Wednesday, December 31, 2008

Buku Ke-3.154: Bisa!


Setumpuk buku memenuhi ruang pribadi saya, di atas meja kerja, menumpuk di rak-rak buku di ruang perpustakaan pribadi, di lantai kamar tidur, di atas meja tempat berkumpul keluarga, bahkan di atas televisi atau meja komputer. Di antara sejumah buku-buku itu, ada yang telah selesai dibaca, separuh selesai dibaca, ditunda membacanya, bahkan saya tak ingin melanjutkan untuk membacanya—dengan berbagai alasan.
Buku karya Joseph E. Stiglitz, Globalization and It’s Discontents (Penguin Books, 2002), merupakan buku koleksi pustaka pribadi saya yang ke-3.154. Buku ini adalah hadiah terindah dari sahabat, Filda Yusgiantoro, yang membawanya sebagai ole-ole dari Amerika Serikat. Untuk itu saya menyampaikan terima kasih sekali lagi atas persahabatan ini. Semoga hajatan nanti pada Januari 2009 berjalan lancar. Salam buat Mas Alex, selamat menempuh hidup baru…
Di kalangan mereka yang menggemari “nomor cantik” plat nomor polisi untuk kendaraan (sepeda motor atau mobil), angka 3154 acapkali dibaca sebagai “BISA”. Andaikan saja metode baca ini benar dalam kaidah bahasa Indonesia, maka jumlah koleksi buku pribadi hingga akhir Desember 2008 yang ke-3.154 (Globalization and It’s Discontents) ini boleh juga dibaca: Bisa!
Makna kata “bisa” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Balai Pustaka, 2001) dapat berarti: Pertama, (v) mampu (kuasa melakukan sesuatu); dapat. Kedua, 1. (n) zat racun yang menyebabkan luka, busuk, atau mati bagi sesuatu yang hidup (biasanya terdapat pada binatang); 2. (ki) sesuatu yang buruk, yang dapat merusakkan akhlak manusia atau masyarakat.
Di luar konteks makna kata “bisa” yang saling bertolak belakang ini, saya ingin mengambil sisi positifnya saja. Saya tak ingin menjadi “racun” bagi dunia ini, atau sesuatu yang buruk yang dapat merusakkan akhlak manusia atau masyarakat. Jumlah koleksi buku ke-3.154 dan kata bisa ini menjadi inspirasi bagi tata hidup saya, ke mana arah menuju. Filosofinya, saya harus bisa mengarungi hidup ini dengan baik, sukses, dan selamat. Bisa melakukan banyak hal yang bermanfaat bagi diri pribadi, keluarga, dan masyarakat sekitar. Harus bisa, bisa, dan bisa!
Selama dua bulan terakhir (November-Desember 2008) ini saya telah membaca 19 judul buku dari beragam topik. Buku-buku ini telah menjadi ‘penghuni’ di lemari buku perpustakaan pribadi saya. Inilah buku yang dibaca selama November-Desember 2008 ini:

-Globalization and It’s Discontents (Joseph Stiglitz, Penguin Books, 2002)
-Fitnah: Menjawab Provokasi Geert Wilders dengan Cerdas (Musa Kazhim & Alfian Hamzah, Hikmah, 2008)
-Tuhan & Hal-hal yang Tak Selesai (Goenawan Mohamad, Kata Kita, 2007)
-Tafsir Politik (Michael T. Gibbons, Qalam, 2002)
-Pembebasan Perempuan (Asghar Ali Engineer, LKiS, 2003)
-Making Globalization Work (Joseph Stiglitz, Mizan, 2007)
-The Dan Brown Companion: The Truth Behind the Fiction (Mainstream Publishing, 2006)
-Dialektika Kesadaran Perspektif Hegel (Martin Heidegger, Ikon Teralitera, 2002)
-Perihal Demokrasi: Menjelajahi Teori dan Praktek Demokrasi Secara Singkat (Robert A. Dahl, YOI, 2001)
-Teori Sosiologi Modern (George Ritzer & Douglas J. Goodman, Kencana, 2004)
-Hong Kong in the Mouth of the Dragon (Pierre Cayrol, Charles E. Tuttle Company, 1998)
-Pertahanan Negara dan Postur TNI Ideal (Connie Rahakundini Bakrie, YOI, 2007)
-Things Fall Apart (Chinua Achebe, Hikmah, 2007)
-Death Dance (Linda Fairstein, Pocket Star Books, 2006)
-In the Belly of the Green Bird: The Triumph of the Martyrs in Iraq (Nir Rosen, Free Press, 2006)
-Kamus Lengkap Pemikiran Sosial Modern (William Outhwaite, ed., Kencana, 2008)
-Pertempuran 10 November 1945: Kesaksian & Pengalaman Seorang Aktor Sejarah (Bung Tomo, Visimedia, 2008)
-Renungan Ida Arimurti: Membuat Hidup Jadi Lebih Berarti (Ida Arimurti, Hikmah, 2008)
-Syair untuk Sahabat (Yudhi F. Oktaviadhi, Gramedia Pustaka Utama, 2008).

