Wednesday, December 31, 2008

Buku Ke-3.154: Bisa!


Setumpuk buku memenuhi ruang pribadi saya, di atas meja kerja, menumpuk di rak-rak buku di ruang perpustakaan pribadi, di lantai kamar tidur, di atas meja tempat berkumpul keluarga, bahkan di atas televisi atau meja komputer. Di antara sejumah buku-buku itu, ada yang telah selesai dibaca, separuh selesai dibaca, ditunda membacanya, bahkan saya tak ingin melanjutkan untuk membacanya—dengan berbagai alasan.
Buku karya Joseph E. Stiglitz, Globalization and It’s Discontents (Penguin Books, 2002), merupakan buku koleksi pustaka pribadi saya yang ke-3.154. Buku ini adalah hadiah terindah dari sahabat, Filda Yusgiantoro, yang membawanya sebagai ole-ole dari Amerika Serikat. Untuk itu saya menyampaikan terima kasih sekali lagi atas persahabatan ini. Semoga hajatan nanti pada Januari 2009 berjalan lancar. Salam buat Mas Alex, selamat menempuh hidup baru…
Di kalangan mereka yang menggemari “nomor cantik” plat nomor polisi untuk kendaraan (sepeda motor atau mobil), angka 3154 acapkali dibaca sebagai “BISA”. Andaikan saja metode baca ini benar dalam kaidah bahasa Indonesia, maka jumlah koleksi buku pribadi hingga akhir Desember 2008 yang ke-3.154 (Globalization and It’s Discontents) ini boleh juga dibaca: Bisa!
Makna kata “bisa” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Balai Pustaka, 2001) dapat berarti: Pertama, (v) mampu (kuasa melakukan sesuatu); dapat. Kedua, 1. (n) zat racun yang menyebabkan luka, busuk, atau mati bagi sesuatu yang hidup (biasanya terdapat pada binatang); 2. (ki) sesuatu yang buruk, yang dapat merusakkan akhlak manusia atau masyarakat.
Di luar konteks makna kata “bisa” yang saling bertolak belakang ini, saya ingin mengambil sisi positifnya saja. Saya tak ingin menjadi “racun” bagi dunia ini, atau sesuatu yang buruk yang dapat merusakkan akhlak manusia atau masyarakat. Jumlah koleksi buku ke-3.154 dan kata bisa ini menjadi inspirasi bagi tata hidup saya, ke mana arah menuju. Filosofinya, saya harus bisa mengarungi hidup ini dengan baik, sukses, dan selamat. Bisa melakukan banyak hal yang bermanfaat bagi diri pribadi, keluarga, dan masyarakat sekitar. Harus bisa, bisa, dan bisa!
Selama dua bulan terakhir (November-Desember 2008) ini saya telah membaca 19 judul buku dari beragam topik. Buku-buku ini telah menjadi ‘penghuni’ di lemari buku perpustakaan pribadi saya. Inilah buku yang dibaca selama November-Desember 2008 ini:

-Globalization and It’s Discontents (Joseph Stiglitz, Penguin Books, 2002)
-Fitnah: Menjawab Provokasi Geert Wilders dengan Cerdas (Musa Kazhim & Alfian Hamzah, Hikmah, 2008)
-Tuhan & Hal-hal yang Tak Selesai (Goenawan Mohamad, Kata Kita, 2007)
-Tafsir Politik (Michael T. Gibbons, Qalam, 2002)
-Pembebasan Perempuan (Asghar Ali Engineer, LKiS, 2003)
-Making Globalization Work (Joseph Stiglitz, Mizan, 2007)
-The Dan Brown Companion: The Truth Behind the Fiction (Mainstream Publishing, 2006)
-Dialektika Kesadaran Perspektif Hegel (Martin Heidegger, Ikon Teralitera, 2002)
-Perihal Demokrasi: Menjelajahi Teori dan Praktek Demokrasi Secara Singkat (Robert A. Dahl, YOI, 2001)
-Teori Sosiologi Modern (George Ritzer & Douglas J. Goodman, Kencana, 2004)
-Hong Kong in the Mouth of the Dragon (Pierre Cayrol, Charles E. Tuttle Company, 1998)
-Pertahanan Negara dan Postur TNI Ideal (Connie Rahakundini Bakrie, YOI, 2007)
-Things Fall Apart (Chinua Achebe, Hikmah, 2007)
-Death Dance (Linda Fairstein, Pocket Star Books, 2006)
-In the Belly of the Green Bird: The Triumph of the Martyrs in Iraq (Nir Rosen, Free Press, 2006)
-Kamus Lengkap Pemikiran Sosial Modern (William Outhwaite, ed., Kencana, 2008)
-Pertempuran 10 November 1945: Kesaksian & Pengalaman Seorang Aktor Sejarah (Bung Tomo, Visimedia, 2008)
-Renungan Ida Arimurti: Membuat Hidup Jadi Lebih Berarti (Ida Arimurti, Hikmah, 2008)
-Syair untuk Sahabat (Yudhi F. Oktaviadhi, Gramedia Pustaka Utama, 2008).

Di antara 19 buku yang dibaca ini, antara lain diperoleh dengan cara membeli, hadiah dari sahabat, dan menerima kiriman (gratis) dari beberapa penerbit buku: Hikmah (Jakarta), Mizan (Bandung), Ikon Teralitera (Surabaya), Visimedia (Jakarta), Prenada Media (Jakarta), Gramedia Pustaka Utama (Jakarta), Qalam (Yogyakarta), dan LKiS (Yogyakarta). Saya menyampaikan terima kasih atas kerja sama yang telah terjalin selama rentang waktu yang cukup panjang ini.
Buku yang saya rekomendasikan untuk dibaca segera adalah: (1) Globalization and It’s Discontents, (2) Kamus Lengkap Pemikiran Sosial Modern, (3) Tuhan & Hal-hal yang Tak Selesai, (4) Pertahanan Negara dan Postur TNI Ideal, dan (5) Syair untuk Sahabat.
Akhirnya, selamat membaca, semoga tercerahkan...

Saturday, December 20, 2008

Kisah Pembunuhan Paling Sadis


Judul buku: In Cold Blood
Penulis: Truman Capote
Penerbit: Bentang Pustaka, Yogyakarta
Edisi: I, 2008
Tebal buku: 474 hlm.
Buku kesembilan karya penulis Truman Capote ini di kalangan pemerhati sastra sering disebut sebagai sebuah bentuk sastra baru: novel nonfiksi. Truman Capote yang lahir pada 30 September 1942 ini memerlukan waktu tidak kurang dari enam tahun untuk menyelesaikan In Cold Blood ini.
Aslinya, buku ini pertama kali terbit di Amerika Serikat (AS) pada 1965. Terjemahan bahasa Indonesianya oleh penerbit Bentang berdasarkan buku yang sama, tetapi edisi 2002. Di negaranya, buku ini termasuk salah satu buku terbaik sepanjang masa.
In Cold Blood adalah buku yang dibuat berdasarkan kisah nyata yang terjadi pada 16 November 1959 di Negara Bagian Kansas, AS.
Satu keluarga pemilik pertanian ditemukan tewas dengan kondisi mengenaskan di sebuah desa kecil, Holcomb. Mereka adalah Mr. Herbert Clutter beserta istri dan kedua orang anaknya. Keempat korban malang ini dibantai secara sadis di dalam rumah mereka sendiri. Sherif setempat menyimpulkan, bahwa motif pembunuhan tersebut adalah perampokan. Tetapi apakah benar demikian jika melihat nilai harta yang berhasil digondol kabur si pelaku pembunuhan itu hanya sebesar US$ 42 saja.
Peristiwa itu tercatat sebagai salah satu pembunuhan paling sadis di Kansas. Tak membutuhkan waktu terlalu lama, para penyelidik yang dipimpin oleh detektif Dewey ahirnya berhasil menggulung para pelakunya, Richard “Dick” Hickock dan Perry Smith. Para juri di pengadilan kemudian sepakat menjatuhkan hukuman gantung bagi mereka berdua.
Sebagai penggemar kisah suspens dan detektif, bagian paling menarik menurut saya adalah ketika kedua cecunguk ini diinterogasi. Kita seolah-olah diajak serta meneropong benak para pembunuh ini; mengungkap masa lalu dan latar belakang psikologis keduanya. Secara detail Capote menceritakan kehidupan Perry dan Dick yang pada dasarnya tidak bahagia. Mereka adalah anak-anak keluarga miskin broken home yang kurang kasih sayang.
Penelusuran ke masa lalu ini menjadi memikat sebab ditulis dengan penuh ketelitian, berimbang, dan emosional... Perlahan-lahan rasa kasihan dan simpati saya timbul kepada kedua kriminal ini. Meskipun ini sungguh-sungguh sebuah kisah nyata, namun dengan cerdik Capote berhasil membuatnya bagaikan sebuah novel fiksi. Tokoh-tokohnya hadir dengan karakter yang kuat, melekat terus dalam ingatan pembacanya.
Motif mereka membunuh semata-mata karena uang. Kabar tentang Clutter pertama kali mereka dengar di penjara Lansing dari mulut Floyd Wells, teman satu sel Dick. Wells bercerita bahwa sebelum dipenjara ia pernah bekerja pada Mr.Clutter. Wells yakin Mr. Clutter adalah seorang kaya raya dan pasti memiliki brankas di suatu tempat di rumahnya. Dick mencatat semua ocehan Wells dalam otaknya, lengkap dengan “gambar” denah rumah Mr. Clutter. Dick sesumbar bahwa jika ia bebas dari Lansing ia akan merampok Mr. Clutter demi lembaran dolar di brankasnya.
Wells tak pernah menduga Dick akan benar-benar menjalankan rencananya. Ia mengajak serta Perry Smith, seorang pemuda keturunan Indian yang menggemari sastra yang juga dikenalnya di penjara Lansing. Lewat informasi dan “kesaksian” Wells ini, sherif akhirnya berhasil menangkap Dick dan Perry.
Pada bagian awal cerita, saya agak direpotkan dengan kalimat panjang (berikut anak kalimat yang banyak pula, mengingatkan saya pada alm. Romo Mangun) Capote. Tetapi, lambat-laun, setelah bisa “menyesuaikan diri” dan masuk ke dalam alurnya, justru saya menemukan kenikmatan tersendiri selama membacanya dan tak ingin berhenti sampai terungkap misteri yang menyelimuti kisah kelam ini.
Capote melengkapi bukunya dengan berbagai bahan dan data yang diperolehnya dari berbagai sumber, baik berupa catatan resmi atau pun hasil wawancara dengan semua orang yang terlibat langsung. Konon ia dibantu oleh sahabatnya, Harper Lee (penulis novel keren To Kill A Mockingbird).
Eksekusi hukuman mati bagi Perry dan Dick baru telaksana pada tengah malam 14 April 1965. Mereka digantung di Lansing, Kansas setelah gagal melakukan berbagai upaya pembatalan hukuman mati lewat pengadilan banding dan Mahkamah Agung Amerika Serikat. Empat bintang dari saya. (Endah Sulwesi, penikmat sastra, tinggal di Jakarta)
Link Endah Sulwesi: http://perca.multiply.com/reviews/item/24

Monday, December 8, 2008

Siapa Perusak Ekonomi Global?


Judul buku : Globalization and It’s Discontents
Penulis : Joseph Stiglitz
Penerbit : Penguin Books, England
Edisi : I, 2002
Tebal buku : xxii + 288 hlm.

Jika pertanyaan “Siapa perusak ekonomi global” ditujukan kepada Joseph Stiglitz, pemenang Hadiah Nobel bidang Ekonomi (2001) dan mantan Ketua Tim Ekonom Bank Dunia, yang juga pernah menjadi Ketua Dewan Penasihat Ekonomi Presiden Bill Clinton; bisa dipastikan dia akan menjawab lantang, “Amerika dan lembaga keuangan internasional!”.

Itulah yang ingin ditegaskan Joe Stiglitz dalam buku bestseller-nya, Globalization and It’s Discontents. Buku dengan analisis tajam dan dalam ini menjelaskan begitu banyak kelemahan dari kebijakan ekonomi global, yang pada akhirnya terbukti secara nyata melalui krisis ekonomi global yang sedang melanda dunia sekarang ini.

Berdasarkan pengalamannya selama berada di Gedung Putih dan di Bank Dunia, Joe Stiglitz secara peka menggambarkan begitu banyak upaya yang dilakukan lembaga keuangan global dalam proses globalisasi itu telah menjatuhkan beberapa negara yang sedang mengalami krisis finansial yang seharusnya mereka—lembaga finansial dunia seperti IMF dan Bank Dunia—bantu. Inilah mengapa banyak analis keuangan global membuktikan “salah urus” yang dilakukan lembaga keuangan internasional dalam proses globalisasi.

Karier akademik Joe Stiglitz yang cemerlang terutama selama berada di lingkungan dalam Washington DC, setidaknya telah membentuk dirinya untuk bertindak secara profesional. Sebelum akhirnya ‘terjerumus’ dalam Gedung Putih, dia intens dalam penelitian dan menulis tentang abstraksi ekonomi matematika—membantu mengembangkan cabang ilmu ekonomi yang sekarang disebut Ilmu Ekonomi Informasi—serta berbagai topik ekonomi terapan lainnya seperti ekonomi publik, ekonomi pembangunan, dan kebijakan moneter.

Lebih dari 25 tahun lamanya, Joe Stiglitz telah menulis berbagai topik kebijakan ekonomi seperti kepailitan, corporate governance, dan keterbukaan terhadap akses informasi (para ekonom menyebutnya sebagai transparansi). Beberapa topik kajian ekonomi ini, termasuk transisi dari sistem ekonomi komunis ke sistem ekonomi pasar, merupakan isu yang sangat penting pada saat mulainya krisis keuangan global yang terjadi pada 1997 lalu.

