Thursday, August 28, 2008

Pidato-pidato yang Mengubah Dunia


Kekuatan Kata yang Menghasut Pikiran

Judul buku : Pidato-pidato yang Mengubah Dunia
Kompilator : Simon Sebag Montefiore
Penerjemah : Haris Munandar, MA
Penerbit : Esensi (Erlangga Group), Jakarta
Edisi : I, 2008
Tebal buku : 248 hlm. (Hard cover)

Orator selalu menjadi pesona bagi banyak orang (publik) di sepanjang zaman. Setiap zaman (era) acap kali melahirkan orator ulung termasuk juga para demagogue—penghasut, pemimpin, atau penggerak rakyat yang pandai berpidato dan berpolitik.

Pada zaman Yunani Kuno, ada Marcus Tullius Cicero (106-43 SM) yang dianggap sebagai orator ulung dan terhebat sepanjang masa. Setelah Gaius Julius Caesar (100-44 SM) tewas karena tikaman belati Marcus Junius Brutus (85-42 SM) dan beberapa Senator Romawi yang berkomplot untuk melakukan konspirasi pembunuhan atas Julius Caesar, kepemimpinan Kekaisaran Romawi diteruskan oleh Marcus Antonius (83-30 SM) dan Cicero. Antonius sebagai pemimpin dan Cicero sebagai jurubicara (spokesman) senat.

Dalam perjalanan politik dua tokoh politik Romawi ini, terjadi rivalitas di antara mereka. Melalui kekuatan orasi atau pidato politiknya yang sangat hebat, Cicero mampu ‘menggiring’ (menghasut) publik Romawi untuk berpihak kepadanya. Antonius pun merasa terdesak oleh pidato Cicero (yang menghasut) itu hingga Cicero dibunuhnya. Kepala dan tangan Cicero dipamerkan di bangsal Istana untuk disaksikan oleh khalayak. Istri Antonius, Aelia Flavia Flaccilla, begitu membenci isi pidato yang disampaikan Cicero hingga dia mengeluarkan lidah Cicero untuk ditusuk-tusuk dengan tusuk kondenya. Flaccilla ingin menunjukkan kebenciannya atas kekuatan “lidah orasi” Cicero tersebut.

Pada abad ke-19 yang membentang dari tahun 1900-2000, lahir para orator besar dunia. Tercatat nama-nama tokoh terkemuka seperti Oliver Cromwell, Napoleon Bonaparte, Adolf Hitler, Mohandas Gandhi, Vladimir Ilyich Lenin, Joseph Stalin, Bung Karno, John F. Kennedy, Martin Luther King, Nelson Mandela, dan Bung Tomo sebagaimana terangkum dalam buku Pidato-pidato yang Mengubah Dunia (Esensi, 2008).

Pada saat ini, nama kandidat Presiden Amerika Serikat dari Partai Demokrat, Barack Obama, juga disebut-sebut sebagai orator ulung. Sayangnya, nama Obama tidak dimasukkan dalam daftar orator dalam buku Pidato-pidato yang Mengubah Dunia ini. Di setiap momen kampanye politiknya, Obama disambut bagaikan superstar. Dua ratus ribu orang mendengarkan pidatonya di Tugu Kemenangan Berlin. Meski tak sampai memecahkan rekor pengumpulan massa terbanyak, namun dilaporkan bahwa lebih dari empat juta orang menonton siaran langsungnya di televisi Jerman. “People of the world, now do your duty. People of the world look at Berlin,” kata Obama dalam pidatonya itu.

Bagaimana pendapat publik mengenai isi pidato Barack Obama tersebut? Pakar politik luar negeri dari Partai Sosial Demokrat (SPD), Gert Weisskirchen, mengatakan: “Bila di Berlin diadakan pemilihan umum, maka dengan pidato itu, dengan penampilan dan dengan cara ia menggugah orang (massa), pastinya dia tidak saja merebut hati publik, tetapi juga suara para pemilih di Berlin.” Itulah kekuatan pidato seorang tokoh politik yang mampu menggugah dan mengubah pandangan dunia (world-view).

Sejak dahulu, para pemimpin besar telah menggunakan kemampuan orasi (pidato) mereka untuk menginspirasi dan menggugah para pengikutnya. Pidato yang hebat tidak saja mengungkap kebenaran, namun juga menyebarkan kebohongan seperti disampaikan oleh para demagogue itu. Kumpulan pidato luar biasa yang disampaikan para tokoh besar dunia yang sangat melegenda itu kini telah dihimpun di dalam buku mewah berjudul Pidato-pidato yang Mengubah Dunia. Buku ini memuat lebih dari 50 isi pidato yang menggugah dan sangat penting dari berbagai era sejarah dan bangsa di dunia.

Buku hebat edisi Indonesia yang telah diluncurkan oleh penerbitnya belum lama ini itu berisi himne-himne penuh semangat tentang kebebasan demokratis yang mengandung prinsip-prinsip kepatutan dan kebebasan, ungkapan kata-kata indah penuh makna, ajakan, himbauan, dan juga ‘hasutan’ yang menggugah dan mencerahkan dunia secara universal.

Setiap pidato juga dapat menjadi ‘jendela’ untuk melihat suatu masa dalam sejarah. Di era media elektronik seperti radio dan televisi sekarang ini, kebanyakan orang akan langsung teringat di mana mereka berada saat mendengar pidato Presiden George W. Bush tentang peristiwa 9/11, pidato Franklin D. Roosevelt setelah peristiwa Pearl Harbour (8 Desember 1941), atau pidato Vyacheslav Molotov yang sesungguhnya hanya membacakan naskah pidato Joseph Stalin setelah terjadinya invasi Nazi Jerman ke Uni Soviet.

Banyak dari isi pidato ini yang mengutarakan kebenaran abadi seperti Pidato Gettysburg, atau pidato yang kurang dikenal oleh tokoh pemberontak sekaligus presiden masa depan Cekoslovakia, Vaclav Havel; atau Presiden Israel, Chaim Herzog. Kesederhanaan bahasa menandai pembuatan pidato hebat seperti Khotbah Yesus atau pidato Martin Luther King. Adapun pidato dengan kalimat indah membuai dapat dikemukakan oleh para tokoh jahat dan bisa menjadi topeng (monster) untuk mengaburkan pemahaman publik.

Pidato Adolf Hitler, misalnya, menunjukkan keahliannya sebagai agitator politik, aktor, dan penulis naskah pidato terkemuka. Namun sayangnya, ia digayuti oleh kepicikan, muslihat, dan tipu daya. Sebaliknya, walaupun pandangan Stalin itu kejam, namun anak tukang sepatu yang sederhana itu tak ragu menyampaikannya dengan kejelasan yang mengejutkan.

Paling tidak, buku Pidato-pidato yang Mengubah Dunia yang juga memuat biografi singkat dari penyampai pidato itu akan menginspirasi para pembaca, serta dapat memberikan pemahaman yang lebih luas tentang peristiwa pada masa pidato-pidato yang menggelora dan memukau khalayak publik itu disampaikan.

Pembaca buku ini setidaknya bisa ‘mendengar’ penjelasan dari para penyampai pidato tersebut tentang bagaimana mereka berdiri di persimpangan sejarah.

