Monday, September 29, 2008

Tionghoa dalam Cengkeraman SBKRI


Etnik Tionghoa dalam Kemelut SBKRI

Judul buku : Tionghoa dalam Cengkeraman SBKRI
Penulis : Wahyu Effendi dan Prasetyadji
Penerbit : Visimedia, Jakarta
Edisi : I, 2008
Tebal buku : xii + 148 hlm.
Harga : Rp. 28.000,-

Sosialisasi Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia yang dilakukan Departemen Hukum dan HAM RI di berbagai daerah di Tanah Air sejak Agustus 2006 lalu, tampaknya masih mengundang banyak pertanyaan. Hal ini disebabkan masih ada yang mempersyaratkan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) dalam setiap pengurusan berbagai dokumen seperti paspor, pengurusan KTP dan atau SIM, serta dokumen pernikahan.

Kewarganegaraan adalah pengertian yang senantiasa diolah ulang dalam wacana kehidupan berbangsa dan bernegara. Istilah itu terdiri dari dua suku kata yang menyatu, “warga” dan “negara” yang masing-masing bermakna melintas, meskipun mencakup pengertian “anggota” dan “suku” atau “agama”, “daerah”, “adat”, atau “marga”.

Kebangsaan Indonesia dibangun di atas dan bersama oleh berbagai identitas kelompok masyarakat. Karena itu atas nama konstitusi yang menjadi dasar kehidupan bersama bangsa Indonesia tidak seharusnyalah didiskriminasi, khususnya SBKRI yang diangkat secara jelas dalam buku Tionghoa dalam Cengkeraman SBKRI, yang dibiarkan hidup di bumi persada ini.

Sampai dengan dua tahun pasca-diterbitkannya UU No. 12/2006 itu ternyata masih saja disemarakkan dengan tetap diberlakukannya SBKRI kepada WNI keturunan Tionghoa. Kenyataan ini menambah daftar panjang “kegagalan” upaya pemerintah dalam menyelesaikan persoalan diskriminasi rasial sejak 1978. Kala itu Peraturan Menteri Kehakiman ditindaklanjuti pelaksanaannya dengan terbitnya Surat Edaran Menteri Kehakiman No. JHB.3/31/3 Tahun 1978 kepada semua Pengadilan Negeri. Inti Surat Edaran tersebut ‘mewajibkan’ kaum peranakan untuk memiliki SBKRI.

Fenonema SBKRI itu menjadi persoalan kewarganegaraan dan salah satu catatan hitam Indonesia dalam pemenuhan International Convention on Elimination of All Forms of Racial Discrimination, yang telah diratifikasi Pemerintah Indonesia pada 1999.

Padahal, SBKRI sebagai sebuah dokumen an sich tidaklah istimewa, hanya berbentuk buku saku hampir menyerupai paspor, bersampul hijau, dan pada cover depan bertuliskan “Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia”. Namun memiliki dokumen SBKRI ini, persoalannya tidaklah sesederhana dan terbatas sebagai seorang anak dari orangtua warga negara Indonesia etnik Tionghoa beranjak usia 18 tahun, atau sudah menikah, biar pun sang orangtua atau kakek-nenek buyutnya telah menjadi warga negara Indonesia. Layaknya suatu “ritual generasi” ketika sang anak telah menjadi orangtua, dia pun harus mengurus SBKRI anaknya, begitu seterusnya terjadi dari generasi ke generasi.

Sepuluh tahun yang lalu atau bahkan mungkin juga saat ini, kenyataan tersebut dibantah sebagai praktik diskriminasi atau bahkan dianggap sebagai mitos diskriminasi. Adanya kebijakan dan korban beberapa generasi membuktikan bahwa SBKRI bukanlah mitos, melainkan kisah nyata anak negeri, yang sejak dilahirkan dari rahim ibunya sampai menutup mata (meninggal) dalam pelukan Ibu Pertiwi, wajib memiliki SBKRI!

Walaupun hanya berupa kewajiban administrasi, tetapi dalam prinsipnya penerapan SBKRI terhadap WNI keturunan Tionghoa telah menyentuh persoalan mendasar dalam kebersamaan kebangsaan, yakni (legalitas) kewargaan dengan negaranya, Indonesia. Dengan menyandang SBKRI itu sama artinya menempatkan warga etnik Tionghoa dalam status kewargaan “yang dipertanyakan”; seolah-olah keindonesiaannya patut dipertanyakan.