Di antara 19 buku yang dibaca ini, antara lain diperoleh dengan cara membeli, hadiah dari sahabat, dan menerima kiriman (gratis) dari beberapa penerbit buku: Hikmah (Jakarta), Mizan (Bandung), Ikon Teralitera (Surabaya), Visimedia (Jakarta), Prenada Media (Jakarta), Gramedia Pustaka Utama (Jakarta), Qalam (Yogyakarta), dan LKiS (Yogyakarta). Saya menyampaikan terima kasih atas kerja sama yang telah terjalin selama rentang waktu yang cukup panjang ini.
Buku yang saya rekomendasikan untuk dibaca segera adalah: (1) Globalization and It’s Discontents, (2) Kamus Lengkap Pemikiran Sosial Modern, (3) Tuhan & Hal-hal yang Tak Selesai, (4) Pertahanan Negara dan Postur TNI Ideal, dan (5) Syair untuk Sahabat.
Akhirnya, selamat membaca, semoga tercerahkan...

Saturday, December 20, 2008

Kisah Pembunuhan Paling Sadis


Judul buku: In Cold Blood
Penulis: Truman Capote
Penerbit: Bentang Pustaka, Yogyakarta
Edisi: I, 2008
Tebal buku: 474 hlm.
Buku kesembilan karya penulis Truman Capote ini di kalangan pemerhati sastra sering disebut sebagai sebuah bentuk sastra baru: novel nonfiksi. Truman Capote yang lahir pada 30 September 1942 ini memerlukan waktu tidak kurang dari enam tahun untuk menyelesaikan In Cold Blood ini.
Aslinya, buku ini pertama kali terbit di Amerika Serikat (AS) pada 1965. Terjemahan bahasa Indonesianya oleh penerbit Bentang berdasarkan buku yang sama, tetapi edisi 2002. Di negaranya, buku ini termasuk salah satu buku terbaik sepanjang masa.
In Cold Blood adalah buku yang dibuat berdasarkan kisah nyata yang terjadi pada 16 November 1959 di Negara Bagian Kansas, AS.
Satu keluarga pemilik pertanian ditemukan tewas dengan kondisi mengenaskan di sebuah desa kecil, Holcomb. Mereka adalah Mr. Herbert Clutter beserta istri dan kedua orang anaknya. Keempat korban malang ini dibantai secara sadis di dalam rumah mereka sendiri. Sherif setempat menyimpulkan, bahwa motif pembunuhan tersebut adalah perampokan. Tetapi apakah benar demikian jika melihat nilai harta yang berhasil digondol kabur si pelaku pembunuhan itu hanya sebesar US$ 42 saja.
Peristiwa itu tercatat sebagai salah satu pembunuhan paling sadis di Kansas. Tak membutuhkan waktu terlalu lama, para penyelidik yang dipimpin oleh detektif Dewey ahirnya berhasil menggulung para pelakunya, Richard “Dick” Hickock dan Perry Smith. Para juri di pengadilan kemudian sepakat menjatuhkan hukuman gantung bagi mereka berdua.
Sebagai penggemar kisah suspens dan detektif, bagian paling menarik menurut saya adalah ketika kedua cecunguk ini diinterogasi. Kita seolah-olah diajak serta meneropong benak para pembunuh ini; mengungkap masa lalu dan latar belakang psikologis keduanya. Secara detail Capote menceritakan kehidupan Perry dan Dick yang pada dasarnya tidak bahagia. Mereka adalah anak-anak keluarga miskin broken home yang kurang kasih sayang.
