi sebuah masalah.

Masalah penghapusan SBKRI haruslah segera dituntaskan dalam upaya membangun kehidupan kebangsaan Indonesia yang majemuk dan berperadaban. Penulisan buku Tionghoa dalam Cengkeraman SBKRI ini juga penting sebagai inisiatif yang beradab dalam rangka dialog konstruktif masyarakat dan pemerintah.

Dengan demikian, diterbitkanna buku Tionghoa dalam Cengkeraman SBKRI ini sejalan dengan semangat UU No. 12/2006 tentang Kewarganegaraan RI. Pemikiran dalam buku buku karya Wahyu Effendi (Tjoa Jiu Tie) dan Prasetyadji ini mencoba menyatakan pengaturan prinsip yang tidak termuat dalam UU No. 12/2006, khususnya mengenai SBKRI.

Persoalan yang diangkat buku ini, sebenarnya ukanlah permsalahan baru, bahkan sudaj menjadi pengetahuan publik. Namun terbitnya buku Tionghoa dalam Cengkeraman SBKRI ini setidaknya dapat menjadi literatur yang berguna, sebab tidak banyak buku yang menyoroti persoalan SBKRI ini secara khusus. Karena itu buku ini menjadi referensi penting.

Syafruddin Azhar adalah kolumnis dan peneliti pada Lembaga Pemerhati Kebijakan Publik (LPKP) Jakarta.

Thursday, September 25, 2008

Perang Nuklir?


Angkatan Bersenjata Terbesar di Dunia Siap Melibas Amerika dan Israel

Judul buku : Perang Nuklir?
Penulis : Muhammad Alcaff
Penerbit : Zahra, Jakarta
Edisi : I, September 2008
Tebal buku : 208 hlm.
Harga : Rp 49,900.00

Saat ini, mungkin Republik Islam Iran menjadi negara yang paling ditakuti oleh Amerika Serikat dan Israel. Dengan kekuatan militernya yang terdiri atas 12 juta personel—baik militer reguler, cadangan, maupun sukarelawan—kemampuan Iran dalam meruntuhkan hegemoni serta kesewenang-wenangan AS dan Israel tidak bisa dipandang remeh.

Faktanya, pasukan Hezbollah dukungan Iran terbukti telah berhasil mengusir Israel dari Libanon pada 2000 dan 2006. Iran pun terus mendukung Hamas di Palestina, sehingga menimbulkan ancaman serius bagi pendudukan Israel. Apalagi, Iran kini telah menguasai teknologi nuklir. Kenyataan ini semakin membuat gentar AS dan Israel. Maka tak heran jika keduanya beserta para sekutu Eropa mereka terus menekan Iran berkenaan dengan isu nuklir.

Kini, dunia tengah memasuki babak baru. Hegemoni lama segera berakhir. Peta kekuatan sedang disusun ulang. Iran, dengan kekuatan militernya yang besar dan tangguh, telah mengembalikan harga diri dan kepercayaan diri umat Muslim yang sudah sekian lama diinjak-injak oleh pihak Barat dan Zionis. Pertanyaannya sekarang: Akankah AS dan Zionis akan melepaskan begitu saja hegemoni mereka tanpa aksi militer? Bila mereka melancarkan aksi militer terhadap Iran, bagaimana nasib dunia? Akankah perang nuklir menyeret umat manusia ke jurang kehancuran?

“Dengan bantuan Tuhan, rakyat Iran telah melakukan perlawanan, tengah melakukan perlawanan, dan akan melakukan perlawanan sampai akhir. Jika Anda ingin memulai konflik baru, rakyat Iran akan melawan dan tidak akan mundur satu langkah pun. Namun jika Anda menginginkan persahabatan dan kerja sama, rakyat Iran akan menjadi sahabat terbaik Anda. Jika Anda bergerak maju berdasarkan hukum, keadilan, dan logika, maka Iran akan merundingkan masalah global penting dan akan bekerja sama dalam menyelesaikan masalah kemanusiaan itu. Dunia harus tahu kalau Iran tidak akan mundur seinci pun dari haknya menggunakan nuklir.” (Presiden Mahmoud Ahmadinejad)

“Kami tidak akan menghentikan proyek uranium. Karenanya, kami memandang sebaiknya Barat bisa lebih baik memahami proyek uranium Iran. Saya berkata kepada Bush, bahwa masa kekuasaannya telah berakhir dan syukurlah, Anda (Bush) tidak akan dapat merusak satu sentimeter pun tanah suci Iran... Jika musuh berpikir bahwa mereka dapat menghancurkan bangsa Iran dengan tekanan, maka mereka salah. Bangsa Iran akan menghapus senyuman dari wajah mereka.” (Presiden Mahmoud Ahmadinejad)

Ahmadinejad Menggugat!


