Friday, September 5, 2008

Zaman Kenisbian: Konsekuensi Perang terhadap Teror


Kambing Hitam Krisis Asia

Judul buku : Zaman Kenisbian: Konsekuensi Perang terhadap Teror
Judul asli : The Age of Fallibility: The Consequences of The War on Terror
Penulis : George Soros
Penerjemah : Dian R. Basuki
Editor : Bambang Harymurti
Penerbit : PDAT (Tempo), Jakarta
Edisi : Desember 2006
Tebal buku : xxxii + 283 hlm.; 22 cm.

Tidak mudah menjadi tokoh sekaliber George Soros. Meski kini hidup bergelimang harta (orang terkaya nomor 80 di dunia menurut Forbes, dengan total kekayaan sekitar US$8,5 miliar) dan aktif di banyak kegiatan sosial dan kemanusiaan, stigma buruk terlanjur melekat dalam diri pria keturunan Yahudi ini. Dia, misalnya, disebut sebagai “penjahat ekonomi”.

Salah satu penyebab cap buruk yang ditujukan kepada pria berusia 77 ini adalah strategi bisnis (investasi) yang selama ini dijalaninya. Sebagai hedge fund manager, Soros cenderung mengejar keuntungan setinggi-tingginya dalam waktu singkat. Keputusan bisnisnya acapkali kontroversial. Inggris, Prancis, dan beberapa negara di Asia telah merasakan penderitaan—krisis moneter dan sosial-politik—akibat sepak terjang investasi bisnis yang dilakukannya.

Sebagai contoh, pada 1988 Soros mengambil alih saham bank asal Prancis, Societé Generalé. Menurut beberapa pemberitaan yang dilansir media massa, ia pernah ditawari untuk membeli saham bank tersebut tetapi ditolaknya. Namun tak lama setelah itu ia menyatakan akan membelinya. Tak ayal, tindakan kontroversialnya ini menimbulkan kecurigaan di kalangan pejabat hukum Prancis. Pada 1989 diadakan penyelidikan atas transaksi bisnis Soros tersebut. Hasilnya, di tahun 2002 terkuak fakta bahwa transaksi yang dilakukannya itu ilegal karena mendapat informasi dari orang dalam (insider trading). Akibat tindakan bisnisnya ini, Soros didenda sebesar US$2 juta. Proses pengadilan bisnis ilegal ini hingga kini belum tuntas.

Tak lama setelah kasus ini, Soros kembali melakukan investasi kontroversial. Pada 16 September 1992, dia menjual (short) mata uang poundsterling senilai hampir US$10 miliar karena berdasarkan analisis dan naluri bisnisnya, mata uang Inggris akan segera turun. Akibat tindakannya itu, pound sterling benar-benar ‘terkapar’ alias knock out.

Tindakan Soros ini memaksa Bank of England (BOE) menempuh langkah darurat. Di antaranya dengan mengerek bunga dan keluar dari European Exchange Rate Mechanism (ERM)—mekanisme penentuan mata uang sebelum euro. Dampaknya, perekonomian global di hari itu pun morat-marit. Pers Inggris menyebut hari itu sebagai “Black Wednesday”. Departemen Keuangan Inggris menghitung kerugian akibat ‘ulah’ Soros ini mencapai 3,4 miliar poundsterling, sedangkan Soros sendiri meraup keuntungan sebesar US$1,1 miliar.

Efek “bola salju” dari tragedi “Black Wednesday” ini merembet ke mana-mana, menyebabkan mata uang di dunia ikut melemah terhadap US$. Kepada The Times (26 Oktober 1992), Soros mengatakan (tanpa merasa bersalah sedikit pun atau merasa berdosa kepada banyak orang di dunia): “Seharusnya kami menjual lebih dari US$10 miliar.”