Syafruddin Azhar adalah kolumnis dan peneliti pada Lembaga Pemerhati Kebijakan Publik (LPKP), Jakarta.

Ahmadinejad: The Nuclear Savior of Tehran



Sang Nuklir dari Tehran

Judul buku : Ahmadinejad: The Nuclear Savior of Tehran
Penulis : Adel el-Gogary
Penerjemah : Tim Kuwais
Editor : Cecep Ramli dan Ito
Penerbit : Pustaka Iman, Jakarta
Edisi : I, April 2007
Tebal buku : x + 337 hlm.

Konon, keberatan Amerika Serikat (AS) terhadap pengembangan proyek nuklir Iran hanya untuk kepentingan negeri Paman Sam itu sendiri. Presiden George W. Bush tidak ingin ada negara lain di dunia—selain Amerika Serikat dan Israel—menguasai teknologi nuklir ini. Padahal, Presiden Ahmadinejad kembali menegaskan bahwa semua negara di dunia berhak memanfaatkan teknologi tinggi, termasuk teknologi nuklir.
Sebuah narasi hidup tentang Presiden Ahmadinejad dan revolusi nuklir di Iran (untuk perdamaian dunia), dibeberkan secara kritis dan komprehensif dalam buku Ahmadinejad: The Nuclear Savior of Tehran.
Tidak diragukan lagi, Ahmadinejad adalah Presiden Iran yang menghebohkan dunia yang membawa Republik Islam Iran kembali ke wacana politik internasional. Buku ini merupakan pengantar yang baik untuk lebih mengenal dan memahami Presiden Ahmadinejad serta kebijakan politik luar negeri Iran yang populer.
Ada sebagian orang yang memiliki kelebihan yang tak dapat diungkapkan dengan kata-kata. Pengaruhnya luas, perannya lebih besar dari gelar yang disandangnya, daya tariknya tak bisa dihentikan atau dibatasi, serta impiannya setinggi langit dan seluas samudera. Itulah profil singkat yang dimiliki Presiden Ahmadinejad.
Ketokohan Ahmadinejad dikatakan sebagai perpaduan tiga pribadi dari tiga zaman yang berbeda. Ia pun dianggap sebagai salah satu keturunan para pemimpin yang memiliki wawasan kenabian yang mulia. Kepribadian dan popularitasnya merupakan perpaduan agung antara wawasan keislaman dan patriotisme Hussain bin Ali r.a, keagungan Presiden Jamal Abdul Nasr, serta memiliki wawasan luas dan penyabar seperti Mahatma Gandhi.
Mahmoud Ahmadinejad terlahir di era globalisasi, di sebuah negeri yang masyarakatnya memegang teguh tradisi keagamaan yang meraka anut. Masyarakat Iran juga sangat teguh dalam pendirian dan teguh memegang kata bijak, “Bersahabatlah dengan siapa saja, sekalipun dengan serigala; yang penting kapakmu selalu siap.”
Barangkali pandangan inilah yang ada di sebagian masyarakat Iran. Ketika Presiden Ahmadinejad mengumandangkan revolusi nuklirnya, segara disambut meriah oleh rakyatnya. Pengalaman pahit yang dialami rakyat Palestina dan Irak, agaknya menjadi momok bagi masyarakat Iran. Presiden Ahmadinejad dan rakyatnya berkeyakinan bahwa Amerika Serikat merupakan pimpinan para ‘serigala’ yang mesti diwaspadai. Serigala-serigala ini senantiasa menunggu kesempatan untuk menerkam suatu negeri di kawasan Timur Tengah demi minyak, air, dan tanah jajahan. Serigala kecil, yakni Israil, telah berhasil memangsa Palestina. Sementara ‘serigala’ lainnya, yaitu negara Barat, menari-nari di Dewan Keamanan PBB, dengan tarian “hukum internasional”.
Di zaman seperti sekarang ini bagi rakyat Iran, kapak haruslah selalu siap. Namun kapak tidak ada gunanya jika tak ada tangan yang menggerakkannya. Seperti pada pemahaman, bahwa tak ada jihad—untuk membela kebenaran dan mempertahankan hak—tanpa adanya pasukan. Dengan pemikiran sederhana seperti ini, timbul keputusan yang sangat sulit namun harus ditempuh, yakni mengaktifkan kembali program pengayaan nuklir supaya Iran memiliki alat proteksi untuk melindungi diri dari segala ancaman, baik teknologi maupun militer. Mustahil bagi Iran dengan sejarah masa lalunya yang agung sebagai sebuah imperium besar, yakni Persia, membiarkan begitu saja wilayahnya dijajah dan diinjak-injak negara asing.
Sejak kemunculan pertamanya ke hadapan publik, Ahmadinejad adalah seorang yang sederhana, berperasaan halus, dan ramah. Dia adalah pemimpin bagi para pelajar yang tak mau tunduk begitu saja pada aturan universitas yang korup dan kerajaan yang diktator. Dia adalah patriot baru yang telah terdidik di madrasah kenabian. Dia tumbuh di bawah naungan pemikiran Imam Khomeini yang pernah berkata, “Jika Amerika senang kepadamu, maka ada yang patut dipertanyakan dengan akidahmu!”
Jika zaman itu adalah manusia, maka zaman yang hebat itu telah mempertemukan dua peristiwa penting yang terpisah selama 50 tahun. Di tahun 1965, Jamal Abdul Nasr menjadi pemimpin dunia Arab, setelah menentang AS karena menolak mendanai proyek pembangunan as-Saddul ‘Aaliy (bendungan raksasa Aswan) yang terletak di sebelah selatan Mesir. Akhirnya ia memutuskan untuk menasionalisasi perusahaan Terusan Suez, yang dikuasai Inggris dan Prancis. Tak pelak, ia harus berhadapan dengan kekuatan perang tiga negara (Inggris, Prancis, dan Israel) dalam pertempuran yang tidak seimbang. Namun demikian, Nasr punya prinsip, bahwa yang lemah tidak boleh mengalah begitu saja.
Lahirlah di negeri para mullah ini seorang pemimpin berkepribadian tangguh, Mahmoud Ahmadinejad. Dialah harapan masyarakat Iran—dan juga masyarakat di kawasan Timur Tengah secara umum—untuk membangun kepercayaan diri dan patriotisme agar tidak mengalah begitu saja terhadap hegmoni Amerika dan Zionis Israel.

Syafruddin Azhar adalah kolumnis, pengamat perbukuan, dan peneliti pada Lembaga Pemerhati Kebijakan Publik (LPKP) Jakarta.

Hitler’s Pope: Sejarah Konspirasi Paus Pius XII dan Hitler


Paus Pius XII dan Hitler
Konspirasi Agama dan Negara

Judul buku : Hitler’s Pope: Sejarah Konspirasi Paus Pius XII dan Hitler
Penulis : John Cornwell
Penerjemah : Jimmi Firdaus
Penerbit : Beranda, Yogyakarta
Edisi : I, Januari 2008
Tebal buku : xxxii + 520 hlm.