Iran Mematahkan Arogansi Amerika dan Israel

Judul buku : Ahmadinejad Menggugat!
Penulis : Dr. Mahmud Ahmadinejad
Penerbit : Zahra, Jakarta
Edisi : I, September 2008
Tebal buku : 352 hlm.
Harga : Rp 49,900.00

Saat ini pemerintah negara Barat yang dimotori Presiden Amerika Serikat, George W. Bush, begitu memusuhi Republik Islam Iran dan Presidennya, Mahmud Ahmadinejad. Berbagai isu pun dikembangkan untuk menyudutkan Iran dan Ahmadinejad, mulai dari isu terorisme sampai isu senjata nuklir.

Faktanya, semua itu hanyalah akal-akalan Zionis Israel dan Amerika untuk melancarkan rencana busuk mereka yang hendak mendirikan Israel Raya yang membentang dari Sungai Nil (Mesir) hingga ke Sungai Furat (Irak). Iran dan presiden progresifnya menjadi batu penghalang terbesar bagi rencana itu. Kalahnya pasukan Israel oleh Hizbullah dukungan Iran di Libanon dan kefasihan Ahmadinejad di Universitas Columbia AS, merupakan bentuk perlawanan yang mengangkat martabat umat Islam yang selama ini terpuruk di bawah kaki Amerika dan Zionis.

Buku ini memuat pikiran Ahmadinejad serta visinya dalam membangun tatanan dunia yang adil di masa depan. Niscaya kita akan bisa membaca ke mana arah kebijakan Iran dan akan dibawa ke mana segala ketegangan yang terjadi antara Iran dan negara Barat yang dimotori Amerika. Apakah akan dibawa ke arah perang terbuka yang berarti kiamat kecil?

“Holocaust, jika memang suatu kenyataan, terjadi di Eropa. Bangsa Palestina tidak punya peran di dalamnya. Mengapa orang Palestina harus terus menanggung akibat suatu peristiwa yang tidak ada kaitannya dengan mereka? Lima juta orang terus diusir dan menjadi pengungsi perang selama 60 tahun—bukankah ini suatu kejahatan?”

Pascaperistiwa 11 September, Afghanistan dan Irak dijajah. Enam tahun wilayah kami mengalami ketidakamanan, diteror dan dicekam ketakutan. Jika akar peristiwa 11 September diteliti, kenapa peristiwa ini bisa terjadi, kondisi apa yang menyebabkannya serta siapa aktor sebenarnya dalam kejadian ini, semua akan paham bagaimana menyelesaikan masalah Afghanistan dan Irak.”

“Kami tahu apa yang kami inginkan. Kalian yang sekarang telah melahirkan generasi kelima bom atom, atas hak apa kalian menghalangi aktivitas damai nuklir negara lain untuk menghasilkan energi?”

“Umat manusia menyaksikan, dalam seluruh perang—Perang Korea dan Vietnam, perang yang dilakukan oleh Zionis terhadap Palestina dan Libanon, perang Saddam terhadap Iran, serta perang rasis di Afrika-Eropa—secara sepihak dilakoni oleh negara-negara anggota Dewan Keamanan PBB.”

Tuesday, September 16, 2008

The Apple Way


Pelajaran dalam Keajaiban dan Margin

Judul buku : The Apple Way
Penulis : Jeffrey L. Cruikshank
Penerbit : Esensi, Jakarta
Edisi : I, 2008
Tebal buku : xxiii + 278 hlm. (Hard cover)

Teladan dan kearifan hidup itu berawal dari kedewasaan, pengalaman, dan kematangan. Sikap hidup sukses itu selalu ada dalam jiwa yang sehat, yang berkemaun keras, menyadari kesalahan dan mau memperbaikinya, menikmati keberhasilan dengan tetap berkontribusi pada evolusi hidup berkesinambungan dan visioner.

Filosofi kearifan hidup inilah yang melatari hampir semua aspek kehidupan seseorang maupun institusi atau organisasi perusahaan. Mereka yang sukses adalah pribadi tangguh yang memandang kesalahan yang dilakukan sebagai kawah candradimuka untuk bangkit dan tetap bersahaja menyambut kesuksesan dengan tetap berpijak pada tatanan.