Krisis Asia (1997/1998), termasuk di Indonesia, disebut-sebut akibat ulah Soros. Ia lagi-lagi dituding sebagai “scapegoat” (kambing hitam) di balik krisis moneter itu. Efek penularan (contagion effect) dari mata uang baht (Thailand) menerjang perekonomian negara di kawasan ASEAN. Pers Thailand menggambarkan sosok Soros seperti “lintah darat” yang senang mengisap darah orang dan menyebutnya sebagai “penjahat ekonomi”. Perdana Menteri Malaysia kala itu, Dr. Mahathir Mohammad, sampai-sampai menyebutnya “moron” (bego). Presiden Rusia, Vladimir Putin, mengatakan Soros bertanggungjawab atas apa yang disebut sebagai “revolusi warna” di Georgia dan Ukraina. Soros, oleh pers Amerika, dituduh mencoba membeli pemilihan setelah dia menentang pemilihan kembali Presiden George W. Bush pada 2004. Tetapi semua tuduhan yang dialamatkan kepadanya itu dikatakannya berlebihan dan tidak berdasar. Ia membantahnya dengan membuktikan fakta-fakta.

Tindak-tanduk dan sepak terjang investasi bisnis yang dilakukan George Soros ini sulit dilupakan orang. Dia pun menyadari hal itu. Kini, ia semakin aktif dalam kegiatan sosial dengan mendirikan dua yayasan sosial, yakni Soros Foundations (SF) dan Open Society Institute (OSI). Seolah ingin menebus dosa-dosa bisnis yang pernah dilakukannya, ia mengucurkan dana jutaan dolar melalui yayasan yang didirikannya ini.

Melalui OSI ini pula, Soros menerbitkan buku pribadinya The Age of Fallibility: The Consequences of The War on Terror, yang diindonesiakan oleh PDAT berjudul: Zaman Kenisbian: Konsekuensi Perang terhadap Teror. Dalam buku yang ditulisnya pada medio 2006 ini, ia mengungkap semua fakta dan mencoba membela diri. Dia menulis bahwa dirinya, melalui yayasan yang didirikannya di beberapa kawasan di dunia, telah membantu rakyat dan pemerintahan setempat keluar dari kemelut sosial, ekonomi, dan politik. “Saya harus mengklarifikasi sikap saya. Tujuan saya ialah menjadikan dunia tempat yang lebih baik.” Tulisnya dalam buku The Age of Fallibility (Zaman Kenisbian) ini. Buku ini mencoba mengklarifikasi semua persoalan dan agenda yang ingin dituntaskannya, termasuk dalam kehidupan filantropis dan kehidupan publiknya.

Perdana Menteri Macedonia, Branko Crvenkovski, menggambarkan George Soros sebagai negarawan tanpa negara. “Negara mempunyai kepentingan, tetapi tidak memiliki prinsip. Soros mempunyai prinsip, tetapi tidak memiliki kepentingan,” ungkap Crvenkovski pada suatu kesempatan. Soros sangat menyukai rumusan ini dan mencoba menjalaninya.

Tentang peran dan sepak terjang Amerika Serikat sebagai “polisi dunia”, Soros menulis (sesuai topik utama buku ini) bahwa kendala utama bagi tatanan dunia yang stabil dan adil ialah Amerika Serikat. “Ini tidak sopan—bahkan, bagi saya, menyakitkan—untuk dikatakan, namun sayangnya saya yakin bahwa hal itu benar. Amerika Serikat terus mencoba menetapkan agenda bagi dunia walaupun pengaruhnya melemah sejak peristiwa 9/11, dan pemerintahan Bush telah menetapkan agenda yang salah... bila ini berlanjut terlalu lama, kita berada dalam bahaya yang akan menghancurkan peradaban kita. Mengubah sikap dan kebijakan Amerika Serikat tetap menjadi prioritas utama saya”. Tulis Soros dalam buku ini. (Syafruddin Azhar)

The Name of the Rose


Metafisik Detektif dan Labirin Konflik

Judul buku : The Name of the Rose
Penulis : Umberto Eco
Penerjemah : Nin Bakdi Soemanto
Penerbit : Bentang Pustaka, Yogyakarta
Edisi : I, Maret 2008
Tebal buku : xxx + 624 hlm.