Catatan sejarah yang menghebohkan. Sebuah riset ilmiah tentang sejarah konspirasi agama dan negara yang luar biasa kontroversial ini mengisahkan Eugenio Pacelli (1876-1958), seseorang yang pernah menjabat sebagai Paus Pius XII (2 Maret 1939–9 Oktober 1958) itu ditengarai sebagai sosok gerejawan yang paling berbahaya di zaman modern.
Melalui buku Hitler’s Pope (1999) yang menuai kecaman dari Vatikan, John Cornwell, sejarawan dan jurnalis Inggris yang mengepalai The Human Science and Human Dimension Project pada Jesus College, Cambridge, mempublikasikan fakta baru yang mengagumkan. Dia mengatakan bahwa Paus Pius XII membawa keotoriteran dan sentralisasi para pendahulunya ke tingkat yang paling ekstrem. Dia memaparkan sebuah studi yang mendalam tentang seorang tokoh agama dan negara yang sangat kompleks, yang terombang-ambing dalam rangkaian krisis paling tragis yang pernah melanda daratan Eropa.
Sebagai Sekretaris Negara Vatikan (Cardinal Secretary of State), Pacelli yang memiliki nama lengkap Eugenio Maria Giuseppe Giovanni Pacelli, menandatangani persetujuan dengan pemimpin Nazi Jerman, Adolf Hitler (1889-1945), pada 1933 untuk melindungi kekuasaan Gereja Katolik sebagai imbalan atas penarikan Gereja dari ranah politik.
Persetujuan rahasia ini terbukti berakibat fatal. Saat Eugenio Pacelli dinobatkan menjadi Paus Pius XII, ia tetap menolak untuk mengutuk tindakan keji sang Führer; meskipun dia merupakan salah satu pemimpin Eropa yang menyadari bahaya genocide (pemusnahan secara teratur terhadap suatu bangsa). Sang Paus bahkan tidak bergeming saat kaum Yahudi Italia berkumpul di bawah tembok Vatikan untuk kemudian digiring ke kamp-kamp pembantaian maut atau holocaust (dari bahasa Yunani, holokauston: persembahan pengorbanan yang terbakar sepenuhnya). Kegagalan Paus Pius XII mengecam Naziisme, terutama ketika dilihat dari paham anti-Semitnya, adalah salah satu skandal besar di masa perang.
Dengan memanfaatkan dokumen rahasia yang dimiliki Vatikan, Cornwell berhasil membongkar konspirasi rahasia antara Paus Pius XII dan Adolf Hitler. Karya ilmiah yang mengesankan ini merupakan kajian akademis yang objektif dan kritis. Buku ini akan menghukum cacat reputasi seorang tokoh kharismatik untuk selama-lamanya.
Buku Hitler’s Pope tidak dimaksudkan sebagai bahan bacaan yang memaparkan seluk beluk hubungan negara dan gereja, tetapi mengungkap hubungan Pacelli dan Hitler. Kompleksitas Pacelli disingkap dengan tenang, menunjukkan dengan kepekaan tinggi seruan Pacelli dengan beban berat kepausan, yakni tanggung jawab moral dan agama. Tentu saja, tulisan yang bersungguh-sungguh dan brilian berdasar keutamaan bobot sejarah seperti ini akan menimbulkan gelombang kejut dan amarah, serta rasionalisasi dan penyangkalan.
Lima tahun setelah buku Hitler’s Pope ditetapkan sebagai “the international bestseller”, Cornwell mengubah sedikit pandangan kritisnya itu. Dalam majalah The Economist (9 Desember 2004), dia mengatakan, “I would now argue in the light of the debates and evidence following Hitler’s Pope, that Pius XII had so little scope of action that it is impossible to judge the motives for his silence during the war, while Rome was under the heel of Mussolini and later occupied by the Germany.”
Buku Hitler’s Pope memperjelas episode yang sebelumnya diabaikan dalam kehidupan santo, dan memberitahu kita segala kekurangan dalam versi yang bisa diterima. Pius XII dan Yahudi, serta semua hal mengenainya terlalu menyedihkan dan terlalu berat untuk sebuah kepahitan. Kebungkaman yang keterlaluan dan sungguh-sungguh keliru karena telah bersekutu dengan segala kekuatan pembawa penindasan, ketidakadilan, agresi, eksploitasi, dan perang.
Dalam bingkai sejarah yang rigit, Cornwell merunut karakter Eugenio Pacelli dari latar belakang keluarga, masa pendidikan, dan pengalaman diplomatiknya sebelum akhirnya dinobatkan sebagai Paus Pius XII pada 1939. Cornwell secara berani membuka isu hubungan antara Gereja Katolik dan Nazi dalam debat terbuka, meski pada saat yang bersamaan dia dikecam karena dianggap mengabaikan bukti positif dari para pemimpin Yahudi yang memuji tindakan Paus Pius XII dalam penyelamatan kaum Yahudi dari holocaust.
Buku Hitler’s Pope menjadi bukti keberanian seorang jurnalis dalam mengungkap krisis moral yang menimpa tokoh kharismatik sekaliber santo. Cornwell memaparkan fakta bahwa sewaktu ribuan kaum Yahudi ditangkap dan dideportasi keluar dari Roma oleh penguasa Jerman, Pacelli menampakkan kebungkaman “diplomatik” sekaligus “liturgis”. Tidak ada protes atau teguran kepada Hitler, juga tidak ada doa dan misa bagi para korban.

Drs. Syafruddin Azhar adalah kolumnis dan peneliti pada Lembaga Pemerhati Kebijakan Publik (LPKP) Jakarta.

Tionghoa Dalam Pusaran Politik

Evolusi Etnik Tionghoa di Indonesia

Judul buku : Tionghoa Dalam Pusaran Politik
Penulis : Benny G. Setiono
Penerbit : TransMedia, Jakarta
Edisi : Pertama, 2008
Tebal buku : xxii + 1.142 hlm. (Hardcover)