Masa depan tidak selalu baik, dan—tanpa kasih sayang—masa depan mungkin tidak akan bertahan lama. Tetapi, kita harus menatap masa depan itu. Penyair Anglo-American dan penulis terkemuka abad ke-20, Wystan Hugh Auden (1907-1973), mengatakan, “Melihat jauh seperti burung elang, mereka mencari masa depan yang berbeda.” Ya, kita harus menyambut dan menatap masa depan itu jauh ke depan (visioner) seperti elang.

Itulah yang dilakukan Steve Jobs, salah seorang pendiri Apple Company, perusahaan berbasis teknologi paling visioner sekarang ini yang menitikberatkan kekuatan manajemennya pada sektor litbang atau research and development (R&D). Bagi Steve Jobs dan para visioner Apple Company, menemukan masa depan tidaklah cukup. Harus dicari terobosan baru (inovasi), melewati rintangan dan tantangan, serta menggenggamnya erat.

Soichiro Honda (1906-1991), industrialis terkemuka Jepang yang dilahirkan di Hamamatsu, Shizuoka, Jepang, pernah mengatakan bahwa “Success is 99,9% failures”. Filosofinya adalah bahwa untuk meraih keberhasilan itu butuh pengorbanan, kerja keras, ulet, tangguh, dan kembali bangkit bersemangat setelah terjatuh jungkir balik.

Kisah sukses, ketangguhan, kuelatan serta kekuatan inovasi dan berjiwa visioner yang pernah dilakukan Apple Company dengan icon-nya, Steve Jobs, itu dirumuskan dalam “buku hebat” oleh penulis buku manajemen terkemuka, Jeffrey L. Cruikshank. Pembaca akan dibuat tercengang dengan kiprah Steve Jobs, yang pernah terusir dari Apple Company yang ikut didirikannya, lalu bergabung kembali untuk membesarkannya.

Buku The Apple Way yang belum lama ini diluncurkan oleh penerbitnya, Esensi (Erlangga Group) di Soho Music Café, Cilandak Town Square (21/8) ini melengkapi buku sejenis bergenre “way”, seperti Toyota Way, Google Success Story, dan Nokia.

Membaca The Apple Way serasa menyimak novel thriller yang penuh intrik dan membuat jantung pembaca berdegup kencang. Buku ini tidak saja menyajikan kisah sukses dan geliat perusahaan berbasis teknologi, tetapi juga mengungkap jatuh bangunnya sebuah tim dalam memberdayakan sumber daya manusia yang kemungkinan juga bakal ambruk.

Dion Dewa Barata, dosen Strategic Management pada Universitas Pelita Harapan (UPH), mengatakan bahwa sebagai perusahaan berbasis teknologi, Apple Company berhasil memadukan keunggulan teknis dengan keindahan seni dan mentransformasikan keduanya menjadi pengalaman emosional bagi konsumennya. Faktor emosional inilah yang menjadi salah satu keunggulan daya saing Apple, yang sulit ditiru kompetitornya.

Menyebut nama Apple Computer, kita tentu teringat teknologi iPod yang penjualannya telah melampaui angka 10 juta unit di seluruh dunia. Juga rasa kagum kalangan dunia usaha bisnis melihat lonjakan harga saham Apple Company sebesar 250% dan membukukan laba bersih sebesar 530% dalam kurun waktu hanya setahun. Prestasi luar biasa yang pernah dicapai sebuah perusahaan piranti teknologi berbasis computer.

Yang menarik, prestasi besar ini dicapai Apple Company dengan cara yang tidak biasa. Melalui gejolak penuh liku internal manajemen, dengan perjuangan penuh tantangan untuk memperkenalkan produk komputer “Lisa” (Local Integrated Software Architecture) di tahun 1983 dan sukses iPod dewasa ini. Dalam posisi ini, Apple boleh dikatakan telah melakukan perubahan radikal dan revolusioner dalam industri berbasis computer.

Apple Company belajar dari kiprahnya bahwa perusahaan ini tak dapat melakukannya sendiri, meskipun cerdik. Pasar berkembang begitu cepat, teknologi berkembang makin kompleks, dan semakin banyak orang pandai yang melakukan inovasi dan investasi. (Syafruddin Azhar)

Monday, September 8, 2008

Mau ke Mana Obama?


Fakta tentang Barack Obama
Setan Berkedok Malaikat?

