Monday, August 4, 2008

The Name of the Rose


Umberto Eco dan Labirin Konflik

Judul buku : The Name of the Rose
Penulis : Umberto Eco
Penerjemah : Nin Bakdi Soemanto
Penerbit : Bentang Pustaka, Yogyakarta
Edisi : I, Maret 2008
Tebal buku : xxx + 624 hlm.

1980. Umberto Eco merilis novelnya yang terkenal, Il nome della rosa. Sebuah misteri intelektual yang mengombinasikan semiotika struktural dalam fiksi, analisis Biblical (yang berhubungan dengan Kitab Injil), studi Abad Pertengahan, filsafat, sejarah, dan teori sastra.
1983. Novel hebat ini diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul: The Name of the Rose. Sebuah karya intelektual yang luar biasa imajinatif dan penuh kreatif. Novel sejenis ini tak banyak ditulis oleh orang hebat. Satu di antara makhluk genius yang langka itu adalah Umberto Eco, yang disebut-sebut memiliki “misteri intelektual”.
Kakeknya menyebutkan bahwa Umberto Eco adalah seorang bayi yang terlantar, dan bahwa ia diberi nama Eco oleh seorang pegawai sipil yang penuh kreatif. Diduga, nama tersebut merupakan akronim dari adagium (ungkapan) “ex caelis oblatus”, tawaran dari surga. Eco sangat terobsesi oleh kasih sayang neneknya, dan seperti Jorge Luis Borges (1899-1986) atau Gabriel García Márquez (lahir: 1928), dia menyatakan bahwa dirinya mengembangkan kesukaannya terhadap hal-hal yang absurd dari selera humor neneknya yang ganjil.
Umberto Eco adalah novelis kelahiran Alessandria, sebuah kota kecil di sebelah timur Turin yang berjarak sekitar 60 mil di sebelah selatan Milan dan di bagian barat laut Propinsi Piedmont (Italia), pada 5 Januari 1932. Selain dikenal sebagai kritikus sastra dan budaya, ia juga dikenal sebagai ahli Abad Pertengahan (Italian Medievalist) dan seorang filsuf terkemuka. Eco telah mencapai status ikonik dalam studi kebudayaan. Novelnya diwarnai penguasaannya atas semiotika (semiotics). Dia adalah salah satu tokoh utama bidang ilmu ini.
Obsesi Umberto Eco dalam menekuni pengetahuan yang terpinggirkan tampak dalam limpahan data pada novelnya The Name of the Rose. Cakupan tulisan dalam novel ini sangat luas, mulai dari budaya pop (pop cultur) hingga filsafat; dari People’s Temple hingga Thomas Aquinas (1225-1274), dari Casablanca hingga Roland Barthes (1915-1980). Eco memiliki wawasan yang mumpuni dan penuh dengan ide-ide yang brilian. Membaca Eco seperti mengajari kita tentang pentingnya observasi dan kritisisme, karena kedua topik kembar inilah yang mengistimewakan semua umat manusia yang berpikir.
Umberto Eco lewat novelnya The Name of the Rose, bercerita tentang misteri pembunuhan yang diseting di sebuah biara Benediktin Italia (1327) di akhir Abad Pertengahan. Sejarah biara Italia di Abad Pertengahan itu dilukiskan penuh dengan konflik dan intrik yang melatari novel ini. Latar belakangnya memang tidak dikisahkan secara runtut. Banyak tokoh penuh intrik berperan dalam konflik yang juga sangat beragam. Alur penulisannya disajikan secara detail dan terperinci, sehingga tampak rumit dan berat.
Sejarah, sastra, filsafat, dan cerita detektif menyatu dalam novel The Name of the Rose dengan tokoh utamanya: William, Adso, Abo, Jorge, Salvatore, dan Ubertino. Setingnya dimulai dari pertemuan antara utusan Fransiskan dan Paus di sebuah biara, yang akan membahas ajaran Fransiskan yang dianggap menyimpang oleh Gereja Katolik pada masa itu. Namun sebelum pertemuan itu berlangsung, terjadi serangkaian konspirasi dan skandal pembunuhan misterius. Dikhawatirkan tragedi ini bisa mengganggu proses pertemuan itu.