Membaca sejarah Indonesia khususnya di era Orde Baru (1967-1998) adalah sejarah tentang politisasi kepentingan untuk melanggengkan elite kekuasaan. Proses pencatatan sejarah bangsa ini tak bisa lepas dari vested of interest para pemegang kekuasaan. Padahal, sejarah seharusnya menjadi catatan masa lampau yang dapat dijadikan referensi berharga.
Sistem politik yang diterapkan Presiden Soeharto (1921-2008) yang disebut Orde Baru itu memang terasa di mana-mana selama lebih dari 30 tahun. Sistem politik yang dijalankan itu sekaligus membawa dampak positif dan negatif yang tidak kecil terhadap warganya, terutama etnik Tionghoa. Namun negara sebesar Indonesia ini tidak pernah dapat didominasi sepenuhnya oleh seseorang, betapa pun otoriternya sistem politik itu.
Apa yang dikatakan Prof. Donald K. Emmerson (dalam Indonesia Beyond Soeharto, 2001) bahwa “Indonesia milik Soeharto” (Soeharto’s Indonesia) tak pernah lebih daripada suatu metafora. Karena di bawah rezim Orde Baru yang otoritarianisme pun Indonesia mempunyai dinamisme dan kemajemukannya sendiri, di luar jangkauan rezim.
Sebagian besar dari 200 juta lebih populasi orang Indonesia mengidentifikasi dirinya dengan salah satu dari 200 lebih kelompok etnik di Indonesia. Mayoritas terbesar orang Indonesia yang hidup sekarang adalah keturunan kaum migran Austronesia ke pulau-pulau di Nusantara, yang mulai berpindah ke selatan dari daerah yang sekarang disebut Taiwan, sekitar 5.500 tahun silam. Salah satu dari 200 lebih kelompok etnik ini adalah suku Tionghoa yang geliatnya dimulai sejak kaisar Cina mengirim ekspedisi angkatan laut ke kawasan maritim Asia Tenggara. Berdasarkan catatan ahli sejarah Indonesia dari University of Queensland (Brisbane), Australia, Prof. Robert Cribb (2001), kaisar dari Cina ini berusaha mengukuhkan hegemoninya di Nusantara, yang baru berakhir setelah 1433. Namun pedagang Tionghoa mempunyai sejarah panjang dan tetap eksis di Kepulauan Nusantara hingga kini, bersama-sama dengan kaum pedagang yang berasal dari daratan India, Asia Tenggara, Asia Barat, Asia Timur, dan Asia Tengah. Peranan etnik Tionghoa di Nusantara mempunyai akar sejarah yang panjang, lebih dari 500 tahun.
Keunikan peran (terutama sosial, budaya, ekonomi, dan politik) etnik Tionghoa di Indonesia ini digambarkan dalam sejarah panjang bangsa Indonesia. Namun terlalu banyak fakta sejarah Indonesia—khususnya sejarah tentang minoritas etnik Tionghoa—yang ‘disembunyikan’, terutama selama masa kekuasaan rezim Orde Baru. Termasuk “politik kesengajaan” ciptaan rezim Orde Baru, yang di kemudian hari menggiring segelintir orang dari etnik Tionghoa untuk dinamai sebagai “binatang ekonomi”.
Pada masa itu, catatan sejarah cenderung terjebak dalam mindset rezim Orde Baru yang melihat warga Tionghoa sebagai “masalah Cina”. Sebuah masalah politik yang pada awalnya diciptakan oleh pemerintah kolonial Belanda ketika menghadapi gerakan arus nasionalisme Tionghoa di tanah jajahan. Deprivasi yang diderita minoritas Tionghoa di bawah rezim Orde Baru ini tidak hanya larangan untuk mengekspresikan diri dan identitas “ketionghoaan” mereka, tetapi juga berimbas pada tatanan historiografi Indonesia.
Untuk mengerti tempat, sikap, dan kedudukan suatu minoritas, tidak ada jalan lain kecuali mendalami pengertian tentang evolusi minoritas etnik tersebut. Hal ini dimaksudkan agar semakin jelas kompleksitas struktur, konflik dalam dan luar, hubungannya—dengan segala variasinya—dengan mayoritas (yang juga kompleks dan berbeda-beda), permulaan dan konsekuensi dan perubahan definisinya sebagai minoritas. Tanpa pekerjaan berat ini, minoritas (dan juga mayoritas) terus saja digambarkan secara simplistis, menurut dongeng biasa dan kasar, yang seringkali penuh dengan kebencian, caci maki, dan prasangka yang dimaksudkan untuk mengisolasi minoritas itu dan menghilangkan unsur kemanusiaannya. Satu hal yang pada intinya dimaksudkan untuk membekukan secara masif status (sosial-politik) kelompok tersebut sebagai minoritas.
Prof. Harsya W. Bachtiar (1934-1995) dengan mengutip catatan Ahmat Adam (The Vernacular Press and the Emergence of Modern Indonesian Consciousness, 1855-1913) menyebutkan bahwa komunitas Tionghoa di Indonesia itu sangat literair, suka membaca dan menulis serta pelanggan suratkabar sejak akhir abad ke-19. Sejarah pers Indonesia tentu saja tidak menafikan peranan kaum Tionghoa dalam memajukan persuratkabaran nasional, baik yang bertindak sebagai wartawan atau pun pebisnis media massa seperti Kwee Kek Beng, Nio Joe Lan, Kwee Thiam Tjing, Kwee Hing Tjiat; serta para penulis handal dari etnik Tionghoa seperti Lie Kim Hok, Liem Thiam Joe, dan Kwee Tek Hoay.
Benny G. Setiono, peraih Weirtheim Award (2008), mencoba masuk dalam tipologi sebuah respons dan refleksi terhadap apa yang terjadi dan ia lihat di sekitar kehidupan sosialnya—sebagai bagian dari minoritas etnik tersebut. Sebuah “personal account” dari apa yang dilihat, didengar, dibaca, dan dialaminya khusus dalam berbagai kejadian dan peristiwa politik di negeri ini. Sebuah refleksi pribadi di tengah kancah politik nasional, sebagaimana terungkap dan tercatat dalam bukunya, Tionghoa Dalam Pusaran Politik. Fokus buku ini sebetulnya adalah sejarah Indonesia, di mana minoritas etnik Tionghoa juga memiliki peranan (sosial, budaya, ekonomi, dan politik) yang tidak sedikit.
Hal yang menarik dalam catatan Benny bahwa dalam setiap pergolakan politik di Indonesia, isu anti-Tionghoa (Sinophobia) selalu menjadi semacam ‘amunisi’ atau bahan politisasi yang antitesanya berujung pada proses “pencinaan” kembali etnik Tionghoa. Sejarah panjang isu anti-Tionghoa dicatat dengan sangat baik dan runut oleh Benny dalam buku Tionghoa Dalam Pusaran Politik. Dimulai dengan “Pembunuhan Etnik Tionghoa 1740” (hlm. 109-124) hingga peristiwa kerusuhan sosial yang terjadi pada Mei 1998 (lihat “Presiden Soeharto Lengser dan Keruntuhan Rezim Orde Baru”, hlm. 1.071-1.092).
Pada permulaan abad ke-20, seorang wartawan Belanda menulis buku tentang kemiskinan di Indonesia. Pemerintah Belanda pada masa itu mulai merasa terpaksa harus berbuat sesuatu untuk mengubah keadaan ekonomi, kesehatan, dan pendidikan rakyat biasa di tanah jajahannya. Hal ini disebabkan banyaknya kritik, baik di Negeri Belanda sendiri maupun di Nederlands Indie. Zaman “politik etis” baru dimulai dengan sedikit kebijakan baru. Si jurnalis Belanda tersebut mencoba mencari penyebab terjadinya kemiskinan itu. Hal yang menarik dalam bukunya itu, bukan politik ekonomi dan sosial pemerintah kolonial yang disalahkan, melainkan minoritas etnik Tionghoa. Ini bukan cerita baru.
Minoritas etnik Tionghoa sedikit lebih sukar dimengerti sejak permulaan sejarahnya di Indonesia hingga sekarang. Mungkin karena sejarah itu belum cukup diteliti secara mendalam dengan pendekatan yang realistis dan bebas dari prasangka, pro dan kontra.
Benny G. Setiono lewat buku Tionghoa Dalam Pusaran Politik berhasil merekonstruksi nasib minoritas etnik Tionghoa dalam berbagai arus perubahan politik nasional. Ia mampu mengungkap fakta di balik isu anti-Tionghoa dalam pergolakan politik di negeri ini, sekaligus menjawab pertanyaan: mengapa minoritas etnik Tionghoa selalu dijadikan sebagai “kambing hitam” dan “objek penderita” dalam perpolitikan nasional. Buku ini adalah referensi sejarah panjang bangsa yang diungkap secara jujur dan ilmiah.