Krisis ekonomi global yang dipicu oleh krisis keuangan (2008) yang melanda perekonomian Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Presiden George W. Bush, yang kemudian berimbas kepada perekonomian global ini tidak lepas dari apa yang pernah diperingatkan secara keras dan lantang oleh Joe Stiglitz semenjak dua dasawarsa silam.

Lewat karya fenomenalnya, Globalization and It’s Discontents, Joe Stiglitz menuduh Amerika sebagai “penjahat utama” terjadinya krisis ekonomi global. Dia pun menuduh negara Barat bersikap “munafik” karena telah memaksa negara miskin di dunia untuk menghapuskan hambatan perdagangan, tetapi mereka—negara Barat—tetap memertahankan hambatan perdagangan mereka sendiri, mencegah negara berkembang mengekspor hasil pertanian mereka dan akibatnya mengurangi pendapatan ekspor yang sangat mereka butuhkan.

“The critics of globalization accuse Western countries of hypocrisy, and the critics are right. The Western countries have pushed poor countries to eliminate trade berriers, but kept up their own barriers, preventing developing countries from exporting their agricultural products and so depriving them of desperately needed export income. It not only hurt the developing countries; it also cost Americans, both as consumers, in the higher prices they paid, and as taxpayers, to finance the huge subsidies, billions of dollars.” (hlm. 6-7)

Inilah di antara kecaman dan ketidaksetujuan Joe Stiglitz pada kebijakan globalisasi perdagangan yang menurutnya tidak adil itu. Baginya, Amerika bersama beberapa negara Barat telah berlaku munafik dan mengabaikan kemiskinan—akibat globalisasi—yang dialami negara berkembang yang sungguh ironi itu. Padahal, kebijakan globalisasi ekonomi ini sejatinya dimaksudkan untuk menyejahterakan umat manusia di seluruh dunia dan mengurangi kemiskinan global. Alih-alih menghasilkan apa yang direncanakan semula, kebijakan ini justru semakin mempermiskin orang-orang yang hidup di negara Dunia Ketiga.

Karena itu, apa pun pendapat kita tentang keterlibatan Joe Stiglitz dalam lembaga donor internasional (seperti Bank Dunia), yang dituduhnya juga sebagai “biang kerok” proses pemiskinan global, pembaca akan terpikat oleh pandangannya yang begitu tajam dan terpercaya, yang mengusung agenda reformasi untuk menata kembali globalisasi itu.

Buku Globalization and It’s Discontents ini direkomendasikan sebagai bacaan wajib bagi mereka yang peduli terhadap masa depan, yang percaya bahwa dunia yang bermoral dapat diciptakan, dan yang ingin mengalihkan pembenturan antara kaum miskin dan kaya. Buku ini bagaikan cerita perang dari dalam dinding Gedung Putih dan Bank Dunia, pengakuan dari seorang ekonom yang berpengaruh, yang memiliki kesadaran politik dan nalar yang sehat.

Sejatinya, globalisasi sekarang ini tidak berpihak kepada kaum miskin di dunia. Ia (globalisasi) tidak bekerja untuk sebagian besar lingkungan yang ada. Ia tidak menciptakan stabilitas ekonomi global. Transisi dari komunisme menuju ekonomi pasar dikelola sebegitu parahnya sehingga, kecuali di China, Vietnam, dan sejumlah negara Eropa Timur, kemiskinan meningkat tajam ketika pendapatan terpuruk. Joe Stiglitz menulis, “Globalization today is not working for many of the world’s poor. It is not working for much of the environment. It is not working for the stability of the global economy. The transition from communism to a market economy has been so badly managed that, with the exception of China, Vietnam, and a few Eastern European countries, poverty has soared as incomes have plummeted.” (214)

Joe Stiglitz mempertimbangkan kebijakan ekonomi IMF. Menurutnya, sebagian berdasarkan anggapan yang usang bahwa pasar, dengan sendirinya, mengarah pada hasil yang efisien, tidak memberikan ukuran kebolehan intervensi pemerintah yang diperlukan di dalam pasar sehingga dapat mengarahkan pertumbuhan ekonomi dan membuat setiap orang lebih sejahtera. Dia memaparkan perselisihan pendapat itu ke dalam beberapa gagasan dan konsepsi mengenai peran pemerintah yang berasal dari berbagai gagasan tersebut.

Walaupun gagasan-gagasan itu memiliki peran penting dalam menentukan kebijakan—dalam pembangunan, menyelesaikan krisis, dan dalam masa transisi—berbagai gagasan tersebut merupakan hal utama dalam persepsi yang dirumuskan Joe Stiglitz mengenai bagaimana mereformasi lembaga keuangan internasional yang seharusnya dapat mendorong pembangunan ekonomi, menyelesaikan krisis, dan memfasilitasi transisi ekonomi dunia.

Melalui buku Globalization and It’s Discontents ini, Joe Stiglitz memaparkan kegagalan pasar dan pemerintah, serta tidak begitu naifnya menganggap bahwa pemerintah dapat memperbaiki setiap kegagalan pasar tersebut. Stiglitz menyangsikan pandangan bahwa pasar dengan sendirinya dapat memecahkan setiap permasalahan (ekonomi) yang dialami publik.

Ketidakmerataan, pengangguran, dan polusi adalah persoalan yang membutuhkan keterlibatan peran penting pemerintah. Joe Stiglitz meneliti inisiatif reformasi untuk “pembaruan pemerintahan” (reinventing government)—menjadikan pemerintah bekerja lebih efisien dan lebih tanggap dalam menghadapi setiap krisis yang dihadapi.

Menurut Joe Stiglitz, reaksi negatif terhadap globalisasi berasal tidak hanya dari kerusakan nyata yang dilakukan pada negara berkembang (developing countries) karena kebijakan yang diarahkan oleh ideologi, tetapi juga dari ketidakadilan sistem perdagangan global. Hingga kini, beberapa negara—selain mereka yang memiliki kepentingan tertentu untuk mendapatkan keuntungan dengan membatasi barang yang diproduksi oleh negara miskin—masih tetap memertahankan kemunafikan, berpura-pura membantu negara berkembang dengan memaksa mereka untuk membuka pasarnya terhadap barang dari negara industri maju, sementara pasar mereka sendiri tertutup rapat.Ini merupakan kebijakan yang membuat orang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin terpuruk ke dalam jurang kemiskinan—serta membangkitkan kemarahan. (Syafruddin Azhar)

Sunday, October 26, 2008

Most Likely to Die


Kobaran Cinta, Dendam, dan Pengharapan Berbalut Dosa

Judul buku : Most Likely to Die
Penulis : Lisa Jackson, Beverly Barton & Wendy C. Staub
Penerbit : Dastan, Jakarta
Edisi : I, Agustus 2008
Tebal buku : 584 hlm.

1986: Portland, Oregon. Pesta dansa malam valentine di SMA Katolik St. Elizabeth berubah menjadi mimpi buruk. Jake Marcott sang casanova ditemukan tewas terbunuh. Tubuhnya tertancap di pohon ek dengan anak panah tepat menghunjam jantung.

Sang pembunuh, yang dijuluki The Cupid Killer, tidak pernah tertangkap, meninggalkan wanita-wanita terkasih Jake berkubang dalam trauma.

2006: Dua puluh tahun kemudian, menjelang reuni SMA St. Elizabeth, The Cupid Killer kembali beraksi. Setiap wanita yang mengidolakan Jake semasa SMA menjadi targetnya.
Para wanita itu mendapat undangan reuni beserta ‘tanda maut’ berupa foto mereka masing-masing yang disilang dengan noda merah.

Sejauh ini, The Cupid Killer telah menghabisi tiga korban. Namun, yang menjadi target puncaknya adalah Kristen, Lindsay, dan Rachel—tiga mantan kekasih Jake Marcott. Ketiganya pun berusaha mengungkap jati diri The Cupid Killer. Mencoba membongkar rahasia kelam sang pembunuh, yang dapat membebaskan mereka dari bayangan gelap cinta masa lalu, sebelum The Cupid Killer kembali mengisi “kuil suci”-nya dengan suvenir yang ia ambil dari para korbannya...
“Novel romantic suspense yang menguak efek dari cinta, benci, tragedi, dan pengkhianatan... Sangat luar biasa”—Book Reporter

“Sebuah novel tentang cinta, pembalasan dendam, dan rahasia kelam yang berujung pada rangkaian pembunuhan mengerikan”—Barnes & Noble

“Ditulis oleh tiga penulis laris versi New York Times, menjamin sebuah cerita yang sangat mencengangkan dan penuh intrik”—The Compulsive Reader

“Seperti naik roller coaster, pembaca pasti akan merasakan ketegangan di tiap halamannya”—Arm Chair Interviews

“Sebuah novel yang mengagumkan… Bravo!”—Romantic Times

“Salah satu novel yang paling menegangkan tahun ini”—Harriet Klausner at Amazon.com

“Novel yang bagus”—Amazon.com

“Kisah yang diceritakan dengan apik, membuat Anda terpikat oleh tiap halamannya”—Goodreads Review

“Misteri yang menegangkan dan menakutkan, membuat pembaca terus menebak-nebak hingga akhir”—Paper Back Swap Review.

Saturday, October 18, 2008

Nothing To Fear


Kekuatan Dendam Seorang Wanita

Judul buku : Nothing To Fear
Penulis : Karen Rose
Penerbit : Zahra, Jakarta
Edisi : I, September 2008
Tebal buku : 588 hlm.
Harga : Rp 69.900,-

Kekuatan dendam seorang wanita bisa begitu besar, begitu menghancurkan, dan begitu mengalahkan cinta...

Wight’s Landing, Maryland. Pasangan suami-istri Vaughn pulang dari perayaan ulang tahun pernikahan dan menemukan rumah mereka berantakan. Paul McMillan, tunangan Cheryl Rickman, terapis anak mereka, ditemukan tewas mengenaskan. Kepalanya hancur tertembak dan posisi tubuhnya diatur seolah bunuh diri. Alec, anak mereka yang menderita cacat, lenyap. Yang tertinggal hanyalah secarik kertas berisi ancaman dan tuntutan untuk menyerahkan tebusan. Suami-istri itu pun meminta bantuan Ethan Buchanan, eks marinir yang juga teman mereka, untuk menemukan Alec.

Hanover House, Chicago. Dana Dupinsky menerima seorang wanita misterius dan anaknya di rumah singgah yang didirikannya untuk membantu wanita korban kekerasan rumah tangga. Wajah wanita itu dipenuhi memar dan anaknya sama sekali tidak bicara karena trauma. Namun, lama-kelamaan Dana curiga terhadap wanita yang tampaknya tidak peduli pada anaknya sendiri itu. Terlebih lagi, dokter yang diminta Dana untuk memeriksa anak itu tewas secara mengenaskan sebelum sempat melaporkan hasil pemeriksaannya.

Sementara itu, Dana bertemu dengan Ethan, lelaki asing yang anehnya memberikan Dana ketenangan yang belum pernah dirasakan sebelumnya. Sejalan dengan berkembangnya hubungannya dengan Ethan, satu per satu rahasia kelam mulai terbongkar. Rahasia kelam Dana. Rahasia kelam Ethan. Dan rahasia kelam sang wanita misterius, yang ternyata dapat menyelamatkan Alec Vaughn dari kematian...

Pujian untuk novel ini:

-Buku ini, tentu saja, memiliki segalanya... ketegangan, romansa, humor, dan persahabatan.—Barnes&Noble

-Jika Anda adalah penggemar romantic-suspense, Mrs. Rose adalah pengarang yang tepat!
—Amazon.com

-Contoh yang bagus untuk genre romantic-suspense.—Armchair Interviews

-Nothing To Fear adalah novel suspense menegangkan yang akan menghanyutkan pembaca dari awal hingga akhir.—Harriet Klausner, #1 reviewer at Amazon.com

-Salah satu novel romantic-suspense yang sangat menyenangkan untuk dibaca.—Book Reporter

-Rose menghadirkan ketegangan tingkat tinggi yang begitu memikat para pembaca.—Lisa Gardner, penulis bestseller.

-Pilihan tepat! Mengerikan dan berani!—Romantic Times

Monday, September 29, 2008

Tionghoa dalam Cengkeraman SBKRI


Etnik Tionghoa dalam Kemelut SBKRI

Judul buku : Tionghoa dalam Cengkeraman SBKRI
Penulis : Wahyu Effendi dan Prasetyadji
Penerbit : Visimedia, Jakarta
Edisi : I, 2008
Tebal buku : xii + 148 hlm.
Harga : Rp. 28.000,-

Sosialisasi Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia yang dilakukan Departemen Hukum dan HAM RI di berbagai daerah di Tanah Air sejak Agustus 2006 lalu, tampaknya masih mengundang banyak pertanyaan. Hal ini disebabkan masih ada yang mempersyaratkan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) dalam setiap pengurusan berbagai dokumen seperti paspor, pengurusan KTP dan atau SIM, serta dokumen pernikahan.

Kewarganegaraan adalah pengertian yang senantiasa diolah ulang dalam wacana kehidupan berbangsa dan bernegara. Istilah itu terdiri dari dua suku kata yang menyatu, “warga” dan “negara” yang masing-masing bermakna melintas, meskipun mencakup pengertian “anggota” dan “suku” atau “agama”, “daerah”, “adat”, atau “marga”.

Kebangsaan Indonesia dibangun di atas dan bersama oleh berbagai identitas kelompok masyarakat. Karena itu atas nama konstitusi yang menjadi dasar kehidupan bersama bangsa Indonesia tidak seharusnyalah didiskriminasi, khususnya SBKRI yang diangkat secara jelas dalam buku Tionghoa dalam Cengkeraman SBKRI, yang dibiarkan hidup di bumi persada ini.