Penelusuran ke masa lalu ini menjadi memikat sebab ditulis dengan penuh ketelitian, berimbang, dan emosional... Perlahan-lahan rasa kasihan dan simpati saya timbul kepada kedua kriminal ini. Meskipun ini sungguh-sungguh sebuah kisah nyata, namun dengan cerdik Capote berhasil membuatnya bagaikan sebuah novel fiksi. Tokoh-tokohnya hadir dengan karakter yang kuat, melekat terus dalam ingatan pembacanya.
Motif mereka membunuh semata-mata karena uang. Kabar tentang Clutter pertama kali mereka dengar di penjara Lansing dari mulut Floyd Wells, teman satu sel Dick. Wells bercerita bahwa sebelum dipenjara ia pernah bekerja pada Mr.Clutter. Wells yakin Mr. Clutter adalah seorang kaya raya dan pasti memiliki brankas di suatu tempat di rumahnya. Dick mencatat semua ocehan Wells dalam otaknya, lengkap dengan “gambar” denah rumah Mr. Clutter. Dick sesumbar bahwa jika ia bebas dari Lansing ia akan merampok Mr. Clutter demi lembaran dolar di brankasnya.
Wells tak pernah menduga Dick akan benar-benar menjalankan rencananya. Ia mengajak serta Perry Smith, seorang pemuda keturunan Indian yang menggemari sastra yang juga dikenalnya di penjara Lansing. Lewat informasi dan “kesaksian” Wells ini, sherif akhirnya berhasil menangkap Dick dan Perry.
Pada bagian awal cerita, saya agak direpotkan dengan kalimat panjang (berikut anak kalimat yang banyak pula, mengingatkan saya pada alm. Romo Mangun) Capote. Tetapi, lambat-laun, setelah bisa “menyesuaikan diri” dan masuk ke dalam alurnya, justru saya menemukan kenikmatan tersendiri selama membacanya dan tak ingin berhenti sampai terungkap misteri yang menyelimuti kisah kelam ini.
Capote melengkapi bukunya dengan berbagai bahan dan data yang diperolehnya dari berbagai sumber, baik berupa catatan resmi atau pun hasil wawancara dengan semua orang yang terlibat langsung. Konon ia dibantu oleh sahabatnya, Harper Lee (penulis novel keren To Kill A Mockingbird).
Eksekusi hukuman mati bagi Perry dan Dick baru telaksana pada tengah malam 14 April 1965. Mereka digantung di Lansing, Kansas setelah gagal melakukan berbagai upaya pembatalan hukuman mati lewat pengadilan banding dan Mahkamah Agung Amerika Serikat. Empat bintang dari saya. (Endah Sulwesi, penikmat sastra, tinggal di Jakarta)
Link Endah Sulwesi: http://perca.multiply.com/reviews/item/24

Monday, December 8, 2008

Siapa Perusak Ekonomi Global?


Judul buku : Globalization and It’s Discontents
Penulis : Joseph Stiglitz
Penerbit : Penguin Books, England
Edisi : I, 2002
Tebal buku : xxii + 288 hlm.

Jika pertanyaan “Siapa perusak ekonomi global” ditujukan kepada Joseph Stiglitz, pemenang Hadiah Nobel bidang Ekonomi (2001) dan mantan Ketua Tim Ekonom Bank Dunia, yang juga pernah menjadi Ketua Dewan Penasihat Ekonomi Presiden Bill Clinton; bisa dipastikan dia akan menjawab lantang, “Amerika dan lembaga keuangan internasional!”.

Itulah yang ingin ditegaskan Joe Stiglitz dalam buku bestseller-nya, Globalization and It’s Discontents. Buku dengan analisis tajam dan dalam ini menjelaskan begitu banyak kelemahan dari kebijakan ekonomi global, yang pada akhirnya terbukti secara nyata melalui krisis ekonomi global yang sedang melanda dunia sekarang ini.