Latar belakang penulisan yang ruwet (njlimet) seperti ini merupakan ciri khas profesor semiotika ini di hampir seluruh bagian dari novel-novelnya. Umberto Eco juga menulis novel laris (best seller) lainnya seperti Foucault’s Pendulum (Il pendolo di Foucault, 1988), The Island of the Day Before (L’isola del giorno prima, 1994), Baudolino (2000), dan The Mysterious Flame of Queen Loana (La Misteriosa Fiamma della Regina Loana, 2004).
Kekhasan atau keunikan novel karya Umberto Eco acap kali bercerita dengan detail yang rumit serta mengeksplorasi ketegangan dan intrik. Apalagi menyangkut semiotika, perlambang yang ada pada gambar yang menghiasi gereja atau gambar yang dilukis di pinggir buku literatur, bahkan pada mimpi. Eco menggambarkan detail yang tidak wajar tentang makhluk aneh yang membawa pesan tertentu. Perdebatan tentang tawa, tentang kemiskinan, tentang kaum bidah di kalangan umat Nasrani, dan mimpi ajaib si Adso.
Detail penggambaran tragedi pembunuhan beruntun terhadap para biarawan di suatu kompleks biara, disajikan dengan sangat menarik. Alur ceritanya berjalan penuh kejutan dan memikat perhatian pembaca, dengan tokoh yang masing-masing memiliki rahasia dan kepentingan pribadi. William dan Adso berusaha meraba-raba dalam ‘kegelapan’ tentang rahasia dan kepentingan pribadi masing-masing tokoh itu untuk menemukan titik terang dari misteri yang meliputi pembunuhan beruntun yang penuh rahasia.
Ini bukan kisah detektif biasa yang bisa ditebak berdasarkan fakta yang ada. Fakta dan data petunjuk tak dapat menebak akhir dari pengarusutamaan (mainstream) fiksi dalam cerita. Umberto Eco justru mengakhiri kisah penuh konfliknya dalam The Name of the Rose dengan klimaks yang menggemparkan dan juga mencengangkan. Diawali dari pengembaraan yang sepi dan diakhiri dengan kehancuran yang juga sepi. Secara konsisten, Eco menggunakan logika abduksi sebagai metode pada novel The Name of the Rose ini.
Novel karya Umberto Eco ini dibagi dalam tujuh bab. Tiap-tiap bab diceritakan secara detail pengaruh dan penyebab banyak kejadian dalam biara, di mana penggunaan waktu pun dibagi dalam waktu yang berlaku di akhir Abad Pertengahan di Italia.
Garis besar fiksi novel ini adalah perjalanan seorang calon biarawan yang menemani gurunya dalam sebuah petualangan ala biarawan. Jika pembaca terbiasa dengan gaya cerita Indiana Jones (ikon petualang era 1980-an), maka akan sedikit kecewa karena “petualangan” Umberto Eco adalah “petualangan intelektual”. Senjata yang mematikan adalah argumentasi yang membuat pihak lawan terdiam, malu, dan mengalah.
Jika ada “petualangan”, maka ada “hal penting” yang diperebutkan. Dalam cerita ini, “hal penting” tersebut bukanlah barang mahal seperti berlian atau harta benda berharga lainnya, tetapi perebutan kekuasaan perpustakaan. Perpustakaan menjadi tema utama dan biarawan menjadi aktor utama bagi “petualangan” ala Umberto Eco. Perpustakaan digambarkan memiliki misteri tersembunyi, penyebab terjadinya pembunuhan yang cerdik.
Membaca novel Umberto Eco ini membutuhkan kesabaran dan pikiran yang jernih untuk memahami pesan yang disampaikan. Satu hal yang menarik adalah, bahwa Eco tidak menyebutkan satu kata pun tentang rose (mawar) dalam novel ini, sebagaimana judulnya The Name of the Rose. Saya kira ini sebuah “misteri intelektual” yang melekat pada Eco. Namun, di akhir cerita (hlm. 583), Eco menulis: “stat rosa pristina, nomine nomina nuda tenemus”, yang artinya kira-kira: bunga mawar telah ada jauh sebelum nama “mawar: itu ada. Namun kita selalu berpegang pada namanya belaka dan mengesampingkan bunga mawar itu sendiri. Sebuah adagium penuh makna yang membuktikan labirin fiksi yang menyatu dengannya.

(Syafruddin Azhar adalah kolumnis dan pemerhati buku, tinggal di Jakarta)

No comments:

Post a Comment