Sampai dengan dua tahun pasca-diterbitkannya UU No. 12/2006 itu ternyata masih saja disemarakkan dengan tetap diberlakukannya SBKRI kepada WNI keturunan Tionghoa. Kenyataan ini menambah daftar panjang “kegagalan” upaya pemerintah dalam menyelesaikan persoalan diskriminasi rasial sejak 1978. Kala itu Peraturan Menteri Kehakiman ditindaklanjuti pelaksanaannya dengan terbitnya Surat Edaran Menteri Kehakiman No. JHB.3/31/3 Tahun 1978 kepada semua Pengadilan Negeri. Inti Surat Edaran tersebut ‘mewajibkan’ kaum peranakan untuk memiliki SBKRI.

Fenonema SBKRI itu menjadi persoalan kewarganegaraan dan salah satu catatan hitam Indonesia dalam pemenuhan International Convention on Elimination of All Forms of Racial Discrimination, yang telah diratifikasi Pemerintah Indonesia pada 1999.

Padahal, SBKRI sebagai sebuah dokumen an sich tidaklah istimewa, hanya berbentuk buku saku hampir menyerupai paspor, bersampul hijau, dan pada cover depan bertuliskan “Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia”. Namun memiliki dokumen SBKRI ini, persoalannya tidaklah sesederhana dan terbatas sebagai seorang anak dari orangtua warga negara Indonesia etnik Tionghoa beranjak usia 18 tahun, atau sudah menikah, biar pun sang orangtua atau kakek-nenek buyutnya telah menjadi warga negara Indonesia. Layaknya suatu “ritual generasi” ketika sang anak telah menjadi orangtua, dia pun harus mengurus SBKRI anaknya, begitu seterusnya terjadi dari generasi ke generasi.

Sepuluh tahun yang lalu atau bahkan mungkin juga saat ini, kenyataan tersebut dibantah sebagai praktik diskriminasi atau bahkan dianggap sebagai mitos diskriminasi. Adanya kebijakan dan korban beberapa generasi membuktikan bahwa SBKRI bukanlah mitos, melainkan kisah nyata anak negeri, yang sejak dilahirkan dari rahim ibunya sampai menutup mata (meninggal) dalam pelukan Ibu Pertiwi, wajib memiliki SBKRI!

Walaupun hanya berupa kewajiban administrasi, tetapi dalam prinsipnya penerapan SBKRI terhadap WNI keturunan Tionghoa telah menyentuh persoalan mendasar dalam kebersamaan kebangsaan, yakni (legalitas) kewargaan dengan negaranya, Indonesia. Dengan menyandang SBKRI itu sama artinya menempatkan warga etnik Tionghoa dalam status kewargaan “yang dipertanyakan”; seolah-olah keindonesiaannya patut dipertanyakan.

Dengan demikian, persoalan SBKRI ini tidak saja menjadi “momok” bagi warga Tionghoa semata, tetapi telah menjdi “duri” dalam upaya mewujudkan integrasi kebangsaan Indonesia yang sesungguhnya. Sebab, pada hakikatnya SBKRI dalam arti identitas kewarganegaraan tidak saja berkaitan dengan status legalnya (citizenships-as-legal-status), tetapi juga luasan dan kualitas kewarganegaraan seseorang yang merupakan fungsi dari partisipasi orang tersebut di dalam komunitas politiknya (citizenships-as-desireable-activity).

Fakta ketimpangan kehidupan berbangsa dan bernegara itu berupa kebijakan diskriminatif negara terhadap etnik Tionghoa di Indonesia beserta sejarah dan latar belakang lahirnya kebijakan SBKRI inilah yang dicoba dipaparkan dalam buku karya bersama Wahyu Effendi (Tjoa Jiu Tie) dan Prasetyadji, berjudul Tionghoa dalam Cengkeraman SBKRI.

Penyelesaian persoalan SBKRI menjadi batu ujian konsistensi prinsip kebangsaan Indonesia yang diwariskan founding fathers sejak 63 silam. Apakah bangsa ini akan menjadi bangsa yang sesungguhnya, di mana semua komponen bangsa yang multikultural dapat mempersatukan dirinya dengan negara, atau hanya akan menjadi “bangsa di atas kertas” semata?

Sebagai suatu kebijakan negara di masa lalu, SBKRI hanyalah sebuah produk dari politik kebangsaan yang “rasialis”. Kini saatnya bercermin dari ide luhur pendiri bangsa ini untuk belajar dari kesalahan masa lalu, dan menatap masa depan kebangsaan Indonesia yang baru tanpa sekat primordialisme.

Dalam diskusi publik di Kantor CSIS (22/9/2008), Harry Tjan Silalahi mengomentari persoalan SBKRI ini. Dia mengeluhkan masalah SBKRI ini sebagai suatu sikap kebodohan serta mempermaslahkan judul buku yang didikusikan. Istilah Tionghoa dalam “cengkeraman” memiliki konotasi seolah-olah Tionghoa itu ditindas di mana-mana. Padahal tidak demikian.

“Dipersulit, iya, tetapi enggak sampai tertindas,” kata pendiri CSIS itu bersemangat. Lebih lanjut dikatakan Harry Tjan, bahwa persoalan SBK itu dibutuhkan di semua negara di mana pun. SBK sebagai kata generik adalah hal yang biasa, tetapi di Indonesia SBKRI ini hanya dikenakan kepada keturunan Tionghoa sehingga tidak diterima dan dianggap sebagai unsur diskriminasi. Harry Tjan pun menceritakan mengenai adiknya yang seorang kolonel.

“Sebagai kolonel, tentara yang berperang membela negara, tetapi ketika anaknya akan masuk sekolah, kok malah diminta SBKRI-nya. Apakah ini masalah politis, politik diskriminasi? Atau suatu kebodohan karena ketidaktahuan?” tanya Harry Tjan.

Harry Tjan Silalahi menganggap SBKRI sebagai produk kebodohan dan “pemanfaatan” kebodohan dan ketidaktahuan tersebut yang semakin berkembang menjadi sebuah masalah.

Masalah penghapusan SBKRI haruslah segera dituntaskan dalam upaya membangun kehidupan kebangsaan Indonesia yang majemuk dan berperadaban. Penulisan buku Tionghoa dalam Cengkeraman SBKRI ini juga penting sebagai inisiatif yang beradab dalam rangka dialog konstruktif masyarakat dan pemerintah.

Dengan demikian, diterbitkanna buku Tionghoa dalam Cengkeraman SBKRI ini sejalan dengan semangat UU No. 12/2006 tentang Kewarganegaraan RI. Pemikiran dalam buku buku karya Wahyu Effendi (Tjoa Jiu Tie) dan Prasetyadji ini mencoba menyatakan pengaturan prinsip yang tidak termuat dalam UU No. 12/2006, khususnya mengenai SBKRI.

Persoalan yang diangkat buku ini, sebenarnya ukanlah permsalahan baru, bahkan sudaj menjadi pengetahuan publik. Namun terbitnya buku Tionghoa dalam Cengkeraman SBKRI ini setidaknya dapat menjadi literatur yang berguna, sebab tidak banyak buku yang menyoroti persoalan SBKRI ini secara khusus. Karena itu buku ini menjadi referensi penting.

Syafruddin Azhar adalah kolumnis dan peneliti pada Lembaga Pemerhati Kebijakan Publik (LPKP) Jakarta.

Thursday, September 25, 2008

Perang Nuklir?


Angkatan Bersenjata Terbesar di Dunia Siap Melibas Amerika dan Israel

Judul buku : Perang Nuklir?
Penulis : Muhammad Alcaff
Penerbit : Zahra, Jakarta
Edisi : I, September 2008
Tebal buku : 208 hlm.
Harga : Rp 49,900.00

Saat ini, mungkin Republik Islam Iran menjadi negara yang paling ditakuti oleh Amerika Serikat dan Israel. Dengan kekuatan militernya yang terdiri atas 12 juta personel—baik militer reguler, cadangan, maupun sukarelawan—kemampuan Iran dalam meruntuhkan hegemoni serta kesewenang-wenangan AS dan Israel tidak bisa dipandang remeh.

Faktanya, pasukan Hezbollah dukungan Iran terbukti telah berhasil mengusir Israel dari Libanon pada 2000 dan 2006. Iran pun terus mendukung Hamas di Palestina, sehingga menimbulkan ancaman serius bagi pendudukan Israel. Apalagi, Iran kini telah menguasai teknologi nuklir. Kenyataan ini semakin membuat gentar AS dan Israel. Maka tak heran jika keduanya beserta para sekutu Eropa mereka terus menekan Iran berkenaan dengan isu nuklir.

Kini, dunia tengah memasuki babak baru. Hegemoni lama segera berakhir. Peta kekuatan sedang disusun ulang. Iran, dengan kekuatan militernya yang besar dan tangguh, telah mengembalikan harga diri dan kepercayaan diri umat Muslim yang sudah sekian lama diinjak-injak oleh pihak Barat dan Zionis. Pertanyaannya sekarang: Akankah AS dan Zionis akan melepaskan begitu saja hegemoni mereka tanpa aksi militer? Bila mereka melancarkan aksi militer terhadap Iran, bagaimana nasib dunia? Akankah perang nuklir menyeret umat manusia ke jurang kehancuran?

“Dengan bantuan Tuhan, rakyat Iran telah melakukan perlawanan, tengah melakukan perlawanan, dan akan melakukan perlawanan sampai akhir. Jika Anda ingin memulai konflik baru, rakyat Iran akan melawan dan tidak akan mundur satu langkah pun. Namun jika Anda menginginkan persahabatan dan kerja sama, rakyat Iran akan menjadi sahabat terbaik Anda. Jika Anda bergerak maju berdasarkan hukum, keadilan, dan logika, maka Iran akan merundingkan masalah global penting dan akan bekerja sama dalam menyelesaikan masalah kemanusiaan itu. Dunia harus tahu kalau Iran tidak akan mundur seinci pun dari haknya menggunakan nuklir.” (Presiden Mahmoud Ahmadinejad)

“Kami tidak akan menghentikan proyek uranium. Karenanya, kami memandang sebaiknya Barat bisa lebih baik memahami proyek uranium Iran. Saya berkata kepada Bush, bahwa masa kekuasaannya telah berakhir dan syukurlah, Anda (Bush) tidak akan dapat merusak satu sentimeter pun tanah suci Iran... Jika musuh berpikir bahwa mereka dapat menghancurkan bangsa Iran dengan tekanan, maka mereka salah. Bangsa Iran akan menghapus senyuman dari wajah mereka.” (Presiden Mahmoud Ahmadinejad)

Ahmadinejad Menggugat!


Iran Mematahkan Arogansi Amerika dan Israel

Judul buku : Ahmadinejad Menggugat!
Penulis : Dr. Mahmud Ahmadinejad
Penerbit : Zahra, Jakarta
Edisi : I, September 2008
Tebal buku : 352 hlm.
Harga : Rp 49,900.00

Saat ini pemerintah negara Barat yang dimotori Presiden Amerika Serikat, George W. Bush, begitu memusuhi Republik Islam Iran dan Presidennya, Mahmud Ahmadinejad. Berbagai isu pun dikembangkan untuk menyudutkan Iran dan Ahmadinejad, mulai dari isu terorisme sampai isu senjata nuklir.

Faktanya, semua itu hanyalah akal-akalan Zionis Israel dan Amerika untuk melancarkan rencana busuk mereka yang hendak mendirikan Israel Raya yang membentang dari Sungai Nil (Mesir) hingga ke Sungai Furat (Irak). Iran dan presiden progresifnya menjadi batu penghalang terbesar bagi rencana itu. Kalahnya pasukan Israel oleh Hizbullah dukungan Iran di Libanon dan kefasihan Ahmadinejad di Universitas Columbia AS, merupakan bentuk perlawanan yang mengangkat martabat umat Islam yang selama ini terpuruk di bawah kaki Amerika dan Zionis.

Buku ini memuat pikiran Ahmadinejad serta visinya dalam membangun tatanan dunia yang adil di masa depan. Niscaya kita akan bisa membaca ke mana arah kebijakan Iran dan akan dibawa ke mana segala ketegangan yang terjadi antara Iran dan negara Barat yang dimotori Amerika. Apakah akan dibawa ke arah perang terbuka yang berarti kiamat kecil?

“Holocaust, jika memang suatu kenyataan, terjadi di Eropa. Bangsa Palestina tidak punya peran di dalamnya. Mengapa orang Palestina harus terus menanggung akibat suatu peristiwa yang tidak ada kaitannya dengan mereka? Lima juta orang terus diusir dan menjadi pengungsi perang selama 60 tahun—bukankah ini suatu kejahatan?”

Pascaperistiwa 11 September, Afghanistan dan Irak dijajah. Enam tahun wilayah kami mengalami ketidakamanan, diteror dan dicekam ketakutan. Jika akar peristiwa 11 September diteliti, kenapa peristiwa ini bisa terjadi, kondisi apa yang menyebabkannya serta siapa aktor sebenarnya dalam kejadian ini, semua akan paham bagaimana menyelesaikan masalah Afghanistan dan Irak.”

“Kami tahu apa yang kami inginkan. Kalian yang sekarang telah melahirkan generasi kelima bom atom, atas hak apa kalian menghalangi aktivitas damai nuklir negara lain untuk menghasilkan energi?”

“Umat manusia menyaksikan, dalam seluruh perang—Perang Korea dan Vietnam, perang yang dilakukan oleh Zionis terhadap Palestina dan Libanon, perang Saddam terhadap Iran, serta perang rasis di Afrika-Eropa—secara sepihak dilakoni oleh negara-negara anggota Dewan Keamanan PBB.”