Berdasarkan pengalamannya selama berada di Gedung Putih dan di Bank Dunia, Joe Stiglitz secara peka menggambarkan begitu banyak upaya yang dilakukan lembaga keuangan global dalam proses globalisasi itu telah menjatuhkan beberapa negara yang sedang mengalami krisis finansial yang seharusnya mereka—lembaga finansial dunia seperti IMF dan Bank Dunia—bantu. Inilah mengapa banyak analis keuangan global membuktikan “salah urus” yang dilakukan lembaga keuangan internasional dalam proses globalisasi.

Karier akademik Joe Stiglitz yang cemerlang terutama selama berada di lingkungan dalam Washington DC, setidaknya telah membentuk dirinya untuk bertindak secara profesional. Sebelum akhirnya ‘terjerumus’ dalam Gedung Putih, dia intens dalam penelitian dan menulis tentang abstraksi ekonomi matematika—membantu mengembangkan cabang ilmu ekonomi yang sekarang disebut Ilmu Ekonomi Informasi—serta berbagai topik ekonomi terapan lainnya seperti ekonomi publik, ekonomi pembangunan, dan kebijakan moneter.

Lebih dari 25 tahun lamanya, Joe Stiglitz telah menulis berbagai topik kebijakan ekonomi seperti kepailitan, corporate governance, dan keterbukaan terhadap akses informasi (para ekonom menyebutnya sebagai transparansi). Beberapa topik kajian ekonomi ini, termasuk transisi dari sistem ekonomi komunis ke sistem ekonomi pasar, merupakan isu yang sangat penting pada saat mulainya krisis keuangan global yang terjadi pada 1997 lalu.

Krisis ekonomi global yang dipicu oleh krisis keuangan (2008) yang melanda perekonomian Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Presiden George W. Bush, yang kemudian berimbas kepada perekonomian global ini tidak lepas dari apa yang pernah diperingatkan secara keras dan lantang oleh Joe Stiglitz semenjak dua dasawarsa silam.

Lewat karya fenomenalnya, Globalization and It’s Discontents, Joe Stiglitz menuduh Amerika sebagai “penjahat utama” terjadinya krisis ekonomi global. Dia pun menuduh negara Barat bersikap “munafik” karena telah memaksa negara miskin di dunia untuk menghapuskan hambatan perdagangan, tetapi mereka—negara Barat—tetap memertahankan hambatan perdagangan mereka sendiri, mencegah negara berkembang mengekspor hasil pertanian mereka dan akibatnya mengurangi pendapatan ekspor yang sangat mereka butuhkan.

“The critics of globalization accuse Western countries of hypocrisy, and the critics are right. The Western countries have pushed poor countries to eliminate trade berriers, but kept up their own barriers, preventing developing countries from exporting their agricultural products and so depriving them of desperately needed export income. It not only hurt the developing countries; it also cost Americans, both as consumers, in the higher prices they paid, and as taxpayers, to finance the huge subsidies, billions of dollars.” (hlm. 6-7)

Inilah di antara kecaman dan ketidaksetujuan Joe Stiglitz pada kebijakan globalisasi perdagangan yang menurutnya tidak adil itu. Baginya, Amerika bersama beberapa negara Barat telah berlaku munafik dan mengabaikan kemiskinan—akibat globalisasi—yang dialami negara berkembang yang sungguh ironi itu. Padahal, kebijakan globalisasi ekonomi ini sejatinya dimaksudkan untuk menyejahterakan umat manusia di seluruh dunia dan mengurangi kemiskinan global. Alih-alih menghasilkan apa yang direncanakan semula, kebijakan ini justru semakin mempermiskin orang-orang yang hidup di negara Dunia Ketiga.

Karena itu, apa pun pendapat kita tentang keterlibatan Joe Stiglitz dalam lembaga donor internasional (seperti Bank Dunia), yang dituduhnya juga sebagai “biang kerok” proses pemiskinan global, pembaca akan terpikat oleh pandangannya yang begitu tajam dan terpercaya, yang mengusung agenda reformasi untuk menata kembali globalisasi itu.