Dengan demikian, persoalan SBKRI ini tidak saja menjadi “momok” bagi warga Tionghoa semata, tetapi telah menjdi “duri” dalam upaya mewujudkan integrasi kebangsaan Indonesia yang sesungguhnya. Sebab, pada hakikatnya SBKRI dalam arti identitas kewarganegaraan tidak saja berkaitan dengan status legalnya (citizenships-as-legal-status), tetapi juga luasan dan kualitas kewarganegaraan seseorang yang merupakan fungsi dari partisipasi orang tersebut di dalam komunitas politiknya (citizenships-as-desireable-activity).

Fakta ketimpangan kehidupan berbangsa dan bernegara itu berupa kebijakan diskriminatif negara terhadap etnik Tionghoa di Indonesia beserta sejarah dan latar belakang lahirnya kebijakan SBKRI inilah yang dicoba dipaparkan dalam buku karya bersama Wahyu Effendi (Tjoa Jiu Tie) dan Prasetyadji, berjudul Tionghoa dalam Cengkeraman SBKRI.

Penyelesaian persoalan SBKRI menjadi batu ujian konsistensi prinsip kebangsaan Indonesia yang diwariskan founding fathers sejak 63 silam. Apakah bangsa ini akan menjadi bangsa yang sesungguhnya, di mana semua komponen bangsa yang multikultural dapat mempersatukan dirinya dengan negara, atau hanya akan menjadi “bangsa di atas kertas” semata?

Sebagai suatu kebijakan negara di masa lalu, SBKRI hanyalah sebuah produk dari politik kebangsaan yang “rasialis”. Kini saatnya bercermin dari ide luhur pendiri bangsa ini untuk belajar dari kesalahan masa lalu, dan menatap masa depan kebangsaan Indonesia yang baru tanpa sekat primordialisme.

Dalam diskusi publik di Kantor CSIS (22/9/2008), Harry Tjan Silalahi mengomentari persoalan SBKRI ini. Dia mengeluhkan masalah SBKRI ini sebagai suatu sikap kebodohan serta mempermaslahkan judul buku yang didikusikan. Istilah Tionghoa dalam “cengkeraman” memiliki konotasi seolah-olah Tionghoa itu ditindas di mana-mana. Padahal tidak demikian.

“Dipersulit, iya, tetapi enggak sampai tertindas,” kata pendiri CSIS itu bersemangat. Lebih lanjut dikatakan Harry Tjan, bahwa persoalan SBK itu dibutuhkan di semua negara di mana pun. SBK sebagai kata generik adalah hal yang biasa, tetapi di Indonesia SBKRI ini hanya dikenakan kepada keturunan Tionghoa sehingga tidak diterima dan dianggap sebagai unsur diskriminasi. Harry Tjan pun menceritakan mengenai adiknya yang seorang kolonel.

“Sebagai kolonel, tentara yang berperang membela negara, tetapi ketika anaknya akan masuk sekolah, kok malah diminta SBKRI-nya. Apakah ini masalah politis, politik diskriminasi? Atau suatu kebodohan karena ketidaktahuan?” tanya Harry Tjan.

Harry Tjan Silalahi menganggap SBKRI sebagai produk kebodohan dan “pemanfaatan” kebodohan dan ketidaktahuan tersebut yang semakin berkembang menjadi sebuah masalah.

Masalah penghapusan SBKRI haruslah segera dituntaskan dalam upaya membangun kehidupan kebangsaan Indonesia yang majemuk dan berperadaban. Penulisan buku Tionghoa dalam Cengkeraman SBKRI ini juga penting sebagai inisiatif yang beradab dalam rangka dialog konstruktif masyarakat dan pemerintah.

Dengan demikian, diterbitkanna buku Tionghoa dalam Cengkeraman SBKRI ini sejalan dengan semangat UU No. 12/2006 tentang Kewarganegaraan RI. Pemikiran dalam buku buku karya Wahyu Effendi (Tjoa Jiu Tie) dan Prasetyadji ini mencoba menyatakan pengaturan prinsip yang tidak termuat dalam UU No. 12/2006, khususnya mengenai SBKRI.

Persoalan yang diangkat buku ini, sebenarnya ukanlah permsalahan baru, bahkan sudaj menjadi pengetahuan publik. Namun terbitnya buku Tionghoa dalam Cengkeraman SBKRI ini setidaknya dapat menjadi literatur yang berguna, sebab tidak banyak buku yang menyoroti persoalan SBKRI ini secara khusus. Karena itu buku ini menjadi referensi penting.

Syafruddin Azhar adalah kolumnis dan peneliti pada Lembaga Pemerhati Kebijakan Publik (LPKP) Jakarta.