Umberto Eco merilis novel pertamanya yang terkenal, Il nome della rosa pada 1980. Sebuah misteri intelektual yang mengombinasikan semiotika struktural dalam fiksi, analisis Biblical (yang berhubungan dengan Kitab Injil), studi Abad Pertengahan, dan teori sastra. Pada 1983 novel hebat ini diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul: The Name of the Rose. Sebuah karya intelektual yang luar biasa imajinatif dan penuh kreatif. Novel sejenis ini tak banyak ditulis oleh orang hebat. Satu di antara makhluk genius yang langka itu adalah Umberto Eco, yang disebut-sebut memiliki “misteri intelektual”.
Umberto Eco adalah novelis kelahiran Alessandria, Propinsi Piedmont (Italia), pada 5 Januari 1932. Selain dikenal sebagai kritikus sastra dan budaya, ia juga dikenal sebagai ahli Abad Pertengahan (Italian Medievalist) dan seorang filsuf terkemuka. Eco telah mencapai status ikonik dalam studi kebudayaan. Novelnya diwarnai penguasaannya atas semiotika (semiotics) dan dia adalah salah satu tokoh utama bidang ilmu ini.
Obsesi Umberto Eco dalam menekuni pengetahuan yang terpinggirkan tampak dalam limpahan data pada novelnya The Name of the Rose. Cakupan tulisan dalam novel ini sangat luas, mulai dari budaya pop (pop cultur) hingga filsafat; dari People’s Temple hingga Thomas Aquinas, dari Casablanca hingga Roland Barthes. Eco memiliki wawasan dan ide kreatif yang brilian. Membaca Eco seperti mengajari kita tentang pentingnya observasi dan kritisisme karena kedua topik kembar inilah yang mengistimewakan semua umat manusia yang berpikir.
Umberto Eco lewat novelnya The Name of the Rose, bercerita tentang misteri pembunuhan yang diseting di sebuah biara Benediktin Italia akhir Abad Pertengahan. Masa itu dilukiskan penuh konflik yang melatari novel ini. Banyak tokoh berperan dalam konflik yang beragam. Alurnya disajikan secara detail dan terperinci, sehingga tampak rumit dan berat.
Sejarah, sastra, filsafat, dan cerita detektif menyatu dalam novel The Name of the Rose dengan tokoh utamanya: William, Adso, Abo, Jorge, Salvatore, dan Ubertino. Setingnya dimulai dari rencana pertemuan utusan Fransiskan dan Paus di biara, yang akan membahas ajaran Fransiskan yang dianggap menyimpang oleh Gereja Katolik pada masa itu. Namun sebelum pertemuan itu berlangsung, terjadi serangkaian konspirasi dan skandal pembunuhan misterius. Dikhawatirkan tragedi ini bisa mengganggu proses pertemuan itu.
Ini bukan kisah detektif biasa yang bisa ditebak berdasarkan fakta yang ada. Fakta dan data petunjuk tak dapat menebak akhir dari mainstream fiksi dalam cerita. Umberto Eco justru mengakhiri fiksi dengan klimaks yang menggemparkan dan juga mencengangkan.
Jika pembaca terbiasa dengan gaya cerita Indiana Jones (ikon petualang era 1980-an), maka akan sedikit kecewa karena “petualangan” Eco adalah “petualangan intelektual”. Senjata yang mematikan adalah argumentasi yang membuat pihak lawan terdiam, malu, dan mengalah. Jika ada “petualangan”, maka ada “hal penting” yang diperebutkan. Dalam cerita ini “hal penting” tersebut bukanlah benda berharga seperti emas, tetapi perebutan kekuasaan perpustakaan. Perpustakaan menjadi tema utama dan biarawan menjadi aktor utama dalam “petualangan” ala Eco. Perpustakaan digambarkan memiliki misteri tersembunyi, penyebab terjadinya pembunuhan yang cerdik.
Membaca novel ini membutuhkan kesabaran dan pikiran yang jernih untuk memahami pesan yang disampaikan. Satu hal yang menarik adalah, bahwa Umberto Eco tidak menyebutkan satu kata pun tentang rose (mawar) dalam novel ini, sebagaimana judulnya The Name of the Rose. Saya kira ini sebuah “misteri intelektual” yang melekat pada Eco. Namun, di akhir cerita (hlm. 583), Eco menulis: “stat rosa pristina, nomine nomina nuda tenemus”, yang artinya kira-kira: bunga mawar telah ada jauh sebelum nama mawar itu ada. Namun kita selalu berpegang pada namanya belaka dan mengesampingkan bunga mawar itu sendiri. (Syafruddin Azhar)