Tuesday, September 16, 2008

The Apple Way


Pelajaran dalam Keajaiban dan Margin

Judul buku : The Apple Way
Penulis : Jeffrey L. Cruikshank
Penerbit : Esensi, Jakarta
Edisi : I, 2008
Tebal buku : xxiii + 278 hlm. (Hard cover)

Teladan dan kearifan hidup itu berawal dari kedewasaan, pengalaman, dan kematangan. Sikap hidup sukses itu selalu ada dalam jiwa yang sehat, yang berkemaun keras, menyadari kesalahan dan mau memperbaikinya, menikmati keberhasilan dengan tetap berkontribusi pada evolusi hidup berkesinambungan dan visioner.

Filosofi kearifan hidup inilah yang melatari hampir semua aspek kehidupan seseorang maupun institusi atau organisasi perusahaan. Mereka yang sukses adalah pribadi tangguh yang memandang kesalahan yang dilakukan sebagai kawah candradimuka untuk bangkit dan tetap bersahaja menyambut kesuksesan dengan tetap berpijak pada tatanan.

Masa depan tidak selalu baik, dan—tanpa kasih sayang—masa depan mungkin tidak akan bertahan lama. Tetapi, kita harus menatap masa depan itu. Penyair Anglo-American dan penulis terkemuka abad ke-20, Wystan Hugh Auden (1907-1973), mengatakan, “Melihat jauh seperti burung elang, mereka mencari masa depan yang berbeda.” Ya, kita harus menyambut dan menatap masa depan itu jauh ke depan (visioner) seperti elang.

Itulah yang dilakukan Steve Jobs, salah seorang pendiri Apple Company, perusahaan berbasis teknologi paling visioner sekarang ini yang menitikberatkan kekuatan manajemennya pada sektor litbang atau research and development (R&D). Bagi Steve Jobs dan para visioner Apple Company, menemukan masa depan tidaklah cukup. Harus dicari terobosan baru (inovasi), melewati rintangan dan tantangan, serta menggenggamnya erat.

Soichiro Honda (1906-1991), industrialis terkemuka Jepang yang dilahirkan di Hamamatsu, Shizuoka, Jepang, pernah mengatakan bahwa “Success is 99,9% failures”. Filosofinya adalah bahwa untuk meraih keberhasilan itu butuh pengorbanan, kerja keras, ulet, tangguh, dan kembali bangkit bersemangat setelah terjatuh jungkir balik.

Kisah sukses, ketangguhan, kuelatan serta kekuatan inovasi dan berjiwa visioner yang pernah dilakukan Apple Company dengan icon-nya, Steve Jobs, itu dirumuskan dalam “buku hebat” oleh penulis buku manajemen terkemuka, Jeffrey L. Cruikshank. Pembaca akan dibuat tercengang dengan kiprah Steve Jobs, yang pernah terusir dari Apple Company yang ikut didirikannya, lalu bergabung kembali untuk membesarkannya.

Buku The Apple Way yang belum lama ini diluncurkan oleh penerbitnya, Esensi (Erlangga Group) di Soho Music Café, Cilandak Town Square (21/8) ini melengkapi buku sejenis bergenre “way”, seperti Toyota Way, Google Success Story, dan Nokia.

Membaca The Apple Way serasa menyimak novel thriller yang penuh intrik dan membuat jantung pembaca berdegup kencang. Buku ini tidak saja menyajikan kisah sukses dan geliat perusahaan berbasis teknologi, tetapi juga mengungkap jatuh bangunnya sebuah tim dalam memberdayakan sumber daya manusia yang kemungkinan juga bakal ambruk.

Dion Dewa Barata, dosen Strategic Management pada Universitas Pelita Harapan (UPH), mengatakan bahwa sebagai perusahaan berbasis teknologi, Apple Company berhasil memadukan keunggulan teknis dengan keindahan seni dan mentransformasikan keduanya menjadi pengalaman emosional bagi konsumennya. Faktor emosional inilah yang menjadi salah satu keunggulan daya saing Apple, yang sulit ditiru kompetitornya.

Menyebut nama Apple Computer, kita tentu teringat teknologi iPod yang penjualannya telah melampaui angka 10 juta unit di seluruh dunia. Juga rasa kagum kalangan dunia usaha bisnis melihat lonjakan harga saham Apple Company sebesar 250% dan membukukan laba bersih sebesar 530% dalam kurun waktu hanya setahun. Prestasi luar biasa yang pernah dicapai sebuah perusahaan piranti teknologi berbasis computer.

Yang menarik, prestasi besar ini dicapai Apple Company dengan cara yang tidak biasa. Melalui gejolak penuh liku internal manajemen, dengan perjuangan penuh tantangan untuk memperkenalkan produk komputer “Lisa” (Local Integrated Software Architecture) di tahun 1983 dan sukses iPod dewasa ini. Dalam posisi ini, Apple boleh dikatakan telah melakukan perubahan radikal dan revolusioner dalam industri berbasis computer.

Apple Company belajar dari kiprahnya bahwa perusahaan ini tak dapat melakukannya sendiri, meskipun cerdik. Pasar berkembang begitu cepat, teknologi berkembang makin kompleks, dan semakin banyak orang pandai yang melakukan inovasi dan investasi. (Syafruddin Azhar)

Monday, September 8, 2008

Mau ke Mana Obama?


Fakta tentang Barack Obama
Setan Berkedok Malaikat?

Judul buku : Mau ke Mana Obama?
Judul asli : An American Story: The Speeches of Barack Obama; A Primer
Penulis : David Olive
Penerjemah : Hari Ambari, Dewi Anggraeni
Penerbit : Zahra, Jakarta
Edisi : I, Agustus 2008
Tebal buku : 272 hlm.

Saya mendapat dukungan paling kuat dari komunitas Yahudi. Itu karena sejak dulu saya menjadi sahabat dekat Israel. Saya pikir, mereka adalah salah satu sekutu kita yang paling penting.”—Barack Obama

Sejak Barack Obama muncul ke hadapan publik Amerika (dan dunia) untuk memperkenalkan dirinya sebagai bakal calon Presiden Amerika Serikat, Senator asal Illinois ini hadir bagaikan “the rising star” yang akan melakukan perubahan mendasar atas politik luar negeri Amerika menjadi lebih humanis, lebih bersahabat (dialog) ketimbang aksi militer, sebagaimana dilakukan pendahulunya dari Washington (Gedung Putih).
Obama menjadi figur nasional untuk pertama kalinya dengan pidatonya pada 27 Juli 2004 di Konvensi Nasional Partai Demokrat di Fleet Center Boston yang memilih Senator John Kerry sebagai nominasi calon presiden. Dia mampu membangkitkan spirit Amerika dan mendapat banyak pujian, baik dari kubu konservatif maupun liberal. Penampilannya memesona publik Amerika dengan cerita kehidupan pribadinya dan tentang mimpi Amerika. Dua tema itu—kebutuhan untuk bersatu mengatasi masalah penting di Amerika, dan Obama sebagai salah satu perwujudan mimpi Amerika—menjadi penentu pencalonan dirinya sebagai calon Presiden ke-44 Amerika Serikat empat tahun kemudian.
Karena itu, melejitnya Obama (Partai Demokrat) sebagai kans terkuat mengalahkan rivalnya dari Partai Republik, John McCain, membawa pandangan baru bagi publik Amerika, dan bahkan masyarakat dunia dengan harapan baru yang lebih membumi.
Banyak kalangan menggantungkan harapan pada Obama. Banyak yang mengira, jika dia terpilih menjadi Presiden Amerika Serikat, ia akan menjadikan Amerika lebih bersahabat (secara politis) dengan dunia, terutama dunia Islam. Tetapi, benarkah itu?
Buku Mau ke Mana Obama? karya David Olive, jurnalis Kanada yang kerap memenangi berbagai penghargaan jurnalistik ini, menyajikan fakta tentang Obama. Melalui pidatonya yang disajikan dalam buku ini, akan memahami langkah politiknya bila menjadi Presiden Amerika Serikat. Buku luar biasa ini menyajikan pikiran Obama sendiri, yang dengannya publik dapat membaca dan memahami langkahnya ke depan.
Buku karya Olive ini merupakan kumpulan pidato unik yang mendorong kebangkitan tak terduga kandidat unggulan untuk menduduki jabatan tertinggi di Gedung Putih. Obama menyampaikan detail pembaruan dan reformasi dalam bidang pendidikan, kesehatan, kemandirian energi, kebijakan internasional, serta isu politik dan ekonomi lainnya. Dalam acara Konvensi Nasional Demokrat (2004), suami Michelle ini menyampaikan semboyannya menyatukan harapan bangsa, mencptakan keterbukaan, dan pendekatan inklusif politik Amerika, serta mengatur barisan untuk menghadapi tantangan terorisme, penggunaan nuklir, perubahan iklim, dan krisis energi.
“Kenapa menjadi presiden jika kau tidak berniat menjadi presiden yang baik?” Itulah salah satu ungkapan isi hati Barack Obama yang pernah ia sampaikan kepada salah seorang sahabatnya. Pertanyaannya, presiden yang baik untuk siapa?
Lewat kumpulan pidato politik yang pernah disampaikan Obama ini, akan terungkap fakta tentangnya, skenario kebijakan politik bila Obama terpilih menjadi Presiden Amerika Serikat nantinya. Di antaranya: mendukung Zionis Israel; menentang kemajuan negara kaum muslim yang mandiri seperti Iran dan Suriah; menganggap Irak, Afghanistan, dan Pakistan sebagai sarang teroris; dan menolak dukungan atas Nation of Islam.
Barack Obama yang pernah menjalani masa kecilnya dan bersekolah di Jakarta serta memiliki ikatan emosional (kekeluargaan) dengan bangsa Indonesia karena ayah tirinya, Lolo Soetoro, adalah warga asli Indonesia; sudah barang tentu memiliki ikatan emosional yang sangat erat dengan bangsa Indonesia. Banyak kalangan di Tanah Air menaruh harapan tinggi pada Obama. Jika ia terpilih menjadi Presiden Amerika, akan mengubah kebijakan luar negeri dan cara pandang masyarakat Amerika khususnya dan negara Barat pada umumnya terhadap Islam, khususnya kaum muslim di Indonesia.
Akankah harapan ini terwujud? Buku Mau ke Mana Obama? ini justru menyajikan fakta yang sebaliknya. Ketika menyampaikan pidato pada saat demo antiperang di Chicago Federal Plaza (2 Oktober 2002), pada saat itu orang berpengaruh di Partai Demokrat, termasuk mantan Wakil Presiden Al Gore, Senator Ted Kennedy, Robert Byrd, Bob Graham, dan Senator Dick Durbin, menentang rencana perang Presiden George W. Bush di Irak. Namun kemudian, petinggi senat di Partai Demokrat, termasuk rival Obama pada pemilihan presiden 2008 seperti Hillary Clinton dan John Edwards, akhirnya mendukung rencana perang Presiden Bush, serta menginvasi Irak. Adapun Obama memiliki pandangan yang berbeda dengan arus pemikiran utama Partai Demokrat.
Obama berseru, “Perang di Irak telah membesarkan hati Iran yang memberikan tantangan terbesar terhadap kepentingan Amerika di Timur Tengah, meneruskan program nuklir mereka dan mengancam sekutu kita, Israel. Hamas menguasai Gaza, bendera Hizbullah berkibar di Kota Sadr. Kalau saya jadi presiden, kita akan menjalani perang yang harus dimenangkan: keluar dari Irak menuju ke medan yang tepat, yakni ke Afghanistan dan Pakistan. Sebagai presiden, saya akan membuat Program Kerja Sama Keamanan Bersama demi melumpuhkan jaringan teroris dari pulau-pulau terpencil di Indonesia hingga ke kota-kota yang membujur di Afrika. Saya juga akan mendukung Dana Pendidikan Global untuk melawan madrasah-madrasah radikal.”
Buku ini tidak hanya menyuguhkan 20 pidato politik terbaik Obama, yang tercatat lengkap; namun juga menyajikan profil Barack Obama dan istrinya, Michelle; kronologi lengkap kehidupan Obama; penjelasan rinci kebijakan Obama dibandingkan dengan rivalnya dalam perebutan kursi presiden di Gedung Putih, John McCain.
Pidato politik yang pernah disampaikan Obama, sebagaimana disajikan dalam buku Mau ke Mana Obama? ini, berkisar pada isu tentang masa depan invasi militer di Irak; Obama mengeluhkan pemisahan yang salah di antara rakyat Amerika; mengutuk tindakan penelantaran terhadap veteran militer; pendekatan pragmatik Obama untuk kemajuan politik; perubahan iklim harus segera ditindaklanjuti; blueprint penarikan mundur tentara di Irak dan mengembalikan stabilitas di Timur Tengah; rencana penghancuran terorisme global; serta pandangan orang Amerika garis keras dan humanitarian.
Ketika menyampaikan pidato mengenai kebijakan luar negeri Amerika Serikat di atas kapal komando (19 Maret 2008) di Fayetteville, Carolina Utara, Obama menguak pendekatan holistik dalam merenungkan konsekuensi tindakan Amerika—diplomatik, militer, dan humanitarian—dalam penegasan kembali untuk meneruskan kepemimpinan Amerika Serikat dengan lebih komprehensif dan multidimensional. (hlm. 214)
Mengenai fenomena dan dilematika perang terhadap terorisme dan perang di Irak, Obama memiliki pandangan yang berbeda dan fundamental. “Saya akan mengakhiri peperangan ini. Mengakhiri perang adalah hal yang tepat demi keamanan nasional kita dan akan membuat kita menjadi lebih aman.” (hlm. 221) Demikian pernyataan Obama di Fayetteville, Carolina Utara (19 Maret 2008). Dia mengutuk Presiden Bush karena kebijakannya menginvasi Irak dan perang pada 2001.
Dalam pidato politiknya, Obama mengatakan, “Ada seorang presiden yang ideologinya mengesampingkan pragmatisme... Pelajaran mengenai Irak adalah ketika kita membuat keputusan mengenai hal-hal yang gawat seperti perang, kita membutuhkan kebijakan yang punya akar di dalam alasan dan fakta, bukan ideologi dan politik.”
Anehnya, terhadap kebijakan luar negeri Amerika Serikat atas Zionis Israel, Obama tampaknya adalah pemimpin yang ideologinya justru mengesampingkan pragmatisme. Dia tidak akan memutuskan kebijakan yang memiliki akar di dalam alasan dan fakta, namun kelewat peduli pada romantisme hubungan emosional dengan komunitas Yahudi itu. (Dimuat Koran Jakarta, 8 September 2008; hlm. 4)

Syafruddin Azhar, kolumnis dan peneliti pada Lembaga Pemerhati Kebijakan Publik (LPKP) Jakarta.