Judul buku : Mau ke Mana Obama?
Judul asli : An American Story: The Speeches of Barack Obama; A Primer
Penulis : David Olive
Penerjemah : Hari Ambari, Dewi Anggraeni
Penerbit : Zahra, Jakarta
Edisi : I, Agustus 2008
Tebal buku : 272 hlm.

Saya mendapat dukungan paling kuat dari komunitas Yahudi. Itu karena sejak dulu saya menjadi sahabat dekat Israel. Saya pikir, mereka adalah salah satu sekutu kita yang paling penting.”—Barack Obama

Sejak Barack Obama muncul ke hadapan publik Amerika (dan dunia) untuk memperkenalkan dirinya sebagai bakal calon Presiden Amerika Serikat, Senator asal Illinois ini hadir bagaikan “the rising star” yang akan melakukan perubahan mendasar atas politik luar negeri Amerika menjadi lebih humanis, lebih bersahabat (dialog) ketimbang aksi militer, sebagaimana dilakukan pendahulunya dari Washington (Gedung Putih).
Obama menjadi figur nasional untuk pertama kalinya dengan pidatonya pada 27 Juli 2004 di Konvensi Nasional Partai Demokrat di Fleet Center Boston yang memilih Senator John Kerry sebagai nominasi calon presiden. Dia mampu membangkitkan spirit Amerika dan mendapat banyak pujian, baik dari kubu konservatif maupun liberal. Penampilannya memesona publik Amerika dengan cerita kehidupan pribadinya dan tentang mimpi Amerika. Dua tema itu—kebutuhan untuk bersatu mengatasi masalah penting di Amerika, dan Obama sebagai salah satu perwujudan mimpi Amerika—menjadi penentu pencalonan dirinya sebagai calon Presiden ke-44 Amerika Serikat empat tahun kemudian.
Karena itu, melejitnya Obama (Partai Demokrat) sebagai kans terkuat mengalahkan rivalnya dari Partai Republik, John McCain, membawa pandangan baru bagi publik Amerika, dan bahkan masyarakat dunia dengan harapan baru yang lebih membumi.
Banyak kalangan menggantungkan harapan pada Obama. Banyak yang mengira, jika dia terpilih menjadi Presiden Amerika Serikat, ia akan menjadikan Amerika lebih bersahabat (secara politis) dengan dunia, terutama dunia Islam. Tetapi, benarkah itu?
Buku Mau ke Mana Obama? karya David Olive, jurnalis Kanada yang kerap memenangi berbagai penghargaan jurnalistik ini, menyajikan fakta tentang Obama. Melalui pidatonya yang disajikan dalam buku ini, akan memahami langkah politiknya bila menjadi Presiden Amerika Serikat. Buku luar biasa ini menyajikan pikiran Obama sendiri, yang dengannya publik dapat membaca dan memahami langkahnya ke depan.
Buku karya Olive ini merupakan kumpulan pidato unik yang mendorong kebangkitan tak terduga kandidat unggulan untuk menduduki jabatan tertinggi di Gedung Putih. Obama menyampaikan detail pembaruan dan reformasi dalam bidang pendidikan, kesehatan, kemandirian energi, kebijakan internasional, serta isu politik dan ekonomi lainnya. Dalam acara Konvensi Nasional Demokrat (2004), suami Michelle ini menyampaikan semboyannya menyatukan harapan bangsa, mencptakan keterbukaan, dan pendekatan inklusif politik Amerika, serta mengatur barisan untuk menghadapi tantangan terorisme, penggunaan nuklir, perubahan iklim, dan krisis energi.
“Kenapa menjadi presiden jika kau tidak berniat menjadi presiden yang baik?” Itulah salah satu ungkapan isi hati Barack Obama yang pernah ia sampaikan kepada salah seorang sahabatnya. Pertanyaannya, presiden yang baik untuk siapa?
Lewat kumpulan pidato politik yang pernah disampaikan Obama ini, akan terungkap fakta tentangnya, skenario kebijakan politik bila Obama terpilih menjadi Presiden Amerika Serikat nantinya. Di antaranya: mendukung Zionis Israel; menentang kemajuan negara kaum muslim yang mandiri seperti Iran dan Suriah; menganggap Irak, Afghanistan, dan Pakistan sebagai sarang teroris; dan menolak dukungan atas Nation of Islam.
Barack Obama yang pernah menjalani masa kecilnya dan bersekolah di Jakarta serta memiliki ikatan emosional (kekeluargaan) dengan bangsa Indonesia karena ayah tirinya, Lolo Soetoro, adalah warga asli Indonesia; sudah barang tentu memiliki ikatan emosional yang sangat erat dengan bangsa Indonesia. Banyak kalangan di Tanah Air menaruh harapan tinggi pada Obama. Jika ia terpilih menjadi Presiden Amerika, akan mengubah kebijakan luar negeri dan cara pandang masyarakat Amerika khususnya dan negara Barat pada umumnya terhadap Islam, khususnya kaum muslim di Indonesia.
