Saturday, December 20, 2008

Kisah Pembunuhan Paling Sadis


Judul buku: In Cold Blood
Penulis: Truman Capote
Penerbit: Bentang Pustaka, Yogyakarta
Edisi: I, 2008
Tebal buku: 474 hlm.
Buku kesembilan karya penulis Truman Capote ini di kalangan pemerhati sastra sering disebut sebagai sebuah bentuk sastra baru: novel nonfiksi. Truman Capote yang lahir pada 30 September 1942 ini memerlukan waktu tidak kurang dari enam tahun untuk menyelesaikan In Cold Blood ini.
Aslinya, buku ini pertama kali terbit di Amerika Serikat (AS) pada 1965. Terjemahan bahasa Indonesianya oleh penerbit Bentang berdasarkan buku yang sama, tetapi edisi 2002. Di negaranya, buku ini termasuk salah satu buku terbaik sepanjang masa.
In Cold Blood adalah buku yang dibuat berdasarkan kisah nyata yang terjadi pada 16 November 1959 di Negara Bagian Kansas, AS.
Satu keluarga pemilik pertanian ditemukan tewas dengan kondisi mengenaskan di sebuah desa kecil, Holcomb. Mereka adalah Mr. Herbert Clutter beserta istri dan kedua orang anaknya. Keempat korban malang ini dibantai secara sadis di dalam rumah mereka sendiri. Sherif setempat menyimpulkan, bahwa motif pembunuhan tersebut adalah perampokan. Tetapi apakah benar demikian jika melihat nilai harta yang berhasil digondol kabur si pelaku pembunuhan itu hanya sebesar US$ 42 saja.
Peristiwa itu tercatat sebagai salah satu pembunuhan paling sadis di Kansas. Tak membutuhkan waktu terlalu lama, para penyelidik yang dipimpin oleh detektif Dewey ahirnya berhasil menggulung para pelakunya, Richard “Dick” Hickock dan Perry Smith. Para juri di pengadilan kemudian sepakat menjatuhkan hukuman gantung bagi mereka berdua.
Sebagai penggemar kisah suspens dan detektif, bagian paling menarik menurut saya adalah ketika kedua cecunguk ini diinterogasi. Kita seolah-olah diajak serta meneropong benak para pembunuh ini; mengungkap masa lalu dan latar belakang psikologis keduanya. Secara detail Capote menceritakan kehidupan Perry dan Dick yang pada dasarnya tidak bahagia. Mereka adalah anak-anak keluarga miskin broken home yang kurang kasih sayang.
Penelusuran ke masa lalu ini menjadi memikat sebab ditulis dengan penuh ketelitian, berimbang, dan emosional... Perlahan-lahan rasa kasihan dan simpati saya timbul kepada kedua kriminal ini. Meskipun ini sungguh-sungguh sebuah kisah nyata, namun dengan cerdik Capote berhasil membuatnya bagaikan sebuah novel fiksi. Tokoh-tokohnya hadir dengan karakter yang kuat, melekat terus dalam ingatan pembacanya.
Motif mereka membunuh semata-mata karena uang. Kabar tentang Clutter pertama kali mereka dengar di penjara Lansing dari mulut Floyd Wells, teman satu sel Dick. Wells bercerita bahwa sebelum dipenjara ia pernah bekerja pada Mr.Clutter. Wells yakin Mr. Clutter adalah seorang kaya raya dan pasti memiliki brankas di suatu tempat di rumahnya. Dick mencatat semua ocehan Wells dalam otaknya, lengkap dengan “gambar” denah rumah Mr. Clutter. Dick sesumbar bahwa jika ia bebas dari Lansing ia akan merampok Mr. Clutter demi lembaran dolar di brankasnya.
Wells tak pernah menduga Dick akan benar-benar menjalankan rencananya. Ia mengajak serta Perry Smith, seorang pemuda keturunan Indian yang menggemari sastra yang juga dikenalnya di penjara Lansing. Lewat informasi dan “kesaksian” Wells ini, sherif akhirnya berhasil menangkap Dick dan Perry.
Pada bagian awal cerita, saya agak direpotkan dengan kalimat panjang (berikut anak kalimat yang banyak pula, mengingatkan saya pada alm. Romo Mangun) Capote. Tetapi, lambat-laun, setelah bisa “menyesuaikan diri” dan masuk ke dalam alurnya, justru saya menemukan kenikmatan tersendiri selama membacanya dan tak ingin berhenti sampai terungkap misteri yang menyelimuti kisah kelam ini.
Capote melengkapi bukunya dengan berbagai bahan dan data yang diperolehnya dari berbagai sumber, baik berupa catatan resmi atau pun hasil wawancara dengan semua orang yang terlibat langsung. Konon ia dibantu oleh sahabatnya, Harper Lee (penulis novel keren To Kill A Mockingbird).
Eksekusi hukuman mati bagi Perry dan Dick baru telaksana pada tengah malam 14 April 1965. Mereka digantung di Lansing, Kansas setelah gagal melakukan berbagai upaya pembatalan hukuman mati lewat pengadilan banding dan Mahkamah Agung Amerika Serikat. Empat bintang dari saya. (Endah Sulwesi, penikmat sastra, tinggal di Jakarta)
Link Endah Sulwesi: http://perca.multiply.com/reviews/item/24