Friday, September 5, 2008

Zaman Kenisbian: Konsekuensi Perang terhadap Teror


Kambing Hitam Krisis Asia

Judul buku : Zaman Kenisbian: Konsekuensi Perang terhadap Teror
Judul asli : The Age of Fallibility: The Consequences of The War on Terror
Penulis : George Soros
Penerjemah : Dian R. Basuki
Editor : Bambang Harymurti
Penerbit : PDAT (Tempo), Jakarta
Edisi : Desember 2006
Tebal buku : xxxii + 283 hlm.; 22 cm.

Tidak mudah menjadi tokoh sekaliber George Soros. Meski kini hidup bergelimang harta (orang terkaya nomor 80 di dunia menurut Forbes, dengan total kekayaan sekitar US$8,5 miliar) dan aktif di banyak kegiatan sosial dan kemanusiaan, stigma buruk terlanjur melekat dalam diri pria keturunan Yahudi ini. Dia, misalnya, disebut sebagai “penjahat ekonomi”.

Salah satu penyebab cap buruk yang ditujukan kepada pria berusia 77 ini adalah strategi bisnis (investasi) yang selama ini dijalaninya. Sebagai hedge fund manager, Soros cenderung mengejar keuntungan setinggi-tingginya dalam waktu singkat. Keputusan bisnisnya acapkali kontroversial. Inggris, Prancis, dan beberapa negara di Asia telah merasakan penderitaan—krisis moneter dan sosial-politik—akibat sepak terjang investasi bisnis yang dilakukannya.

Sebagai contoh, pada 1988 Soros mengambil alih saham bank asal Prancis, Societé Generalé. Menurut beberapa pemberitaan yang dilansir media massa, ia pernah ditawari untuk membeli saham bank tersebut tetapi ditolaknya. Namun tak lama setelah itu ia menyatakan akan membelinya. Tak ayal, tindakan kontroversialnya ini menimbulkan kecurigaan di kalangan pejabat hukum Prancis. Pada 1989 diadakan penyelidikan atas transaksi bisnis Soros tersebut. Hasilnya, di tahun 2002 terkuak fakta bahwa transaksi yang dilakukannya itu ilegal karena mendapat informasi dari orang dalam (insider trading). Akibat tindakan bisnisnya ini, Soros didenda sebesar US$2 juta. Proses pengadilan bisnis ilegal ini hingga kini belum tuntas.

Tak lama setelah kasus ini, Soros kembali melakukan investasi kontroversial. Pada 16 September 1992, dia menjual (short) mata uang poundsterling senilai hampir US$10 miliar karena berdasarkan analisis dan naluri bisnisnya, mata uang Inggris akan segera turun. Akibat tindakannya itu, pound sterling benar-benar ‘terkapar’ alias knock out.

Tindakan Soros ini memaksa Bank of England (BOE) menempuh langkah darurat. Di antaranya dengan mengerek bunga dan keluar dari European Exchange Rate Mechanism (ERM)—mekanisme penentuan mata uang sebelum euro. Dampaknya, perekonomian global di hari itu pun morat-marit. Pers Inggris menyebut hari itu sebagai “Black Wednesday”. Departemen Keuangan Inggris menghitung kerugian akibat ‘ulah’ Soros ini mencapai 3,4 miliar poundsterling, sedangkan Soros sendiri meraup keuntungan sebesar US$1,1 miliar.

Efek “bola salju” dari tragedi “Black Wednesday” ini merembet ke mana-mana, menyebabkan mata uang di dunia ikut melemah terhadap US$. Kepada The Times (26 Oktober 1992), Soros mengatakan (tanpa merasa bersalah sedikit pun atau merasa berdosa kepada banyak orang di dunia): “Seharusnya kami menjual lebih dari US$10 miliar.”

Krisis Asia (1997/1998), termasuk di Indonesia, disebut-sebut akibat ulah Soros. Ia lagi-lagi dituding sebagai “scapegoat” (kambing hitam) di balik krisis moneter itu. Efek penularan (contagion effect) dari mata uang baht (Thailand) menerjang perekonomian negara di kawasan ASEAN. Pers Thailand menggambarkan sosok Soros seperti “lintah darat” yang senang mengisap darah orang dan menyebutnya sebagai “penjahat ekonomi”. Perdana Menteri Malaysia kala itu, Dr. Mahathir Mohammad, sampai-sampai menyebutnya “moron” (bego). Presiden Rusia, Vladimir Putin, mengatakan Soros bertanggungjawab atas apa yang disebut sebagai “revolusi warna” di Georgia dan Ukraina. Soros, oleh pers Amerika, dituduh mencoba membeli pemilihan setelah dia menentang pemilihan kembali Presiden George W. Bush pada 2004. Tetapi semua tuduhan yang dialamatkan kepadanya itu dikatakannya berlebihan dan tidak berdasar. Ia membantahnya dengan membuktikan fakta-fakta.

Tindak-tanduk dan sepak terjang investasi bisnis yang dilakukan George Soros ini sulit dilupakan orang. Dia pun menyadari hal itu. Kini, ia semakin aktif dalam kegiatan sosial dengan mendirikan dua yayasan sosial, yakni Soros Foundations (SF) dan Open Society Institute (OSI). Seolah ingin menebus dosa-dosa bisnis yang pernah dilakukannya, ia mengucurkan dana jutaan dolar melalui yayasan yang didirikannya ini.

Melalui OSI ini pula, Soros menerbitkan buku pribadinya The Age of Fallibility: The Consequences of The War on Terror, yang diindonesiakan oleh PDAT berjudul: Zaman Kenisbian: Konsekuensi Perang terhadap Teror. Dalam buku yang ditulisnya pada medio 2006 ini, ia mengungkap semua fakta dan mencoba membela diri. Dia menulis bahwa dirinya, melalui yayasan yang didirikannya di beberapa kawasan di dunia, telah membantu rakyat dan pemerintahan setempat keluar dari kemelut sosial, ekonomi, dan politik. “Saya harus mengklarifikasi sikap saya. Tujuan saya ialah menjadikan dunia tempat yang lebih baik.” Tulisnya dalam buku The Age of Fallibility (Zaman Kenisbian) ini. Buku ini mencoba mengklarifikasi semua persoalan dan agenda yang ingin dituntaskannya, termasuk dalam kehidupan filantropis dan kehidupan publiknya.

Perdana Menteri Macedonia, Branko Crvenkovski, menggambarkan George Soros sebagai negarawan tanpa negara. “Negara mempunyai kepentingan, tetapi tidak memiliki prinsip. Soros mempunyai prinsip, tetapi tidak memiliki kepentingan,” ungkap Crvenkovski pada suatu kesempatan. Soros sangat menyukai rumusan ini dan mencoba menjalaninya.

Tentang peran dan sepak terjang Amerika Serikat sebagai “polisi dunia”, Soros menulis (sesuai topik utama buku ini) bahwa kendala utama bagi tatanan dunia yang stabil dan adil ialah Amerika Serikat. “Ini tidak sopan—bahkan, bagi saya, menyakitkan—untuk dikatakan, namun sayangnya saya yakin bahwa hal itu benar. Amerika Serikat terus mencoba menetapkan agenda bagi dunia walaupun pengaruhnya melemah sejak peristiwa 9/11, dan pemerintahan Bush telah menetapkan agenda yang salah... bila ini berlanjut terlalu lama, kita berada dalam bahaya yang akan menghancurkan peradaban kita. Mengubah sikap dan kebijakan Amerika Serikat tetap menjadi prioritas utama saya”. Tulis Soros dalam buku ini. (Syafruddin Azhar)

The Name of the Rose


Metafisik Detektif dan Labirin Konflik

Judul buku : The Name of the Rose
Penulis : Umberto Eco
Penerjemah : Nin Bakdi Soemanto
Penerbit : Bentang Pustaka, Yogyakarta
Edisi : I, Maret 2008
Tebal buku : xxx + 624 hlm.

Umberto Eco merilis novel pertamanya yang terkenal, Il nome della rosa pada 1980. Sebuah misteri intelektual yang mengombinasikan semiotika struktural dalam fiksi, analisis Biblical (yang berhubungan dengan Kitab Injil), studi Abad Pertengahan, dan teori sastra. Pada 1983 novel hebat ini diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul: The Name of the Rose. Sebuah karya intelektual yang luar biasa imajinatif dan penuh kreatif. Novel sejenis ini tak banyak ditulis oleh orang hebat. Satu di antara makhluk genius yang langka itu adalah Umberto Eco, yang disebut-sebut memiliki “misteri intelektual”.
Umberto Eco adalah novelis kelahiran Alessandria, Propinsi Piedmont (Italia), pada 5 Januari 1932. Selain dikenal sebagai kritikus sastra dan budaya, ia juga dikenal sebagai ahli Abad Pertengahan (Italian Medievalist) dan seorang filsuf terkemuka. Eco telah mencapai status ikonik dalam studi kebudayaan. Novelnya diwarnai penguasaannya atas semiotika (semiotics) dan dia adalah salah satu tokoh utama bidang ilmu ini.
Obsesi Umberto Eco dalam menekuni pengetahuan yang terpinggirkan tampak dalam limpahan data pada novelnya The Name of the Rose. Cakupan tulisan dalam novel ini sangat luas, mulai dari budaya pop (pop cultur) hingga filsafat; dari People’s Temple hingga Thomas Aquinas, dari Casablanca hingga Roland Barthes. Eco memiliki wawasan dan ide kreatif yang brilian. Membaca Eco seperti mengajari kita tentang pentingnya observasi dan kritisisme karena kedua topik kembar inilah yang mengistimewakan semua umat manusia yang berpikir.
Umberto Eco lewat novelnya The Name of the Rose, bercerita tentang misteri pembunuhan yang diseting di sebuah biara Benediktin Italia akhir Abad Pertengahan. Masa itu dilukiskan penuh konflik yang melatari novel ini. Banyak tokoh berperan dalam konflik yang beragam. Alurnya disajikan secara detail dan terperinci, sehingga tampak rumit dan berat.
Sejarah, sastra, filsafat, dan cerita detektif menyatu dalam novel The Name of the Rose dengan tokoh utamanya: William, Adso, Abo, Jorge, Salvatore, dan Ubertino. Setingnya dimulai dari rencana pertemuan utusan Fransiskan dan Paus di biara, yang akan membahas ajaran Fransiskan yang dianggap menyimpang oleh Gereja Katolik pada masa itu. Namun sebelum pertemuan itu berlangsung, terjadi serangkaian konspirasi dan skandal pembunuhan misterius. Dikhawatirkan tragedi ini bisa mengganggu proses pertemuan itu.
Ini bukan kisah detektif biasa yang bisa ditebak berdasarkan fakta yang ada. Fakta dan data petunjuk tak dapat menebak akhir dari mainstream fiksi dalam cerita. Umberto Eco justru mengakhiri fiksi dengan klimaks yang menggemparkan dan juga mencengangkan.
Jika pembaca terbiasa dengan gaya cerita Indiana Jones (ikon petualang era 1980-an), maka akan sedikit kecewa karena “petualangan” Eco adalah “petualangan intelektual”. Senjata yang mematikan adalah argumentasi yang membuat pihak lawan terdiam, malu, dan mengalah. Jika ada “petualangan”, maka ada “hal penting” yang diperebutkan. Dalam cerita ini “hal penting” tersebut bukanlah benda berharga seperti emas, tetapi perebutan kekuasaan perpustakaan. Perpustakaan menjadi tema utama dan biarawan menjadi aktor utama dalam “petualangan” ala Eco. Perpustakaan digambarkan memiliki misteri tersembunyi, penyebab terjadinya pembunuhan yang cerdik.
Membaca novel ini membutuhkan kesabaran dan pikiran yang jernih untuk memahami pesan yang disampaikan. Satu hal yang menarik adalah, bahwa Umberto Eco tidak menyebutkan satu kata pun tentang rose (mawar) dalam novel ini, sebagaimana judulnya The Name of the Rose. Saya kira ini sebuah “misteri intelektual” yang melekat pada Eco. Namun, di akhir cerita (hlm. 583), Eco menulis: “stat rosa pristina, nomine nomina nuda tenemus”, yang artinya kira-kira: bunga mawar telah ada jauh sebelum nama mawar itu ada. Namun kita selalu berpegang pada namanya belaka dan mengesampingkan bunga mawar itu sendiri. (Syafruddin Azhar)

Thursday, August 28, 2008

Pidato-pidato yang Mengubah Dunia


Kekuatan Kata yang Menghasut Pikiran

Judul buku : Pidato-pidato yang Mengubah Dunia
Kompilator : Simon Sebag Montefiore
Penerjemah : Haris Munandar, MA
Penerbit : Esensi (Erlangga Group), Jakarta
Edisi : I, 2008
Tebal buku : 248 hlm. (Hard cover)

Orator selalu menjadi pesona bagi banyak orang (publik) di sepanjang zaman. Setiap zaman (era) acap kali melahirkan orator ulung termasuk juga para demagogue—penghasut, pemimpin, atau penggerak rakyat yang pandai berpidato dan berpolitik.