Akankah harapan ini terwujud? Buku Mau ke Mana Obama? ini justru menyajikan fakta yang sebaliknya. Ketika menyampaikan pidato pada saat demo antiperang di Chicago Federal Plaza (2 Oktober 2002), pada saat itu orang berpengaruh di Partai Demokrat, termasuk mantan Wakil Presiden Al Gore, Senator Ted Kennedy, Robert Byrd, Bob Graham, dan Senator Dick Durbin, menentang rencana perang Presiden George W. Bush di Irak. Namun kemudian, petinggi senat di Partai Demokrat, termasuk rival Obama pada pemilihan presiden 2008 seperti Hillary Clinton dan John Edwards, akhirnya mendukung rencana perang Presiden Bush, serta menginvasi Irak. Adapun Obama memiliki pandangan yang berbeda dengan arus pemikiran utama Partai Demokrat.
Obama berseru, “Perang di Irak telah membesarkan hati Iran yang memberikan tantangan terbesar terhadap kepentingan Amerika di Timur Tengah, meneruskan program nuklir mereka dan mengancam sekutu kita, Israel. Hamas menguasai Gaza, bendera Hizbullah berkibar di Kota Sadr. Kalau saya jadi presiden, kita akan menjalani perang yang harus dimenangkan: keluar dari Irak menuju ke medan yang tepat, yakni ke Afghanistan dan Pakistan. Sebagai presiden, saya akan membuat Program Kerja Sama Keamanan Bersama demi melumpuhkan jaringan teroris dari pulau-pulau terpencil di Indonesia hingga ke kota-kota yang membujur di Afrika. Saya juga akan mendukung Dana Pendidikan Global untuk melawan madrasah-madrasah radikal.”
Buku ini tidak hanya menyuguhkan 20 pidato politik terbaik Obama, yang tercatat lengkap; namun juga menyajikan profil Barack Obama dan istrinya, Michelle; kronologi lengkap kehidupan Obama; penjelasan rinci kebijakan Obama dibandingkan dengan rivalnya dalam perebutan kursi presiden di Gedung Putih, John McCain.
Pidato politik yang pernah disampaikan Obama, sebagaimana disajikan dalam buku Mau ke Mana Obama? ini, berkisar pada isu tentang masa depan invasi militer di Irak; Obama mengeluhkan pemisahan yang salah di antara rakyat Amerika; mengutuk tindakan penelantaran terhadap veteran militer; pendekatan pragmatik Obama untuk kemajuan politik; perubahan iklim harus segera ditindaklanjuti; blueprint penarikan mundur tentara di Irak dan mengembalikan stabilitas di Timur Tengah; rencana penghancuran terorisme global; serta pandangan orang Amerika garis keras dan humanitarian.
Ketika menyampaikan pidato mengenai kebijakan luar negeri Amerika Serikat di atas kapal komando (19 Maret 2008) di Fayetteville, Carolina Utara, Obama menguak pendekatan holistik dalam merenungkan konsekuensi tindakan Amerika—diplomatik, militer, dan humanitarian—dalam penegasan kembali untuk meneruskan kepemimpinan Amerika Serikat dengan lebih komprehensif dan multidimensional. (hlm. 214)
Mengenai fenomena dan dilematika perang terhadap terorisme dan perang di Irak, Obama memiliki pandangan yang berbeda dan fundamental. “Saya akan mengakhiri peperangan ini. Mengakhiri perang adalah hal yang tepat demi keamanan nasional kita dan akan membuat kita menjadi lebih aman.” (hlm. 221) Demikian pernyataan Obama di Fayetteville, Carolina Utara (19 Maret 2008). Dia mengutuk Presiden Bush karena kebijakannya menginvasi Irak dan perang pada 2001.
Dalam pidato politiknya, Obama mengatakan, “Ada seorang presiden yang ideologinya mengesampingkan pragmatisme... Pelajaran mengenai Irak adalah ketika kita membuat keputusan mengenai hal-hal yang gawat seperti perang, kita membutuhkan kebijakan yang punya akar di dalam alasan dan fakta, bukan ideologi dan politik.”
Anehnya, terhadap kebijakan luar negeri Amerika Serikat atas Zionis Israel, Obama tampaknya adalah pemimpin yang ideologinya justru mengesampingkan pragmatisme. Dia tidak akan memutuskan kebijakan yang memiliki akar di dalam alasan dan fakta, namun kelewat peduli pada romantisme hubungan emosional dengan komunitas Yahudi itu. (Dimuat Koran Jakarta, 8 September 2008; hlm. 4)