Drs. Syafruddin Azhar adalah kolumnis dan peneliti pada Lembaga Pemerhati Kebijakan Publik (LPKP) Jakarta.

The History of Java


Thomas Stamford Raffles (1781-1826)
Hatinya Tertambat di Tanah Jawa

Judul buku : The History of Java
Penulis : Thomas Stamford Raffles
Penerjemah : Eko Prasetyaningrum, dkk.
Penerbit : Narasi, Yogyakarta
Edisi : I, 2008
Tebal buku : xxxvi + 904 hlm. (Hard cover)

Orang Inggris dan Singapura menyebutnya dengan panggilan terhormat, Sir. Padahal, sosok yang paling banyak meninggalkan nama ilmiah pada kekayaan flora dan fauna di Hindia Belanda ini tidak lahir dari lingkungan istana. Dia bukan bangsawan atau kaum feodal yang berhak menyandang gelar “Tuan”. Bayi yang diberi nama Thomas Raffles ini lahir nun jauh di lepas pantai Jamaika, dekat Port Morant, di atas geladak Kapal Ann, pada 6 Juli 1781.
Ayahnya, Benjamin Raffles (1739-1812), pada awalnya hanyalah seorang tukang masak di sebuah kapal hingga akhirnya menjadi kapten. Ibunya adalah Anne Lyde Linderman (1752-1824), putri pasangan William Linderman (1721-1791) dan Susannah Leigh (1725-1754).
Krisis ekonomi yang melanda Inggris pada masa itu menyebabkan keluarga Kapten Benjamin Raffles ini menghadapi kesulitan ekonomi yang cukup berat. Situasi ekonomi yang tidak menentu memaksa Thomas Raffles muda untuk mencari pekerjaan guna menyokong ekonomi keluarganya. Ditunjang pendidikan formal seadaya, Thomas Raffles beruntung tatkala ayah dari seorang sahabatnya memberinya pekerjaan pertama sebagai juru tulis di sebuah perusahaan Hindia Timur (1795). Raffles dikenal sebagai pemuda yang tekun dan rajin belajar. Berkat keuletan dan kemauannya yang keras, ia kemudian dipromosikan menjadi Asisten Sekretaris di perusahaan yang sama untuk wilayah Kepulauan Melayu.
Thomas Raffles baru mencantumkan nama “Stamford” di tengah namanya di kemudian hari, yakni ketika sosok berkarakter penuh warna ini berkembang menjadi pribadi yang sangat dihormati di kawasan Laut Cina Selatan. Sejarah hidupnya dimulai, ketika anak seorang pelaut ini dikirim ke Pulau Penang, Malaysia (1804).
Pada 1811, Thomas Stamford Raffles disertakan dalam rombongan ekspedisi ke Tanah Jawa sebagai Letnan Gubernur (Lieutenant Governor of Java), di bawah perintah Gubernur Jenderal (di India) Sir Gilbert Elliot Murray-Kynynmond (1751-1814) yang lebih dikenal dengan nama Lord Minto; hingga 1817. Lord Minto menyukai Raffles karena kemampuannya dalam berbahasa Melayu sehingga ia dikirim ke Malaka. Tidak lama setelah tiba di Tanah Jawa, Raffles mengatur ekspedisi militer melawan Belanda di Jawa.
Thomas Stamford Raffles mengadakan negosiasi dengan pihak Belanda untuk mencapai perdamaian dan mengatur berbagai ekspedisi kecil untuk menaklukkan sejumlah pangeran lokal, sekaligus mengambilalih Pulau Bangka untuk menjamin kekuasaan Inggris di daerah itu bila Jawa kembali ke dalam kekuasaan Belanda pasca-Perang Koalisi Keenam di Eropa.
Setelah Jawa dikembalikan kepada kolonial Belanda sebagai akibat Perang Napoleon, yang diatur oleh Perjanjian Anglo-Belanda (1814); Raffles kembali ke London (1815) karena mengidap penyakit tropis yang cukup parah, serta kesedihannya yang mendalam karena meninggalnya istri pertama yang dinikahinya pada 14 Maret 1805, Olive Marianne Devenish, di Jawa pada 26 November 1814 karena penyakit malaria.
Thomas Stamford Raffles pernah menjadi Gubernur Jenderal pada masa yang sangat singkat di Jawa. Selama kepemimpinannya (1811-1816), dia mengubah sistem tanam paksa (cultuur stelsel) yang diberlakukan kolonial Belanda dengan sistem kepemilikan tanah yang kemungkinan besar dipengaruhi oleh tulisan awal Dirk van Hogendorp (1761-1822). Dia pun menerapkan kebijakan landrente atau pajak bumi yang dilaksanakan berdasarkan hukum adat di Jawa. Prinsip yang digunakannya berdasarkan pada teori liberalisme, seperti dipraktikkan Inggris di India. Raffles menetapkan bahwa semua tanah adalah milik negara dan rakyat sebagai pemakai (penggarap) tanah wajib membayar sewa (berupa pajak bumi) kepada pemerintah. Pemimpin pribumi seperti sultan dan bupati yang tidak taat pada peraturan landrente, akan dipecat. Dia juga mengubah sistem berkendara di koloni Belanda menjadi sistem berkendara seperti di Inggris, yaitu di jalur kiri yang dipakai hingga sekarang.
Selain menerapkan kebijakan landrente, Thomas Stamford Raffles membagi Tanah Jawa ke dalam 16 karesidenan serta mengurangi jabatan bupati yang berkuasa. Kesultanan Banten dihapuskan, kedaulatan Kesultanan Cirebon harus diserahkan kepada kolonial Inggris, Sri Sultan Hamengkubuwono II (1750-1828) yang adalah Raja Kesultanan Yogyakarta karena bertentangan pendapat dengan Raffles, diasingkan ke Pulau Pinang (1812). Pengganti Sultan Sepuh—julukan Sri Sultan Hamengkubuwono II—adalah Sri Sultan Hamengkubuwono III (1769-1814), ayahanda dari Raden Mas Ontowiryo atau Pangeran Diponegoro (1785-1855).
Dengan diberlakukannya Konvensi London (13 Agustus 1814), bahwa semua wilayah yang pernah dikuasai Belanda harus dikembalikan oleh pihak Inggris. Kecuali Bangka, Belitung, dan Bengkulu yang diterima Inggris dari Sultan Najamuddin (Palembang). Raffles menerima konvensi itu yang sebenarnya tidak disetujuinya karena mengetahui kekayaan alam Hindia Belanda yang akan sangat menguntungkan pihak Inggris. Raffles pun kemudian ditarik kembali ke Inggris dan digantikan oleh John Fendall (1762-1825).