Pada zaman Yunani Kuno, ada Marcus Tullius Cicero (106-43 SM) yang dianggap sebagai orator ulung dan terhebat sepanjang masa. Setelah Gaius Julius Caesar (100-44 SM) tewas karena tikaman belati Marcus Junius Brutus (85-42 SM) dan beberapa Senator Romawi yang berkomplot untuk melakukan konspirasi pembunuhan atas Julius Caesar, kepemimpinan Kekaisaran Romawi diteruskan oleh Marcus Antonius (83-30 SM) dan Cicero. Antonius sebagai pemimpin dan Cicero sebagai jurubicara (spokesman) senat.

Dalam perjalanan politik dua tokoh politik Romawi ini, terjadi rivalitas di antara mereka. Melalui kekuatan orasi atau pidato politiknya yang sangat hebat, Cicero mampu ‘menggiring’ (menghasut) publik Romawi untuk berpihak kepadanya. Antonius pun merasa terdesak oleh pidato Cicero (yang menghasut) itu hingga Cicero dibunuhnya. Kepala dan tangan Cicero dipamerkan di bangsal Istana untuk disaksikan oleh khalayak. Istri Antonius, Aelia Flavia Flaccilla, begitu membenci isi pidato yang disampaikan Cicero hingga dia mengeluarkan lidah Cicero untuk ditusuk-tusuk dengan tusuk kondenya. Flaccilla ingin menunjukkan kebenciannya atas kekuatan “lidah orasi” Cicero tersebut.

Pada abad ke-19 yang membentang dari tahun 1900-2000, lahir para orator besar dunia. Tercatat nama-nama tokoh terkemuka seperti Oliver Cromwell, Napoleon Bonaparte, Adolf Hitler, Mohandas Gandhi, Vladimir Ilyich Lenin, Joseph Stalin, Bung Karno, John F. Kennedy, Martin Luther King, Nelson Mandela, dan Bung Tomo sebagaimana terangkum dalam buku Pidato-pidato yang Mengubah Dunia (Esensi, 2008).

Pada saat ini, nama kandidat Presiden Amerika Serikat dari Partai Demokrat, Barack Obama, juga disebut-sebut sebagai orator ulung. Sayangnya, nama Obama tidak dimasukkan dalam daftar orator dalam buku Pidato-pidato yang Mengubah Dunia ini. Di setiap momen kampanye politiknya, Obama disambut bagaikan superstar. Dua ratus ribu orang mendengarkan pidatonya di Tugu Kemenangan Berlin. Meski tak sampai memecahkan rekor pengumpulan massa terbanyak, namun dilaporkan bahwa lebih dari empat juta orang menonton siaran langsungnya di televisi Jerman. “People of the world, now do your duty. People of the world look at Berlin,” kata Obama dalam pidatonya itu.

Bagaimana pendapat publik mengenai isi pidato Barack Obama tersebut? Pakar politik luar negeri dari Partai Sosial Demokrat (SPD), Gert Weisskirchen, mengatakan: “Bila di Berlin diadakan pemilihan umum, maka dengan pidato itu, dengan penampilan dan dengan cara ia menggugah orang (massa), pastinya dia tidak saja merebut hati publik, tetapi juga suara para pemilih di Berlin.” Itulah kekuatan pidato seorang tokoh politik yang mampu menggugah dan mengubah pandangan dunia (world-view).

Sejak dahulu, para pemimpin besar telah menggunakan kemampuan orasi (pidato) mereka untuk menginspirasi dan menggugah para pengikutnya. Pidato yang hebat tidak saja mengungkap kebenaran, namun juga menyebarkan kebohongan seperti disampaikan oleh para demagogue itu. Kumpulan pidato luar biasa yang disampaikan para tokoh besar dunia yang sangat melegenda itu kini telah dihimpun di dalam buku mewah berjudul Pidato-pidato yang Mengubah Dunia. Buku ini memuat lebih dari 50 isi pidato yang menggugah dan sangat penting dari berbagai era sejarah dan bangsa di dunia.

Buku hebat edisi Indonesia yang telah diluncurkan oleh penerbitnya belum lama ini itu berisi himne-himne penuh semangat tentang kebebasan demokratis yang mengandung prinsip-prinsip kepatutan dan kebebasan, ungkapan kata-kata indah penuh makna, ajakan, himbauan, dan juga ‘hasutan’ yang menggugah dan mencerahkan dunia secara universal.

Setiap pidato juga dapat menjadi ‘jendela’ untuk melihat suatu masa dalam sejarah. Di era media elektronik seperti radio dan televisi sekarang ini, kebanyakan orang akan langsung teringat di mana mereka berada saat mendengar pidato Presiden George W. Bush tentang peristiwa 9/11, pidato Franklin D. Roosevelt setelah peristiwa Pearl Harbour (8 Desember 1941), atau pidato Vyacheslav Molotov yang sesungguhnya hanya membacakan naskah pidato Joseph Stalin setelah terjadinya invasi Nazi Jerman ke Uni Soviet.

Banyak dari isi pidato ini yang mengutarakan kebenaran abadi seperti Pidato Gettysburg, atau pidato yang kurang dikenal oleh tokoh pemberontak sekaligus presiden masa depan Cekoslovakia, Vaclav Havel; atau Presiden Israel, Chaim Herzog. Kesederhanaan bahasa menandai pembuatan pidato hebat seperti Khotbah Yesus atau pidato Martin Luther King. Adapun pidato dengan kalimat indah membuai dapat dikemukakan oleh para tokoh jahat dan bisa menjadi topeng (monster) untuk mengaburkan pemahaman publik.

Pidato Adolf Hitler, misalnya, menunjukkan keahliannya sebagai agitator politik, aktor, dan penulis naskah pidato terkemuka. Namun sayangnya, ia digayuti oleh kepicikan, muslihat, dan tipu daya. Sebaliknya, walaupun pandangan Stalin itu kejam, namun anak tukang sepatu yang sederhana itu tak ragu menyampaikannya dengan kejelasan yang mengejutkan.

Paling tidak, buku Pidato-pidato yang Mengubah Dunia yang juga memuat biografi singkat dari penyampai pidato itu akan menginspirasi para pembaca, serta dapat memberikan pemahaman yang lebih luas tentang peristiwa pada masa pidato-pidato yang menggelora dan memukau khalayak publik itu disampaikan.

Pembaca buku ini setidaknya bisa ‘mendengar’ penjelasan dari para penyampai pidato tersebut tentang bagaimana mereka berdiri di persimpangan sejarah.

Syafruddin Azhar adalah kolumnis dan peneliti pada Lembaga Pemerhati Kebijakan Publik (LPKP), Jakarta.

Ahmadinejad: The Nuclear Savior of Tehran



Sang Nuklir dari Tehran

Judul buku : Ahmadinejad: The Nuclear Savior of Tehran
Penulis : Adel el-Gogary
Penerjemah : Tim Kuwais
Editor : Cecep Ramli dan Ito
Penerbit : Pustaka Iman, Jakarta
Edisi : I, April 2007
Tebal buku : x + 337 hlm.

Konon, keberatan Amerika Serikat (AS) terhadap pengembangan proyek nuklir Iran hanya untuk kepentingan negeri Paman Sam itu sendiri. Presiden George W. Bush tidak ingin ada negara lain di dunia—selain Amerika Serikat dan Israel—menguasai teknologi nuklir ini. Padahal, Presiden Ahmadinejad kembali menegaskan bahwa semua negara di dunia berhak memanfaatkan teknologi tinggi, termasuk teknologi nuklir.
Sebuah narasi hidup tentang Presiden Ahmadinejad dan revolusi nuklir di Iran (untuk perdamaian dunia), dibeberkan secara kritis dan komprehensif dalam buku Ahmadinejad: The Nuclear Savior of Tehran.
Tidak diragukan lagi, Ahmadinejad adalah Presiden Iran yang menghebohkan dunia yang membawa Republik Islam Iran kembali ke wacana politik internasional. Buku ini merupakan pengantar yang baik untuk lebih mengenal dan memahami Presiden Ahmadinejad serta kebijakan politik luar negeri Iran yang populer.
Ada sebagian orang yang memiliki kelebihan yang tak dapat diungkapkan dengan kata-kata. Pengaruhnya luas, perannya lebih besar dari gelar yang disandangnya, daya tariknya tak bisa dihentikan atau dibatasi, serta impiannya setinggi langit dan seluas samudera. Itulah profil singkat yang dimiliki Presiden Ahmadinejad.
Ketokohan Ahmadinejad dikatakan sebagai perpaduan tiga pribadi dari tiga zaman yang berbeda. Ia pun dianggap sebagai salah satu keturunan para pemimpin yang memiliki wawasan kenabian yang mulia. Kepribadian dan popularitasnya merupakan perpaduan agung antara wawasan keislaman dan patriotisme Hussain bin Ali r.a, keagungan Presiden Jamal Abdul Nasr, serta memiliki wawasan luas dan penyabar seperti Mahatma Gandhi.
Mahmoud Ahmadinejad terlahir di era globalisasi, di sebuah negeri yang masyarakatnya memegang teguh tradisi keagamaan yang meraka anut. Masyarakat Iran juga sangat teguh dalam pendirian dan teguh memegang kata bijak, “Bersahabatlah dengan siapa saja, sekalipun dengan serigala; yang penting kapakmu selalu siap.”
Barangkali pandangan inilah yang ada di sebagian masyarakat Iran. Ketika Presiden Ahmadinejad mengumandangkan revolusi nuklirnya, segara disambut meriah oleh rakyatnya. Pengalaman pahit yang dialami rakyat Palestina dan Irak, agaknya menjadi momok bagi masyarakat Iran. Presiden Ahmadinejad dan rakyatnya berkeyakinan bahwa Amerika Serikat merupakan pimpinan para ‘serigala’ yang mesti diwaspadai. Serigala-serigala ini senantiasa menunggu kesempatan untuk menerkam suatu negeri di kawasan Timur Tengah demi minyak, air, dan tanah jajahan. Serigala kecil, yakni Israil, telah berhasil memangsa Palestina. Sementara ‘serigala’ lainnya, yaitu negara Barat, menari-nari di Dewan Keamanan PBB, dengan tarian “hukum internasional”.
Di zaman seperti sekarang ini bagi rakyat Iran, kapak haruslah selalu siap. Namun kapak tidak ada gunanya jika tak ada tangan yang menggerakkannya. Seperti pada pemahaman, bahwa tak ada jihad—untuk membela kebenaran dan mempertahankan hak—tanpa adanya pasukan. Dengan pemikiran sederhana seperti ini, timbul keputusan yang sangat sulit namun harus ditempuh, yakni mengaktifkan kembali program pengayaan nuklir supaya Iran memiliki alat proteksi untuk melindungi diri dari segala ancaman, baik teknologi maupun militer. Mustahil bagi Iran dengan sejarah masa lalunya yang agung sebagai sebuah imperium besar, yakni Persia, membiarkan begitu saja wilayahnya dijajah dan diinjak-injak negara asing.
Sejak kemunculan pertamanya ke hadapan publik, Ahmadinejad adalah seorang yang sederhana, berperasaan halus, dan ramah. Dia adalah pemimpin bagi para pelajar yang tak mau tunduk begitu saja pada aturan universitas yang korup dan kerajaan yang diktator. Dia adalah patriot baru yang telah terdidik di madrasah kenabian. Dia tumbuh di bawah naungan pemikiran Imam Khomeini yang pernah berkata, “Jika Amerika senang kepadamu, maka ada yang patut dipertanyakan dengan akidahmu!”
Jika zaman itu adalah manusia, maka zaman yang hebat itu telah mempertemukan dua peristiwa penting yang terpisah selama 50 tahun. Di tahun 1965, Jamal Abdul Nasr menjadi pemimpin dunia Arab, setelah menentang AS karena menolak mendanai proyek pembangunan as-Saddul ‘Aaliy (bendungan raksasa Aswan) yang terletak di sebelah selatan Mesir. Akhirnya ia memutuskan untuk menasionalisasi perusahaan Terusan Suez, yang dikuasai Inggris dan Prancis. Tak pelak, ia harus berhadapan dengan kekuatan perang tiga negara (Inggris, Prancis, dan Israel) dalam pertempuran yang tidak seimbang. Namun demikian, Nasr punya prinsip, bahwa yang lemah tidak boleh mengalah begitu saja.
Lahirlah di negeri para mullah ini seorang pemimpin berkepribadian tangguh, Mahmoud Ahmadinejad. Dialah harapan masyarakat Iran—dan juga masyarakat di kawasan Timur Tengah secara umum—untuk membangun kepercayaan diri dan patriotisme agar tidak mengalah begitu saja terhadap hegmoni Amerika dan Zionis Israel.

Syafruddin Azhar adalah kolumnis, pengamat perbukuan, dan peneliti pada Lembaga Pemerhati Kebijakan Publik (LPKP) Jakarta.

Hitler’s Pope: Sejarah Konspirasi Paus Pius XII dan Hitler


Paus Pius XII dan Hitler
Konspirasi Agama dan Negara

Judul buku : Hitler’s Pope: Sejarah Konspirasi Paus Pius XII dan Hitler
Penulis : John Cornwell
Penerjemah : Jimmi Firdaus
Penerbit : Beranda, Yogyakarta
Edisi : I, Januari 2008
Tebal buku : xxxii + 520 hlm.