Syafruddin Azhar, kolumnis dan peneliti pada Lembaga Pemerhati Kebijakan Publik (LPKP) Jakarta.

Friday, September 5, 2008

Zaman Kenisbian: Konsekuensi Perang terhadap Teror


Kambing Hitam Krisis Asia

Judul buku : Zaman Kenisbian: Konsekuensi Perang terhadap Teror
Judul asli : The Age of Fallibility: The Consequences of The War on Terror
Penulis : George Soros
Penerjemah : Dian R. Basuki
Editor : Bambang Harymurti
Penerbit : PDAT (Tempo), Jakarta
Edisi : Desember 2006
Tebal buku : xxxii + 283 hlm.; 22 cm.

Tidak mudah menjadi tokoh sekaliber George Soros. Meski kini hidup bergelimang harta (orang terkaya nomor 80 di dunia menurut Forbes, dengan total kekayaan sekitar US$8,5 miliar) dan aktif di banyak kegiatan sosial dan kemanusiaan, stigma buruk terlanjur melekat dalam diri pria keturunan Yahudi ini. Dia, misalnya, disebut sebagai “penjahat ekonomi”.

Salah satu penyebab cap buruk yang ditujukan kepada pria berusia 77 ini adalah strategi bisnis (investasi) yang selama ini dijalaninya. Sebagai hedge fund manager, Soros cenderung mengejar keuntungan setinggi-tingginya dalam waktu singkat. Keputusan bisnisnya acapkali kontroversial. Inggris, Prancis, dan beberapa negara di Asia telah merasakan penderitaan—krisis moneter dan sosial-politik—akibat sepak terjang investasi bisnis yang dilakukannya.

Sebagai contoh, pada 1988 Soros mengambil alih saham bank asal Prancis, Societé Generalé. Menurut beberapa pemberitaan yang dilansir media massa, ia pernah ditawari untuk membeli saham bank tersebut tetapi ditolaknya. Namun tak lama setelah itu ia menyatakan akan membelinya. Tak ayal, tindakan kontroversialnya ini menimbulkan kecurigaan di kalangan pejabat hukum Prancis. Pada 1989 diadakan penyelidikan atas transaksi bisnis Soros tersebut. Hasilnya, di tahun 2002 terkuak fakta bahwa transaksi yang dilakukannya itu ilegal karena mendapat informasi dari orang dalam (insider trading). Akibat tindakan bisnisnya ini, Soros didenda sebesar US$2 juta. Proses pengadilan bisnis ilegal ini hingga kini belum tuntas.

Tak lama setelah kasus ini, Soros kembali melakukan investasi kontroversial. Pada 16 September 1992, dia menjual (short) mata uang poundsterling senilai hampir US$10 miliar karena berdasarkan analisis dan naluri bisnisnya, mata uang Inggris akan segera turun. Akibat tindakannya itu, pound sterling benar-benar ‘terkapar’ alias knock out.

Tindakan Soros ini memaksa Bank of England (BOE) menempuh langkah darurat. Di antaranya dengan mengerek bunga dan keluar dari European Exchange Rate Mechanism (ERM)—mekanisme penentuan mata uang sebelum euro. Dampaknya, perekonomian global di hari itu pun morat-marit. Pers Inggris menyebut hari itu sebagai “Black Wednesday”. Departemen Keuangan Inggris menghitung kerugian akibat ‘ulah’ Soros ini mencapai 3,4 miliar poundsterling, sedangkan Soros sendiri meraup keuntungan sebesar US$1,1 miliar.

Efek “bola salju” dari tragedi “Black Wednesday” ini merembet ke mana-mana, menyebabkan mata uang di dunia ikut melemah terhadap US$. Kepada The Times (26 Oktober 1992), Soros mengatakan (tanpa merasa bersalah sedikit pun atau merasa berdosa kepada banyak orang di dunia): “Seharusnya kami menjual lebih dari US$10 miliar.”