Pada 1818, Thomas Stamford Raffles kembali ke timur dan segera dipromosikan menjadi Gubernur Bengkulu (Bencoolen) yang sekarang dikenal sebagai Pulau Sumatera. Pada masa pemerintahannya di pesisir pantai barat Sumatera itu, Raffles melakukan banyak kegiatan penelitian flora dan fauna, yang baginya sangat menakjubkan. Dia menelusuri hutan di pedalaman Sumatera serta sebagian Pulau Jawa bersama para ahli binatang dan botani yang dipekerjakannya di luar misi imperialisme dagang yang ditugaskan Kerajaan Inggris. Eksotisme flora dan fauna di Tanah Jawa dan Sumatera, telah membuat hatinya tertambat.
Setahun masa pendudukannya di bagian barat Sumatera, Raffles kemudian menggagas proyek bernama “Singapore”. Proyek mercusuar ini adalah pelampiasan dari rasa kecewanya karena penyerahan Tanah Jawa kepada Belanda. Beberapa proyek botani dan arkeologinya di sana terputus. Pada 19 Januari 1819, dia menggagas penguasaan Pulau Singapura yang mengapung di Selat Malaka lewat perjanjian antara Temenggong Sri Maharaja dan Raffles mewakili Perusahaan Hindia Timur. Dalam perjanjian itu, Inggris diizinkan mendirikan pusat perdagangan di Singapura. Sebagai imbalannya, Temenggong Sri Maharaja akan dilindungi dari ancaman serangan Belanda dan orang Bugis. Raffles bersumpah menciptakan koloni baru yang meskipun kecil, akan jauh lebih maju daripada Tanah Jawa.
Sumpah Thomas Stamford Raffles ini kemudian terbukti. Pulau Sungapura melesat menjadi koloni perdagangan paling strategis dalam sejarah kolonialisme Inggris di Hindia Timur. Obsesi Raffles menghentikan laju Belanda dalam menguasai kepentingan Inggris di Hindia Timur berjalan baik. Komoditas perdagangan yang mengalir dari pesisir timur Sumatera tetap dapat mereka tampung tanpa harus menguasai pesisir tersebut secara teritorial.
Belakangan, Belanda yang lebih agresif dengan orientasi penguasaan teritorial, akhirnya berhasil mengendalikan Sumatera Timur yang kemudian berkembang menjadi sentra perkebunan terpenting di Asia Tenggara. Perdagangan di Selat Malaka pun menjadi panas. Inggris dan Belanda saling tuding tentang pelanggaran Traktat London yang mereka sepakati bersama pada 1824. Kedua imperialis Eropa itu saling berseteru memperebutkan “kue” perdagangan di Pulau Sumatera, yang disebut-sebut sebagai “tanah harapan”.
Dari Calcutta (India), Gubernur Jenderal Lord Hastings mengakui pendapat Raffles bahwa jalur laut yang paling penting, Selat Malaka, harus dilindungi jika ingin menjamin keamanan perdagangan Inggris di kawasan Laut Cina Selatan. Singapura yang terpilih sebagai frontliner di rute itu akhirnya berhasil menjadi pemimpin perdagangan di jalur tersibuk itu.
Di Bengkulu, Raffles mendirikan benteng paling besar kedua di Asia Pasifik setelah benteng utama di India. Dari pendirian benteng yang demikian kokoh dan multifungsi itu, dapat dipastikan Raffles memiliki cita-cita tinggi di kawasan ini. Sayang karena gejolak politik di Eropa, pada 1823 ia terpaksa meninggalkan Sumatera. Namun dia sempat mewujudkan obsesinya di Singapura dalam proyek botani dan satwa Hindia Timur, terutama di Sumatera. Imperialis Inggris ini menggagas pendirian Raffles Museum di Singapura untuk mendokumentasikan binatang dan tanaman khas yang terdapat di Jawa dan Sumatera.
Berdasarkan catatan dalam buku biografi Memoir of the Life and Public Services of Sir Thomas Stamford Raffles (1830), yang ditulis oleh istri kedua Thomas Stamford Raffles, Sophia Hull (1786-1858)—menikah dengan Raffles di Gereja St. Marylebone, London (22 Februari 1817), koleksi spesimen binatang yang dimiliki Raffles sangat banyak dan bervariasi.
Raffles dikenal sebagai pecinta ilmu biologi. Sekembalinya ke London, dia mendirikan London Zoo dan Zoological Society of London yang terkenal hingga kini di Inggris. Dia memberi nama sejumlah binatang dengan memakai nama Sumatera, di antaranya: Rhizomys sumatrensis (tikus bambu besar), Ardea sumatrana (Great-billed Heron), Sterna sumatrana (Black-naped Tern), Phaenicophaeus sumatranus (Chestnut-bellied Malkoha), Bubo sumatranus (Barred Eagle Owl), dan Corydon sumatranus (Dusky Broadbill).
Karena kerja kerasnya di bidang biologi, sederatan jenis tumbuhan dan binatang telah dinamai dengan menggunakan namanya (rafflesi). Di antaranya: Megalaima rafflesi (Red-crowned Barbet), Dinopium rafflesi (Olive-backed Woodpecker), dan Chaetodon rafflesi (Latticed Butterflyfish). Barangkali tumbuhan paling terkenal yang juga menggunakan namanya adalah Rafflesia arnoldii, sejenis tumbuhan parasit di pohon palem yang ditemukan Thomas Stamford Raffles di sekitar Bengkulu (Sumatera).
Thomas Stamford Raffles meninggal dunia sehari sebelum ulang tahunnya yang ke-45 (5 Juli 1826), atau hanya dua tahun sekembalinya dari Hindia Timur karena apoplexy atau stroke. Raffles dianggap sebagai salah seorang pelopor kajian Jawa, serta bukunya menjadi sumber gagasan Barat mengenai daerah tersebut dan sebagai titik awal pengkajian wilayah Timur.
Buku The History of Jawa ini bukan sekadar rekam jejak perjalanan Raffles di Hindia Belanda, terutama di Jawa dan Sumatera. Dia telah mengusahakan banyak hal seperti mengintroduksi otonomi terbatas, menghentikan perdagangan budak, mereformasi sistem pertanahan yang pernah diberlakukan pemerintah kolonial Belanda, melakukan penelitian mendalam atas sastra kuno Jawa, serta mendokumentasikan peninggalan arsitektur kuno seperti Candi Borobudur dan Candi Prambanan.
Buku The History of Java diterbitkan pertama kali pada 1817 dalam dua jilid besar (jilid I: 479 halaman, dan jilid II: 291 halaman), yang dilengkapi dengan ilustrasi gambar berwarna yang cukup mewah dan menarik pada masanya. Pada 1965, buku karya Thomas Stamford Raffles ini telah dicetak ulang oleh Oxford University Press, London (Inggris). Buku ini merupakan referensi utama tentang Tanah Jawa yang eksotik dan bersifat komprehensif.
Syafruddin Azhar adalah editor dan penulis serta peneliti pada Lembaga Pemerhati Kebijakan Publik (LPKP) Jakarta.