Catatan sejarah yang menghebohkan. Sebuah riset ilmiah tentang sejarah konspirasi agama dan negara yang luar biasa kontroversial ini mengisahkan Eugenio Pacelli (1876-1958), seseorang yang pernah menjabat sebagai Paus Pius XII (2 Maret 1939–9 Oktober 1958) itu ditengarai sebagai sosok gerejawan yang paling berbahaya di zaman modern.
Melalui buku Hitler’s Pope (1999) yang menuai kecaman dari Vatikan, John Cornwell, sejarawan dan jurnalis Inggris yang mengepalai The Human Science and Human Dimension Project pada Jesus College, Cambridge, mempublikasikan fakta baru yang mengagumkan. Dia mengatakan bahwa Paus Pius XII membawa keotoriteran dan sentralisasi para pendahulunya ke tingkat yang paling ekstrem. Dia memaparkan sebuah studi yang mendalam tentang seorang tokoh agama dan negara yang sangat kompleks, yang terombang-ambing dalam rangkaian krisis paling tragis yang pernah melanda daratan Eropa.
Sebagai Sekretaris Negara Vatikan (Cardinal Secretary of State), Pacelli yang memiliki nama lengkap Eugenio Maria Giuseppe Giovanni Pacelli, menandatangani persetujuan dengan pemimpin Nazi Jerman, Adolf Hitler (1889-1945), pada 1933 untuk melindungi kekuasaan Gereja Katolik sebagai imbalan atas penarikan Gereja dari ranah politik.
Persetujuan rahasia ini terbukti berakibat fatal. Saat Eugenio Pacelli dinobatkan menjadi Paus Pius XII, ia tetap menolak untuk mengutuk tindakan keji sang Führer; meskipun dia merupakan salah satu pemimpin Eropa yang menyadari bahaya genocide (pemusnahan secara teratur terhadap suatu bangsa). Sang Paus bahkan tidak bergeming saat kaum Yahudi Italia berkumpul di bawah tembok Vatikan untuk kemudian digiring ke kamp-kamp pembantaian maut atau holocaust (dari bahasa Yunani, holokauston: persembahan pengorbanan yang terbakar sepenuhnya). Kegagalan Paus Pius XII mengecam Naziisme, terutama ketika dilihat dari paham anti-Semitnya, adalah salah satu skandal besar di masa perang.
Dengan memanfaatkan dokumen rahasia yang dimiliki Vatikan, Cornwell berhasil membongkar konspirasi rahasia antara Paus Pius XII dan Adolf Hitler. Karya ilmiah yang mengesankan ini merupakan kajian akademis yang objektif dan kritis. Buku ini akan menghukum cacat reputasi seorang tokoh kharismatik untuk selama-lamanya.
Buku Hitler’s Pope tidak dimaksudkan sebagai bahan bacaan yang memaparkan seluk beluk hubungan negara dan gereja, tetapi mengungkap hubungan Pacelli dan Hitler. Kompleksitas Pacelli disingkap dengan tenang, menunjukkan dengan kepekaan tinggi seruan Pacelli dengan beban berat kepausan, yakni tanggung jawab moral dan agama. Tentu saja, tulisan yang bersungguh-sungguh dan brilian berdasar keutamaan bobot sejarah seperti ini akan menimbulkan gelombang kejut dan amarah, serta rasionalisasi dan penyangkalan.
Lima tahun setelah buku Hitler’s Pope ditetapkan sebagai “the international bestseller”, Cornwell mengubah sedikit pandangan kritisnya itu. Dalam majalah The Economist (9 Desember 2004), dia mengatakan, “I would now argue in the light of the debates and evidence following Hitler’s Pope, that Pius XII had so little scope of action that it is impossible to judge the motives for his silence during the war, while Rome was under the heel of Mussolini and later occupied by the Germany.”
Buku Hitler’s Pope memperjelas episode yang sebelumnya diabaikan dalam kehidupan santo, dan memberitahu kita segala kekurangan dalam versi yang bisa diterima. Pius XII dan Yahudi, serta semua hal mengenainya terlalu menyedihkan dan terlalu berat untuk sebuah kepahitan. Kebungkaman yang keterlaluan dan sungguh-sungguh keliru karena telah bersekutu dengan segala kekuatan pembawa penindasan, ketidakadilan, agresi, eksploitasi, dan perang.
Dalam bingkai sejarah yang rigit, Cornwell merunut karakter Eugenio Pacelli dari latar belakang keluarga, masa pendidikan, dan pengalaman diplomatiknya sebelum akhirnya dinobatkan sebagai Paus Pius XII pada 1939. Cornwell secara berani membuka isu hubungan antara Gereja Katolik dan Nazi dalam debat terbuka, meski pada saat yang bersamaan dia dikecam karena dianggap mengabaikan bukti positif dari para pemimpin Yahudi yang memuji tindakan Paus Pius XII dalam penyelamatan kaum Yahudi dari holocaust.
Buku Hitler’s Pope menjadi bukti keberanian seorang jurnalis dalam mengungkap krisis moral yang menimpa tokoh kharismatik sekaliber santo. Cornwell memaparkan fakta bahwa sewaktu ribuan kaum Yahudi ditangkap dan dideportasi keluar dari Roma oleh penguasa Jerman, Pacelli menampakkan kebungkaman “diplomatik” sekaligus “liturgis”. Tidak ada protes atau teguran kepada Hitler, juga tidak ada doa dan misa bagi para korban.

Drs. Syafruddin Azhar adalah kolumnis dan peneliti pada Lembaga Pemerhati Kebijakan Publik (LPKP) Jakarta.

Tionghoa Dalam Pusaran Politik

Evolusi Etnik Tionghoa di Indonesia

Judul buku : Tionghoa Dalam Pusaran Politik
Penulis : Benny G. Setiono
Penerbit : TransMedia, Jakarta
Edisi : Pertama, 2008
Tebal buku : xxii + 1.142 hlm. (Hardcover)

Membaca sejarah Indonesia khususnya di era Orde Baru (1967-1998) adalah sejarah tentang politisasi kepentingan untuk melanggengkan elite kekuasaan. Proses pencatatan sejarah bangsa ini tak bisa lepas dari vested of interest para pemegang kekuasaan. Padahal, sejarah seharusnya menjadi catatan masa lampau yang dapat dijadikan referensi berharga.
Sistem politik yang diterapkan Presiden Soeharto (1921-2008) yang disebut Orde Baru itu memang terasa di mana-mana selama lebih dari 30 tahun. Sistem politik yang dijalankan itu sekaligus membawa dampak positif dan negatif yang tidak kecil terhadap warganya, terutama etnik Tionghoa. Namun negara sebesar Indonesia ini tidak pernah dapat didominasi sepenuhnya oleh seseorang, betapa pun otoriternya sistem politik itu.
Apa yang dikatakan Prof. Donald K. Emmerson (dalam Indonesia Beyond Soeharto, 2001) bahwa “Indonesia milik Soeharto” (Soeharto’s Indonesia) tak pernah lebih daripada suatu metafora. Karena di bawah rezim Orde Baru yang otoritarianisme pun Indonesia mempunyai dinamisme dan kemajemukannya sendiri, di luar jangkauan rezim.
Sebagian besar dari 200 juta lebih populasi orang Indonesia mengidentifikasi dirinya dengan salah satu dari 200 lebih kelompok etnik di Indonesia. Mayoritas terbesar orang Indonesia yang hidup sekarang adalah keturunan kaum migran Austronesia ke pulau-pulau di Nusantara, yang mulai berpindah ke selatan dari daerah yang sekarang disebut Taiwan, sekitar 5.500 tahun silam. Salah satu dari 200 lebih kelompok etnik ini adalah suku Tionghoa yang geliatnya dimulai sejak kaisar Cina mengirim ekspedisi angkatan laut ke kawasan maritim Asia Tenggara. Berdasarkan catatan ahli sejarah Indonesia dari University of Queensland (Brisbane), Australia, Prof. Robert Cribb (2001), kaisar dari Cina ini berusaha mengukuhkan hegemoninya di Nusantara, yang baru berakhir setelah 1433. Namun pedagang Tionghoa mempunyai sejarah panjang dan tetap eksis di Kepulauan Nusantara hingga kini, bersama-sama dengan kaum pedagang yang berasal dari daratan India, Asia Tenggara, Asia Barat, Asia Timur, dan Asia Tengah. Peranan etnik Tionghoa di Nusantara mempunyai akar sejarah yang panjang, lebih dari 500 tahun.
Keunikan peran (terutama sosial, budaya, ekonomi, dan politik) etnik Tionghoa di Indonesia ini digambarkan dalam sejarah panjang bangsa Indonesia. Namun terlalu banyak fakta sejarah Indonesia—khususnya sejarah tentang minoritas etnik Tionghoa—yang ‘disembunyikan’, terutama selama masa kekuasaan rezim Orde Baru. Termasuk “politik kesengajaan” ciptaan rezim Orde Baru, yang di kemudian hari menggiring segelintir orang dari etnik Tionghoa untuk dinamai sebagai “binatang ekonomi”.
Pada masa itu, catatan sejarah cenderung terjebak dalam mindset rezim Orde Baru yang melihat warga Tionghoa sebagai “masalah Cina”. Sebuah masalah politik yang pada awalnya diciptakan oleh pemerintah kolonial Belanda ketika menghadapi gerakan arus nasionalisme Tionghoa di tanah jajahan. Deprivasi yang diderita minoritas Tionghoa di bawah rezim Orde Baru ini tidak hanya larangan untuk mengekspresikan diri dan identitas “ketionghoaan” mereka, tetapi juga berimbas pada tatanan historiografi Indonesia.
Untuk mengerti tempat, sikap, dan kedudukan suatu minoritas, tidak ada jalan lain kecuali mendalami pengertian tentang evolusi minoritas etnik tersebut. Hal ini dimaksudkan agar semakin jelas kompleksitas struktur, konflik dalam dan luar, hubungannya—dengan segala variasinya—dengan mayoritas (yang juga kompleks dan berbeda-beda), permulaan dan konsekuensi dan perubahan definisinya sebagai minoritas. Tanpa pekerjaan berat ini, minoritas (dan juga mayoritas) terus saja digambarkan secara simplistis, menurut dongeng biasa dan kasar, yang seringkali penuh dengan kebencian, caci maki, dan prasangka yang dimaksudkan untuk mengisolasi minoritas itu dan menghilangkan unsur kemanusiaannya. Satu hal yang pada intinya dimaksudkan untuk membekukan secara masif status (sosial-politik) kelompok tersebut sebagai minoritas.
Prof. Harsya W. Bachtiar (1934-1995) dengan mengutip catatan Ahmat Adam (The Vernacular Press and the Emergence of Modern Indonesian Consciousness, 1855-1913) menyebutkan bahwa komunitas Tionghoa di Indonesia itu sangat literair, suka membaca dan menulis serta pelanggan suratkabar sejak akhir abad ke-19. Sejarah pers Indonesia tentu saja tidak menafikan peranan kaum Tionghoa dalam memajukan persuratkabaran nasional, baik yang bertindak sebagai wartawan atau pun pebisnis media massa seperti Kwee Kek Beng, Nio Joe Lan, Kwee Thiam Tjing, Kwee Hing Tjiat; serta para penulis handal dari etnik Tionghoa seperti Lie Kim Hok, Liem Thiam Joe, dan Kwee Tek Hoay.
Benny G. Setiono, peraih Weirtheim Award (2008), mencoba masuk dalam tipologi sebuah respons dan refleksi terhadap apa yang terjadi dan ia lihat di sekitar kehidupan sosialnya—sebagai bagian dari minoritas etnik tersebut. Sebuah “personal account” dari apa yang dilihat, didengar, dibaca, dan dialaminya khusus dalam berbagai kejadian dan peristiwa politik di negeri ini. Sebuah refleksi pribadi di tengah kancah politik nasional, sebagaimana terungkap dan tercatat dalam bukunya, Tionghoa Dalam Pusaran Politik. Fokus buku ini sebetulnya adalah sejarah Indonesia, di mana minoritas etnik Tionghoa juga memiliki peranan (sosial, budaya, ekonomi, dan politik) yang tidak sedikit.
Hal yang menarik dalam catatan Benny bahwa dalam setiap pergolakan politik di Indonesia, isu anti-Tionghoa (Sinophobia) selalu menjadi semacam ‘amunisi’ atau bahan politisasi yang antitesanya berujung pada proses “pencinaan” kembali etnik Tionghoa. Sejarah panjang isu anti-Tionghoa dicatat dengan sangat baik dan runut oleh Benny dalam buku Tionghoa Dalam Pusaran Politik. Dimulai dengan “Pembunuhan Etnik Tionghoa 1740” (hlm. 109-124) hingga peristiwa kerusuhan sosial yang terjadi pada Mei 1998 (lihat “Presiden Soeharto Lengser dan Keruntuhan Rezim Orde Baru”, hlm. 1.071-1.092).
Pada permulaan abad ke-20, seorang wartawan Belanda menulis buku tentang kemiskinan di Indonesia. Pemerintah Belanda pada masa itu mulai merasa terpaksa harus berbuat sesuatu untuk mengubah keadaan ekonomi, kesehatan, dan pendidikan rakyat biasa di tanah jajahannya. Hal ini disebabkan banyaknya kritik, baik di Negeri Belanda sendiri maupun di Nederlands Indie. Zaman “politik etis” baru dimulai dengan sedikit kebijakan baru. Si jurnalis Belanda tersebut mencoba mencari penyebab terjadinya kemiskinan itu. Hal yang menarik dalam bukunya itu, bukan politik ekonomi dan sosial pemerintah kolonial yang disalahkan, melainkan minoritas etnik Tionghoa. Ini bukan cerita baru.
Minoritas etnik Tionghoa sedikit lebih sukar dimengerti sejak permulaan sejarahnya di Indonesia hingga sekarang. Mungkin karena sejarah itu belum cukup diteliti secara mendalam dengan pendekatan yang realistis dan bebas dari prasangka, pro dan kontra.
Benny G. Setiono lewat buku Tionghoa Dalam Pusaran Politik berhasil merekonstruksi nasib minoritas etnik Tionghoa dalam berbagai arus perubahan politik nasional. Ia mampu mengungkap fakta di balik isu anti-Tionghoa dalam pergolakan politik di negeri ini, sekaligus menjawab pertanyaan: mengapa minoritas etnik Tionghoa selalu dijadikan sebagai “kambing hitam” dan “objek penderita” dalam perpolitikan nasional. Buku ini adalah referensi sejarah panjang bangsa yang diungkap secara jujur dan ilmiah.