Krisis Asia (1997/1998), termasuk di Indonesia, disebut-sebut akibat ulah Soros. Ia lagi-lagi dituding sebagai “scapegoat” (kambing hitam) di balik krisis moneter itu. Efek penularan (contagion effect) dari mata uang baht (Thailand) menerjang perekonomian negara di kawasan ASEAN. Pers Thailand menggambarkan sosok Soros seperti “lintah darat” yang senang mengisap darah orang dan menyebutnya sebagai “penjahat ekonomi”. Perdana Menteri Malaysia kala itu, Dr. Mahathir Mohammad, sampai-sampai menyebutnya “moron” (bego). Presiden Rusia, Vladimir Putin, mengatakan Soros bertanggungjawab atas apa yang disebut sebagai “revolusi warna” di Georgia dan Ukraina. Soros, oleh pers Amerika, dituduh mencoba membeli pemilihan setelah dia menentang pemilihan kembali Presiden George W. Bush pada 2004. Tetapi semua tuduhan yang dialamatkan kepadanya itu dikatakannya berlebihan dan tidak berdasar. Ia membantahnya dengan membuktikan fakta-fakta.

Tindak-tanduk dan sepak terjang investasi bisnis yang dilakukan George Soros ini sulit dilupakan orang. Dia pun menyadari hal itu. Kini, ia semakin aktif dalam kegiatan sosial dengan mendirikan dua yayasan sosial, yakni Soros Foundations (SF) dan Open Society Institute (OSI). Seolah ingin menebus dosa-dosa bisnis yang pernah dilakukannya, ia mengucurkan dana jutaan dolar melalui yayasan yang didirikannya ini.

Melalui OSI ini pula, Soros menerbitkan buku pribadinya The Age of Fallibility: The Consequences of The War on Terror, yang diindonesiakan oleh PDAT berjudul: Zaman Kenisbian: Konsekuensi Perang terhadap Teror. Dalam buku yang ditulisnya pada medio 2006 ini, ia mengungkap semua fakta dan mencoba membela diri. Dia menulis bahwa dirinya, melalui yayasan yang didirikannya di beberapa kawasan di dunia, telah membantu rakyat dan pemerintahan setempat keluar dari kemelut sosial, ekonomi, dan politik. “Saya harus mengklarifikasi sikap saya. Tujuan saya ialah menjadikan dunia tempat yang lebih baik.” Tulisnya dalam buku The Age of Fallibility (Zaman Kenisbian) ini. Buku ini mencoba mengklarifikasi semua persoalan dan agenda yang ingin dituntaskannya, termasuk dalam kehidupan filantropis dan kehidupan publiknya.

Perdana Menteri Macedonia, Branko Crvenkovski, menggambarkan George Soros sebagai negarawan tanpa negara. “Negara mempunyai kepentingan, tetapi tidak memiliki prinsip. Soros mempunyai prinsip, tetapi tidak memiliki kepentingan,” ungkap Crvenkovski pada suatu kesempatan. Soros sangat menyukai rumusan ini dan mencoba menjalaninya.

Tentang peran dan sepak terjang Amerika Serikat sebagai “polisi dunia”, Soros menulis (sesuai topik utama buku ini) bahwa kendala utama bagi tatanan dunia yang stabil dan adil ialah Amerika Serikat. “Ini tidak sopan—bahkan, bagi saya, menyakitkan—untuk dikatakan, namun sayangnya saya yakin bahwa hal itu benar. Amerika Serikat terus mencoba menetapkan agenda bagi dunia walaupun pengaruhnya melemah sejak peristiwa 9/11, dan pemerintahan Bush telah menetapkan agenda yang salah... bila ini berlanjut terlalu lama, kita berada dalam bahaya yang akan menghancurkan peradaban kita. Mengubah sikap dan kebijakan Amerika Serikat tetap menjadi prioritas utama saya”. Tulis Soros dalam buku ini. (Syafruddin Azhar)

The Name of the Rose


Metafisik Detektif dan Labirin Konflik

Judul buku : The Name of the Rose
Penulis : Umberto Eco
Penerjemah : Nin Bakdi Soemanto
Penerbit : Bentang Pustaka, Yogyakarta
Edisi : I, Maret 2008
Tebal buku : xxx + 624 hlm.