Monday, August 4, 2008

The Power of Israel in USA

Lobi Yahudi Pemerintahan Teroris

Judul buku : The Power of Israel in USA
Penulis : James Petras
Penerjemah : Retno Wulandari
Penerbit : Zahra, Jakarta
Edisi : 1, Januari 2008
Tebal buku : 336 hlm.

Terdapat gambaran paling mencengangkan dari kekuatan Yahudi (Israel) dalam membentuk kebijakan Amerika Serikat (AS) di wilayah Timur Tengah yang bertentangan dengan kepentingan perusahaan minyak raksasa. Gambaran itu ditunjukkan dalam kebijakan AS-Iran. Seperti dicatat Financial Times (18-19 Maret 2006), “Perusahaan minyak internasional menahan proyek multitriliun dolar di Republik Islam Iran, menimbang kemandekan diplomatik—ancaman AS secara ekonomi dan militer—atas program nuklir negara itu”. Satu pertanyaan yang selalu muncul adalah apakah “perang demi minyak” itu sama dengan “perang demi kepentingan perusahaan minyak raksasa”?
Berdasarkan laporan dari otoritas PBB, antara 30 Maret–12 April 2006, militer Israel telah meluncurkan 2.300 artileri, peluru meriam, dan 34 misil ke Jalur Gaza. Defense for Children International melaporkan, 4.000 bocah Palestina telah ditangkap dalam lima tahun terakhir (2001-2006), yang saat ini berada dalam penjara dengan siksaan kejam.
Setelah pembalasan oleh warga Palestina, militer Israel menangkap para ibu rumah tangga dan istri orang-orang yang ada dalam daftar “buron” yang dibuat pemerintah Israel. Mereka dijadikan sandera di pusat-pusat penahanan untuk memaksa para “buron” menyerah kepada otoritas militer negara Zionis itu. Masjid dirobohkan dan banyak warga Palestina beserta keluarganya dipaksa keluar dari rumah-rumah mereka. Sementara itu, tentara Israel mengobrak-abrik rumah mereka tanpa belas kasihan dan perikemanusiaan.
Namun demikian, tak satu pun ekspedisi pembunuhan kejam yang dilakukan para militer Israel itu dilaporkan oleh media massa, baik cetak maupun elektronik, seperti National Public Radio, atau dalam lembaran propagada Lobi Yahudi seperti Daily Alert. Tidak satu pun pemimpin AS atau Uni Eropa yang mengucapkan sepatah kata kritikan atas teror keji oleh bangsa Israel yang tengah berlangsung secara masif itu.
Tetapi, ketika kelompok Palestina mengakui aksi bom bunuh diri dan Hamas membela hak atas tindakan pembalasan itu, barulah seluruh elite politik di Washington (AS) dan media massa menghujat tindakan itu sebagai aksi terorisme. Secara eksklusif, pihak Lobi Yahudi (terutama mereka yang bercokol di negara Barat sebagai konglomerat media massa) memfokuskan propagandanya pada serangan tunggal dan sporadis oleh warga Palestina.
Seluruh lobi pro-Israel dan semua juru bicara di Kongres serta Eksekutif AS mengeluarkan propaganda kilat yang sukses membengkokkan kebijakan pemerintah AS atas blokade genosida Israel. Pejabat dan elite politik AS dilarang bertemu dengan semua unsur Hamas dalam kapasitas apa pun. Sementara itu, para diplomat AS menekan semua negara di Eropa, Arab, Asia, dan Amerika Latin agar bergabung dalam blokade total atas semua sumbangan kemanusiaan bagi masyarakat Palestina yang semakin menderita itu.
Semua “kebungkaman” dan ketidakadilan kemanusiaan yang sungguh nyata dari kalangan Barat (dan masyarakat Eropa) itu dilaporkan oleh James Petras (Profesor Emeritus Binghamton University, AS) dalam buku The Power of Israel in USA. Ini adalah buku yang membuka mata dunia, terutama bagi pejuang demokrasi dan penentang imperialisme.
James Petras adalah salah seorang dari segelintir individu—baik dari kalangan akademisi maupun bukan—yang berani mengkritisi lobi pro-Israel. Sebagaimana disampaikan oleh salah seorang intelektual, penulis, dan jurnalis terkemuka Israel, Israel Shamir, Ia (Petras) telah memulai langkah dramatis yang sangat berani, di mana Noam Chomsky dan Zunes berhenti. Secara kritis dan pedas, Petras “menghujat” Chomsky sebagai ilmuwan yang tidak punya rasa malu pada kualitas intelektualnnya. Chomsky bersedia “menutup” mulut dan penanya demi eksistensi ide megalomania tentang “Israel Raya”. Padahal, kata Petras, semua orang di dunia mengenal dan mengetahui reputasi kejujuran intelektual Noam Chomsky.
Petras mengatakan, orang sekaliber Chomsky pun “tunduk” kepada Lobi Yahudi pro-Israel. Padahal, Chomsky dianggap sebagai pemimpin intelektual AS oleh para cendekiawan dunia. Sebagian besar karena kritik vokalnya atas kebijakan luar negeri AS dan beragam ketidakadilan yang diakibatkan oleh kebijakan tersebut. Namun semua kelebihan analisis itu sama sekali tidak ada ketika mendiskusikan formulasi kebijakan luar negeri AS di Timur Tengah, terutama peran kelompok kebijakan luar negeri AS di Timur Tengah. Juga peran Lobi Yahudi pro-Israel dan para pendukung Zionis mereka dalam pemerintahan. (hlm. 300)
Dalam buku yang luar biasa ini, Petras memuntahkan kemuakannya tentang ide megalomania “Israel Raya” yang kini telah membelenggu denyut kehidupan bangsa Amerika. Dia pun mengungkap skandal spionase Israel terhadap AS. Bagaimana kekuatan Zionis dan Neokonservatif berhasil membentuk pemerintahan AS menjadi “pemerintahan teroris” yang sesungguhnya; rekayasa ancaman nuklir Iran, serta rekayasa kartun Nabi di koran Denmark, Jyllands-Posten untuk menumbuhkan kebencian di antara kaum muslim dan dunia Barat.
James Petras, lewat bukunya ini menganalisis perihal mesin politik yang bertanggung jawab atas begitu banyak penderitaan masyarakat di Timur Tengah. Ini merupakan sebagian dari kekuatan dan pengaruh Israel dan Lobi Yahudi dalam memengaruhi kebijakan AS tentang kawasan di Timur Tengah. Buku The Power of Israel in USA adalah analisis provokatif tentang persoalan serius yang harus didiskusikan dan diperdebatkan secara luas.

(Syafruddin Azhar adalah kolumnis, pengamat perbukuan, dan peneliti pada Lembaga Pemerhati Kebijakan Publik (LPKP), Jakarta)

The Name of the Rose


Umberto Eco dan Labirin Konflik

Judul buku : The Name of the Rose
Penulis : Umberto Eco
Penerjemah : Nin Bakdi Soemanto
Penerbit : Bentang Pustaka, Yogyakarta
Edisi : I, Maret 2008
Tebal buku : xxx + 624 hlm.