Drs. Syafruddin Azhar adalah kolumnis dan peneliti pada Lembaga Pemerhati Kebijakan Publik (LPKP) Jakarta.

The History of Java


Thomas Stamford Raffles (1781-1826)
Hatinya Tertambat di Tanah Jawa

Judul buku : The History of Java
Penulis : Thomas Stamford Raffles
Penerjemah : Eko Prasetyaningrum, dkk.
Penerbit : Narasi, Yogyakarta
Edisi : I, 2008
Tebal buku : xxxvi + 904 hlm. (Hard cover)

Orang Inggris dan Singapura menyebutnya dengan panggilan terhormat, Sir. Padahal, sosok yang paling banyak meninggalkan nama ilmiah pada kekayaan flora dan fauna di Hindia Belanda ini tidak lahir dari lingkungan istana. Dia bukan bangsawan atau kaum feodal yang berhak menyandang gelar “Tuan”. Bayi yang diberi nama Thomas Raffles ini lahir nun jauh di lepas pantai Jamaika, dekat Port Morant, di atas geladak Kapal Ann, pada 6 Juli 1781.
Ayahnya, Benjamin Raffles (1739-1812), pada awalnya hanyalah seorang tukang masak di sebuah kapal hingga akhirnya menjadi kapten. Ibunya adalah Anne Lyde Linderman (1752-1824), putri pasangan William Linderman (1721-1791) dan Susannah Leigh (1725-1754).
Krisis ekonomi yang melanda Inggris pada masa itu menyebabkan keluarga Kapten Benjamin Raffles ini menghadapi kesulitan ekonomi yang cukup berat. Situasi ekonomi yang tidak menentu memaksa Thomas Raffles muda untuk mencari pekerjaan guna menyokong ekonomi keluarganya. Ditunjang pendidikan formal seadaya, Thomas Raffles beruntung tatkala ayah dari seorang sahabatnya memberinya pekerjaan pertama sebagai juru tulis di sebuah perusahaan Hindia Timur (1795). Raffles dikenal sebagai pemuda yang tekun dan rajin belajar. Berkat keuletan dan kemauannya yang keras, ia kemudian dipromosikan menjadi Asisten Sekretaris di perusahaan yang sama untuk wilayah Kepulauan Melayu.
Thomas Raffles baru mencantumkan nama “Stamford” di tengah namanya di kemudian hari, yakni ketika sosok berkarakter penuh warna ini berkembang menjadi pribadi yang sangat dihormati di kawasan Laut Cina Selatan. Sejarah hidupnya dimulai, ketika anak seorang pelaut ini dikirim ke Pulau Penang, Malaysia (1804).
Pada 1811, Thomas Stamford Raffles disertakan dalam rombongan ekspedisi ke Tanah Jawa sebagai Letnan Gubernur (Lieutenant Governor of Java), di bawah perintah Gubernur Jenderal (di India) Sir Gilbert Elliot Murray-Kynynmond (1751-1814) yang lebih dikenal dengan nama Lord Minto; hingga 1817. Lord Minto menyukai Raffles karena kemampuannya dalam berbahasa Melayu sehingga ia dikirim ke Malaka. Tidak lama setelah tiba di Tanah Jawa, Raffles mengatur ekspedisi militer melawan Belanda di Jawa.
Thomas Stamford Raffles mengadakan negosiasi dengan pihak Belanda untuk mencapai perdamaian dan mengatur berbagai ekspedisi kecil untuk menaklukkan sejumlah pangeran lokal, sekaligus mengambilalih Pulau Bangka untuk menjamin kekuasaan Inggris di daerah itu bila Jawa kembali ke dalam kekuasaan Belanda pasca-Perang Koalisi Keenam di Eropa.
Setelah Jawa dikembalikan kepada kolonial Belanda sebagai akibat Perang Napoleon, yang diatur oleh Perjanjian Anglo-Belanda (1814); Raffles kembali ke London (1815) karena mengidap penyakit tropis yang cukup parah, serta kesedihannya yang mendalam karena meninggalnya istri pertama yang dinikahinya pada 14 Maret 1805, Olive Marianne Devenish, di Jawa pada 26 November 1814 karena penyakit malaria.
Thomas Stamford Raffles pernah menjadi Gubernur Jenderal pada masa yang sangat singkat di Jawa. Selama kepemimpinannya (1811-1816), dia mengubah sistem tanam paksa (cultuur stelsel) yang diberlakukan kolonial Belanda dengan sistem kepemilikan tanah yang kemungkinan besar dipengaruhi oleh tulisan awal Dirk van Hogendorp (1761-1822). Dia pun menerapkan kebijakan landrente atau pajak bumi yang dilaksanakan berdasarkan hukum adat di Jawa. Prinsip yang digunakannya berdasarkan pada teori liberalisme, seperti dipraktikkan Inggris di India. Raffles menetapkan bahwa semua tanah adalah milik negara dan rakyat sebagai pemakai (penggarap) tanah wajib membayar sewa (berupa pajak bumi) kepada pemerintah. Pemimpin pribumi seperti sultan dan bupati yang tidak taat pada peraturan landrente, akan dipecat. Dia juga mengubah sistem berkendara di koloni Belanda menjadi sistem berkendara seperti di Inggris, yaitu di jalur kiri yang dipakai hingga sekarang.
Selain menerapkan kebijakan landrente, Thomas Stamford Raffles membagi Tanah Jawa ke dalam 16 karesidenan serta mengurangi jabatan bupati yang berkuasa. Kesultanan Banten dihapuskan, kedaulatan Kesultanan Cirebon harus diserahkan kepada kolonial Inggris, Sri Sultan Hamengkubuwono II (1750-1828) yang adalah Raja Kesultanan Yogyakarta karena bertentangan pendapat dengan Raffles, diasingkan ke Pulau Pinang (1812). Pengganti Sultan Sepuh—julukan Sri Sultan Hamengkubuwono II—adalah Sri Sultan Hamengkubuwono III (1769-1814), ayahanda dari Raden Mas Ontowiryo atau Pangeran Diponegoro (1785-1855).
Dengan diberlakukannya Konvensi London (13 Agustus 1814), bahwa semua wilayah yang pernah dikuasai Belanda harus dikembalikan oleh pihak Inggris. Kecuali Bangka, Belitung, dan Bengkulu yang diterima Inggris dari Sultan Najamuddin (Palembang). Raffles menerima konvensi itu yang sebenarnya tidak disetujuinya karena mengetahui kekayaan alam Hindia Belanda yang akan sangat menguntungkan pihak Inggris. Raffles pun kemudian ditarik kembali ke Inggris dan digantikan oleh John Fendall (1762-1825).
Pada 1818, Thomas Stamford Raffles kembali ke timur dan segera dipromosikan menjadi Gubernur Bengkulu (Bencoolen) yang sekarang dikenal sebagai Pulau Sumatera. Pada masa pemerintahannya di pesisir pantai barat Sumatera itu, Raffles melakukan banyak kegiatan penelitian flora dan fauna, yang baginya sangat menakjubkan. Dia menelusuri hutan di pedalaman Sumatera serta sebagian Pulau Jawa bersama para ahli binatang dan botani yang dipekerjakannya di luar misi imperialisme dagang yang ditugaskan Kerajaan Inggris. Eksotisme flora dan fauna di Tanah Jawa dan Sumatera, telah membuat hatinya tertambat.
Setahun masa pendudukannya di bagian barat Sumatera, Raffles kemudian menggagas proyek bernama “Singapore”. Proyek mercusuar ini adalah pelampiasan dari rasa kecewanya karena penyerahan Tanah Jawa kepada Belanda. Beberapa proyek botani dan arkeologinya di sana terputus. Pada 19 Januari 1819, dia menggagas penguasaan Pulau Singapura yang mengapung di Selat Malaka lewat perjanjian antara Temenggong Sri Maharaja dan Raffles mewakili Perusahaan Hindia Timur. Dalam perjanjian itu, Inggris diizinkan mendirikan pusat perdagangan di Singapura. Sebagai imbalannya, Temenggong Sri Maharaja akan dilindungi dari ancaman serangan Belanda dan orang Bugis. Raffles bersumpah menciptakan koloni baru yang meskipun kecil, akan jauh lebih maju daripada Tanah Jawa.
Sumpah Thomas Stamford Raffles ini kemudian terbukti. Pulau Sungapura melesat menjadi koloni perdagangan paling strategis dalam sejarah kolonialisme Inggris di Hindia Timur. Obsesi Raffles menghentikan laju Belanda dalam menguasai kepentingan Inggris di Hindia Timur berjalan baik. Komoditas perdagangan yang mengalir dari pesisir timur Sumatera tetap dapat mereka tampung tanpa harus menguasai pesisir tersebut secara teritorial.
Belakangan, Belanda yang lebih agresif dengan orientasi penguasaan teritorial, akhirnya berhasil mengendalikan Sumatera Timur yang kemudian berkembang menjadi sentra perkebunan terpenting di Asia Tenggara. Perdagangan di Selat Malaka pun menjadi panas. Inggris dan Belanda saling tuding tentang pelanggaran Traktat London yang mereka sepakati bersama pada 1824. Kedua imperialis Eropa itu saling berseteru memperebutkan “kue” perdagangan di Pulau Sumatera, yang disebut-sebut sebagai “tanah harapan”.
Dari Calcutta (India), Gubernur Jenderal Lord Hastings mengakui pendapat Raffles bahwa jalur laut yang paling penting, Selat Malaka, harus dilindungi jika ingin menjamin keamanan perdagangan Inggris di kawasan Laut Cina Selatan. Singapura yang terpilih sebagai frontliner di rute itu akhirnya berhasil menjadi pemimpin perdagangan di jalur tersibuk itu.
Di Bengkulu, Raffles mendirikan benteng paling besar kedua di Asia Pasifik setelah benteng utama di India. Dari pendirian benteng yang demikian kokoh dan multifungsi itu, dapat dipastikan Raffles memiliki cita-cita tinggi di kawasan ini. Sayang karena gejolak politik di Eropa, pada 1823 ia terpaksa meninggalkan Sumatera. Namun dia sempat mewujudkan obsesinya di Singapura dalam proyek botani dan satwa Hindia Timur, terutama di Sumatera. Imperialis Inggris ini menggagas pendirian Raffles Museum di Singapura untuk mendokumentasikan binatang dan tanaman khas yang terdapat di Jawa dan Sumatera.
Berdasarkan catatan dalam buku biografi Memoir of the Life and Public Services of Sir Thomas Stamford Raffles (1830), yang ditulis oleh istri kedua Thomas Stamford Raffles, Sophia Hull (1786-1858)—menikah dengan Raffles di Gereja St. Marylebone, London (22 Februari 1817), koleksi spesimen binatang yang dimiliki Raffles sangat banyak dan bervariasi.
Raffles dikenal sebagai pecinta ilmu biologi. Sekembalinya ke London, dia mendirikan London Zoo dan Zoological Society of London yang terkenal hingga kini di Inggris. Dia memberi nama sejumlah binatang dengan memakai nama Sumatera, di antaranya: Rhizomys sumatrensis (tikus bambu besar), Ardea sumatrana (Great-billed Heron), Sterna sumatrana (Black-naped Tern), Phaenicophaeus sumatranus (Chestnut-bellied Malkoha), Bubo sumatranus (Barred Eagle Owl), dan Corydon sumatranus (Dusky Broadbill).
Karena kerja kerasnya di bidang biologi, sederatan jenis tumbuhan dan binatang telah dinamai dengan menggunakan namanya (rafflesi). Di antaranya: Megalaima rafflesi (Red-crowned Barbet), Dinopium rafflesi (Olive-backed Woodpecker), dan Chaetodon rafflesi (Latticed Butterflyfish). Barangkali tumbuhan paling terkenal yang juga menggunakan namanya adalah Rafflesia arnoldii, sejenis tumbuhan parasit di pohon palem yang ditemukan Thomas Stamford Raffles di sekitar Bengkulu (Sumatera).
Thomas Stamford Raffles meninggal dunia sehari sebelum ulang tahunnya yang ke-45 (5 Juli 1826), atau hanya dua tahun sekembalinya dari Hindia Timur karena apoplexy atau stroke. Raffles dianggap sebagai salah seorang pelopor kajian Jawa, serta bukunya menjadi sumber gagasan Barat mengenai daerah tersebut dan sebagai titik awal pengkajian wilayah Timur.
Buku The History of Jawa ini bukan sekadar rekam jejak perjalanan Raffles di Hindia Belanda, terutama di Jawa dan Sumatera. Dia telah mengusahakan banyak hal seperti mengintroduksi otonomi terbatas, menghentikan perdagangan budak, mereformasi sistem pertanahan yang pernah diberlakukan pemerintah kolonial Belanda, melakukan penelitian mendalam atas sastra kuno Jawa, serta mendokumentasikan peninggalan arsitektur kuno seperti Candi Borobudur dan Candi Prambanan.
Buku The History of Java diterbitkan pertama kali pada 1817 dalam dua jilid besar (jilid I: 479 halaman, dan jilid II: 291 halaman), yang dilengkapi dengan ilustrasi gambar berwarna yang cukup mewah dan menarik pada masanya. Pada 1965, buku karya Thomas Stamford Raffles ini telah dicetak ulang oleh Oxford University Press, London (Inggris). Buku ini merupakan referensi utama tentang Tanah Jawa yang eksotik dan bersifat komprehensif.
Syafruddin Azhar adalah editor dan penulis serta peneliti pada Lembaga Pemerhati Kebijakan Publik (LPKP) Jakarta.