Umberto Eco merilis novel pertamanya yang terkenal, Il nome della rosa pada 1980. Sebuah misteri intelektual yang mengombinasikan semiotika struktural dalam fiksi, analisis Biblical (yang berhubungan dengan Kitab Injil), studi Abad Pertengahan, dan teori sastra. Pada 1983 novel hebat ini diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul: The Name of the Rose. Sebuah karya intelektual yang luar biasa imajinatif dan penuh kreatif. Novel sejenis ini tak banyak ditulis oleh orang hebat. Satu di antara makhluk genius yang langka itu adalah Umberto Eco, yang disebut-sebut memiliki “misteri intelektual”.
Umberto Eco adalah novelis kelahiran Alessandria, Propinsi Piedmont (Italia), pada 5 Januari 1932. Selain dikenal sebagai kritikus sastra dan budaya, ia juga dikenal sebagai ahli Abad Pertengahan (Italian Medievalist) dan seorang filsuf terkemuka. Eco telah mencapai status ikonik dalam studi kebudayaan. Novelnya diwarnai penguasaannya atas semiotika (semiotics) dan dia adalah salah satu tokoh utama bidang ilmu ini.
Obsesi Umberto Eco dalam menekuni pengetahuan yang terpinggirkan tampak dalam limpahan data pada novelnya The Name of the Rose. Cakupan tulisan dalam novel ini sangat luas, mulai dari budaya pop (pop cultur) hingga filsafat; dari People’s Temple hingga Thomas Aquinas, dari Casablanca hingga Roland Barthes. Eco memiliki wawasan dan ide kreatif yang brilian. Membaca Eco seperti mengajari kita tentang pentingnya observasi dan kritisisme karena kedua topik kembar inilah yang mengistimewakan semua umat manusia yang berpikir.
Umberto Eco lewat novelnya The Name of the Rose, bercerita tentang misteri pembunuhan yang diseting di sebuah biara Benediktin Italia akhir Abad Pertengahan. Masa itu dilukiskan penuh konflik yang melatari novel ini. Banyak tokoh berperan dalam konflik yang beragam. Alurnya disajikan secara detail dan terperinci, sehingga tampak rumit dan berat.
Sejarah, sastra, filsafat, dan cerita detektif menyatu dalam novel The Name of the Rose dengan tokoh utamanya: William, Adso, Abo, Jorge, Salvatore, dan Ubertino. Setingnya dimulai dari rencana pertemuan utusan Fransiskan dan Paus di biara, yang akan membahas ajaran Fransiskan yang dianggap menyimpang oleh Gereja Katolik pada masa itu. Namun sebelum pertemuan itu berlangsung, terjadi serangkaian konspirasi dan skandal pembunuhan misterius. Dikhawatirkan tragedi ini bisa mengganggu proses pertemuan itu.
Ini bukan kisah detektif biasa yang bisa ditebak berdasarkan fakta yang ada. Fakta dan data petunjuk tak dapat menebak akhir dari mainstream fiksi dalam cerita. Umberto Eco justru mengakhiri fiksi dengan klimaks yang menggemparkan dan juga mencengangkan.
Jika pembaca terbiasa dengan gaya cerita Indiana Jones (ikon petualang era 1980-an), maka akan sedikit kecewa karena “petualangan” Eco adalah “petualangan intelektual”. Senjata yang mematikan adalah argumentasi yang membuat pihak lawan terdiam, malu, dan mengalah. Jika ada “petualangan”, maka ada “hal penting” yang diperebutkan. Dalam cerita ini “hal penting” tersebut bukanlah benda berharga seperti emas, tetapi perebutan kekuasaan perpustakaan. Perpustakaan menjadi tema utama dan biarawan menjadi aktor utama dalam “petualangan” ala Eco. Perpustakaan digambarkan memiliki misteri tersembunyi, penyebab terjadinya pembunuhan yang cerdik.
Membaca novel ini membutuhkan kesabaran dan pikiran yang jernih untuk memahami pesan yang disampaikan. Satu hal yang menarik adalah, bahwa Umberto Eco tidak menyebutkan satu kata pun tentang rose (mawar) dalam novel ini, sebagaimana judulnya The Name of the Rose. Saya kira ini sebuah “misteri intelektual” yang melekat pada Eco. Namun, di akhir cerita (hlm. 583), Eco menulis: “stat rosa pristina, nomine nomina nuda tenemus”, yang artinya kira-kira: bunga mawar telah ada jauh sebelum nama mawar itu ada. Namun kita selalu berpegang pada namanya belaka dan mengesampingkan bunga mawar itu sendiri. (Syafruddin Azhar)