1980. Umberto Eco merilis novelnya yang terkenal, Il nome della rosa. Sebuah misteri intelektual yang mengombinasikan semiotika struktural dalam fiksi, analisis Biblical (yang berhubungan dengan Kitab Injil), studi Abad Pertengahan, filsafat, sejarah, dan teori sastra.
1983. Novel hebat ini diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul: The Name of the Rose. Sebuah karya intelektual yang luar biasa imajinatif dan penuh kreatif. Novel sejenis ini tak banyak ditulis oleh orang hebat. Satu di antara makhluk genius yang langka itu adalah Umberto Eco, yang disebut-sebut memiliki “misteri intelektual”.
Kakeknya menyebutkan bahwa Umberto Eco adalah seorang bayi yang terlantar, dan bahwa ia diberi nama Eco oleh seorang pegawai sipil yang penuh kreatif. Diduga, nama tersebut merupakan akronim dari adagium (ungkapan) “ex caelis oblatus”, tawaran dari surga. Eco sangat terobsesi oleh kasih sayang neneknya, dan seperti Jorge Luis Borges (1899-1986) atau Gabriel García Márquez (lahir: 1928), dia menyatakan bahwa dirinya mengembangkan kesukaannya terhadap hal-hal yang absurd dari selera humor neneknya yang ganjil.
Umberto Eco adalah novelis kelahiran Alessandria, sebuah kota kecil di sebelah timur Turin yang berjarak sekitar 60 mil di sebelah selatan Milan dan di bagian barat laut Propinsi Piedmont (Italia), pada 5 Januari 1932. Selain dikenal sebagai kritikus sastra dan budaya, ia juga dikenal sebagai ahli Abad Pertengahan (Italian Medievalist) dan seorang filsuf terkemuka. Eco telah mencapai status ikonik dalam studi kebudayaan. Novelnya diwarnai penguasaannya atas semiotika (semiotics). Dia adalah salah satu tokoh utama bidang ilmu ini.
Obsesi Umberto Eco dalam menekuni pengetahuan yang terpinggirkan tampak dalam limpahan data pada novelnya The Name of the Rose. Cakupan tulisan dalam novel ini sangat luas, mulai dari budaya pop (pop cultur) hingga filsafat; dari People’s Temple hingga Thomas Aquinas (1225-1274), dari Casablanca hingga Roland Barthes (1915-1980). Eco memiliki wawasan yang mumpuni dan penuh dengan ide-ide yang brilian. Membaca Eco seperti mengajari kita tentang pentingnya observasi dan kritisisme, karena kedua topik kembar inilah yang mengistimewakan semua umat manusia yang berpikir.
Umberto Eco lewat novelnya The Name of the Rose, bercerita tentang misteri pembunuhan yang diseting di sebuah biara Benediktin Italia (1327) di akhir Abad Pertengahan. Sejarah biara Italia di Abad Pertengahan itu dilukiskan penuh dengan konflik dan intrik yang melatari novel ini. Latar belakangnya memang tidak dikisahkan secara runtut. Banyak tokoh penuh intrik berperan dalam konflik yang juga sangat beragam. Alur penulisannya disajikan secara detail dan terperinci, sehingga tampak rumit dan berat.
Sejarah, sastra, filsafat, dan cerita detektif menyatu dalam novel The Name of the Rose dengan tokoh utamanya: William, Adso, Abo, Jorge, Salvatore, dan Ubertino. Setingnya dimulai dari pertemuan antara utusan Fransiskan dan Paus di sebuah biara, yang akan membahas ajaran Fransiskan yang dianggap menyimpang oleh Gereja Katolik pada masa itu. Namun sebelum pertemuan itu berlangsung, terjadi serangkaian konspirasi dan skandal pembunuhan misterius. Dikhawatirkan tragedi ini bisa mengganggu proses pertemuan itu.
Latar belakang penulisan yang ruwet (njlimet) seperti ini merupakan ciri khas profesor semiotika ini di hampir seluruh bagian dari novel-novelnya. Umberto Eco juga menulis novel laris (best seller) lainnya seperti Foucault’s Pendulum (Il pendolo di Foucault, 1988), The Island of the Day Before (L’isola del giorno prima, 1994), Baudolino (2000), dan The Mysterious Flame of Queen Loana (La Misteriosa Fiamma della Regina Loana, 2004).
Kekhasan atau keunikan novel karya Umberto Eco acap kali bercerita dengan detail yang rumit serta mengeksplorasi ketegangan dan intrik. Apalagi menyangkut semiotika, perlambang yang ada pada gambar yang menghiasi gereja atau gambar yang dilukis di pinggir buku literatur, bahkan pada mimpi. Eco menggambarkan detail yang tidak wajar tentang makhluk aneh yang membawa pesan tertentu. Perdebatan tentang tawa, tentang kemiskinan, tentang kaum bidah di kalangan umat Nasrani, dan mimpi ajaib si Adso.
Detail penggambaran tragedi pembunuhan beruntun terhadap para biarawan di suatu kompleks biara, disajikan dengan sangat menarik. Alur ceritanya berjalan penuh kejutan dan memikat perhatian pembaca, dengan tokoh yang masing-masing memiliki rahasia dan kepentingan pribadi. William dan Adso berusaha meraba-raba dalam ‘kegelapan’ tentang rahasia dan kepentingan pribadi masing-masing tokoh itu untuk menemukan titik terang dari misteri yang meliputi pembunuhan beruntun yang penuh rahasia.
Ini bukan kisah detektif biasa yang bisa ditebak berdasarkan fakta yang ada. Fakta dan data petunjuk tak dapat menebak akhir dari pengarusutamaan (mainstream) fiksi dalam cerita. Umberto Eco justru mengakhiri kisah penuh konfliknya dalam The Name of the Rose dengan klimaks yang menggemparkan dan juga mencengangkan. Diawali dari pengembaraan yang sepi dan diakhiri dengan kehancuran yang juga sepi. Secara konsisten, Eco menggunakan logika abduksi sebagai metode pada novel The Name of the Rose ini.
Novel karya Umberto Eco ini dibagi dalam tujuh bab. Tiap-tiap bab diceritakan secara detail pengaruh dan penyebab banyak kejadian dalam biara, di mana penggunaan waktu pun dibagi dalam waktu yang berlaku di akhir Abad Pertengahan di Italia.
Garis besar fiksi novel ini adalah perjalanan seorang calon biarawan yang menemani gurunya dalam sebuah petualangan ala biarawan. Jika pembaca terbiasa dengan gaya cerita Indiana Jones (ikon petualang era 1980-an), maka akan sedikit kecewa karena “petualangan” Umberto Eco adalah “petualangan intelektual”. Senjata yang mematikan adalah argumentasi yang membuat pihak lawan terdiam, malu, dan mengalah.
Jika ada “petualangan”, maka ada “hal penting” yang diperebutkan. Dalam cerita ini, “hal penting” tersebut bukanlah barang mahal seperti berlian atau harta benda berharga lainnya, tetapi perebutan kekuasaan perpustakaan. Perpustakaan menjadi tema utama dan biarawan menjadi aktor utama bagi “petualangan” ala Umberto Eco. Perpustakaan digambarkan memiliki misteri tersembunyi, penyebab terjadinya pembunuhan yang cerdik.
Membaca novel Umberto Eco ini membutuhkan kesabaran dan pikiran yang jernih untuk memahami pesan yang disampaikan. Satu hal yang menarik adalah, bahwa Eco tidak menyebutkan satu kata pun tentang rose (mawar) dalam novel ini, sebagaimana judulnya The Name of the Rose. Saya kira ini sebuah “misteri intelektual” yang melekat pada Eco. Namun, di akhir cerita (hlm. 583), Eco menulis: “stat rosa pristina, nomine nomina nuda tenemus”, yang artinya kira-kira: bunga mawar telah ada jauh sebelum nama “mawar: itu ada. Namun kita selalu berpegang pada namanya belaka dan mengesampingkan bunga mawar itu sendiri. Sebuah adagium penuh makna yang membuktikan labirin fiksi yang menyatu dengannya.

(Syafruddin Azhar adalah kolumnis dan pemerhati buku, tinggal di Jakarta)