Buku Globalization and It’s Discontents ini direkomendasikan sebagai bacaan wajib bagi mereka yang peduli terhadap masa depan, yang percaya bahwa dunia yang bermoral dapat diciptakan, dan yang ingin mengalihkan pembenturan antara kaum miskin dan kaya. Buku ini bagaikan cerita perang dari dalam dinding Gedung Putih dan Bank Dunia, pengakuan dari seorang ekonom yang berpengaruh, yang memiliki kesadaran politik dan nalar yang sehat.

Sejatinya, globalisasi sekarang ini tidak berpihak kepada kaum miskin di dunia. Ia (globalisasi) tidak bekerja untuk sebagian besar lingkungan yang ada. Ia tidak menciptakan stabilitas ekonomi global. Transisi dari komunisme menuju ekonomi pasar dikelola sebegitu parahnya sehingga, kecuali di China, Vietnam, dan sejumlah negara Eropa Timur, kemiskinan meningkat tajam ketika pendapatan terpuruk. Joe Stiglitz menulis, “Globalization today is not working for many of the world’s poor. It is not working for much of the environment. It is not working for the stability of the global economy. The transition from communism to a market economy has been so badly managed that, with the exception of China, Vietnam, and a few Eastern European countries, poverty has soared as incomes have plummeted.” (214)

Joe Stiglitz mempertimbangkan kebijakan ekonomi IMF. Menurutnya, sebagian berdasarkan anggapan yang usang bahwa pasar, dengan sendirinya, mengarah pada hasil yang efisien, tidak memberikan ukuran kebolehan intervensi pemerintah yang diperlukan di dalam pasar sehingga dapat mengarahkan pertumbuhan ekonomi dan membuat setiap orang lebih sejahtera. Dia memaparkan perselisihan pendapat itu ke dalam beberapa gagasan dan konsepsi mengenai peran pemerintah yang berasal dari berbagai gagasan tersebut.

Walaupun gagasan-gagasan itu memiliki peran penting dalam menentukan kebijakan—dalam pembangunan, menyelesaikan krisis, dan dalam masa transisi—berbagai gagasan tersebut merupakan hal utama dalam persepsi yang dirumuskan Joe Stiglitz mengenai bagaimana mereformasi lembaga keuangan internasional yang seharusnya dapat mendorong pembangunan ekonomi, menyelesaikan krisis, dan memfasilitasi transisi ekonomi dunia.

Melalui buku Globalization and It’s Discontents ini, Joe Stiglitz memaparkan kegagalan pasar dan pemerintah, serta tidak begitu naifnya menganggap bahwa pemerintah dapat memperbaiki setiap kegagalan pasar tersebut. Stiglitz menyangsikan pandangan bahwa pasar dengan sendirinya dapat memecahkan setiap permasalahan (ekonomi) yang dialami publik.

Ketidakmerataan, pengangguran, dan polusi adalah persoalan yang membutuhkan keterlibatan peran penting pemerintah. Joe Stiglitz meneliti inisiatif reformasi untuk “pembaruan pemerintahan” (reinventing government)—menjadikan pemerintah bekerja lebih efisien dan lebih tanggap dalam menghadapi setiap krisis yang dihadapi.

Menurut Joe Stiglitz, reaksi negatif terhadap globalisasi berasal tidak hanya dari kerusakan nyata yang dilakukan pada negara berkembang (developing countries) karena kebijakan yang diarahkan oleh ideologi, tetapi juga dari ketidakadilan sistem perdagangan global. Hingga kini, beberapa negara—selain mereka yang memiliki kepentingan tertentu untuk mendapatkan keuntungan dengan membatasi barang yang diproduksi oleh negara miskin—masih tetap memertahankan kemunafikan, berpura-pura membantu negara berkembang dengan memaksa mereka untuk membuka pasarnya terhadap barang dari negara industri maju, sementara pasar mereka sendiri tertutup rapat.Ini merupakan kebijakan yang membuat orang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin terpuruk ke dalam jurang kemiskinan—serta membangkitkan kemarahan. (Syafruddin Azhar)