Monday, August 4, 2008

The Power of Israel in USA

Lobi Yahudi Pemerintahan Teroris

Judul buku : The Power of Israel in USA
Penulis : James Petras
Penerjemah : Retno Wulandari
Penerbit : Zahra, Jakarta
Edisi : 1, Januari 2008
Tebal buku : 336 hlm.

Terdapat gambaran paling mencengangkan dari kekuatan Yahudi (Israel) dalam membentuk kebijakan Amerika Serikat (AS) di wilayah Timur Tengah yang bertentangan dengan kepentingan perusahaan minyak raksasa. Gambaran itu ditunjukkan dalam kebijakan AS-Iran. Seperti dicatat Financial Times (18-19 Maret 2006), “Perusahaan minyak internasional menahan proyek multitriliun dolar di Republik Islam Iran, menimbang kemandekan diplomatik—ancaman AS secara ekonomi dan militer—atas program nuklir negara itu”. Satu pertanyaan yang selalu muncul adalah apakah “perang demi minyak” itu sama dengan “perang demi kepentingan perusahaan minyak raksasa”?
Berdasarkan laporan dari otoritas PBB, antara 30 Maret–12 April 2006, militer Israel telah meluncurkan 2.300 artileri, peluru meriam, dan 34 misil ke Jalur Gaza. Defense for Children International melaporkan, 4.000 bocah Palestina telah ditangkap dalam lima tahun terakhir (2001-2006), yang saat ini berada dalam penjara dengan siksaan kejam.
Setelah pembalasan oleh warga Palestina, militer Israel menangkap para ibu rumah tangga dan istri orang-orang yang ada dalam daftar “buron” yang dibuat pemerintah Israel. Mereka dijadikan sandera di pusat-pusat penahanan untuk memaksa para “buron” menyerah kepada otoritas militer negara Zionis itu. Masjid dirobohkan dan banyak warga Palestina beserta keluarganya dipaksa keluar dari rumah-rumah mereka. Sementara itu, tentara Israel mengobrak-abrik rumah mereka tanpa belas kasihan dan perikemanusiaan.
Namun demikian, tak satu pun ekspedisi pembunuhan kejam yang dilakukan para militer Israel itu dilaporkan oleh media massa, baik cetak maupun elektronik, seperti National Public Radio, atau dalam lembaran propagada Lobi Yahudi seperti Daily Alert. Tidak satu pun pemimpin AS atau Uni Eropa yang mengucapkan sepatah kata kritikan atas teror keji oleh bangsa Israel yang tengah berlangsung secara masif itu.
Tetapi, ketika kelompok Palestina mengakui aksi bom bunuh diri dan Hamas membela hak atas tindakan pembalasan itu, barulah seluruh elite politik di Washington (AS) dan media massa menghujat tindakan itu sebagai aksi terorisme. Secara eksklusif, pihak Lobi Yahudi (terutama mereka yang bercokol di negara Barat sebagai konglomerat media massa) memfokuskan propagandanya pada serangan tunggal dan sporadis oleh warga Palestina.
Seluruh lobi pro-Israel dan semua juru bicara di Kongres serta Eksekutif AS mengeluarkan propaganda kilat yang sukses membengkokkan kebijakan pemerintah AS atas blokade genosida Israel. Pejabat dan elite politik AS dilarang bertemu dengan semua unsur Hamas dalam kapasitas apa pun. Sementara itu, para diplomat AS menekan semua negara di Eropa, Arab, Asia, dan Amerika Latin agar bergabung dalam blokade total atas semua sumbangan kemanusiaan bagi masyarakat Palestina yang semakin menderita itu.
Semua “kebungkaman” dan ketidakadilan kemanusiaan yang sungguh nyata dari kalangan Barat (dan masyarakat Eropa) itu dilaporkan oleh James Petras (Profesor Emeritus Binghamton University, AS) dalam buku The Power of Israel in USA. Ini adalah buku yang membuka mata dunia, terutama bagi pejuang demokrasi dan penentang imperialisme.
James Petras adalah salah seorang dari segelintir individu—baik dari kalangan akademisi maupun bukan—yang berani mengkritisi lobi pro-Israel. Sebagaimana disampaikan oleh salah seorang intelektual, penulis, dan jurnalis terkemuka Israel, Israel Shamir, Ia (Petras) telah memulai langkah dramatis yang sangat berani, di mana Noam Chomsky dan Zunes berhenti. Secara kritis dan pedas, Petras “menghujat” Chomsky sebagai ilmuwan yang tidak punya rasa malu pada kualitas intelektualnnya. Chomsky bersedia “menutup” mulut dan penanya demi eksistensi ide megalomania tentang “Israel Raya”. Padahal, kata Petras, semua orang di dunia mengenal dan mengetahui reputasi kejujuran intelektual Noam Chomsky.
Petras mengatakan, orang sekaliber Chomsky pun “tunduk” kepada Lobi Yahudi pro-Israel. Padahal, Chomsky dianggap sebagai pemimpin intelektual AS oleh para cendekiawan dunia. Sebagian besar karena kritik vokalnya atas kebijakan luar negeri AS dan beragam ketidakadilan yang diakibatkan oleh kebijakan tersebut. Namun semua kelebihan analisis itu sama sekali tidak ada ketika mendiskusikan formulasi kebijakan luar negeri AS di Timur Tengah, terutama peran kelompok kebijakan luar negeri AS di Timur Tengah. Juga peran Lobi Yahudi pro-Israel dan para pendukung Zionis mereka dalam pemerintahan. (hlm. 300)
Dalam buku yang luar biasa ini, Petras memuntahkan kemuakannya tentang ide megalomania “Israel Raya” yang kini telah membelenggu denyut kehidupan bangsa Amerika. Dia pun mengungkap skandal spionase Israel terhadap AS. Bagaimana kekuatan Zionis dan Neokonservatif berhasil membentuk pemerintahan AS menjadi “pemerintahan teroris” yang sesungguhnya; rekayasa ancaman nuklir Iran, serta rekayasa kartun Nabi di koran Denmark, Jyllands-Posten untuk menumbuhkan kebencian di antara kaum muslim dan dunia Barat.
James Petras, lewat bukunya ini menganalisis perihal mesin politik yang bertanggung jawab atas begitu banyak penderitaan masyarakat di Timur Tengah. Ini merupakan sebagian dari kekuatan dan pengaruh Israel dan Lobi Yahudi dalam memengaruhi kebijakan AS tentang kawasan di Timur Tengah. Buku The Power of Israel in USA adalah analisis provokatif tentang persoalan serius yang harus didiskusikan dan diperdebatkan secara luas.

(Syafruddin Azhar adalah kolumnis, pengamat perbukuan, dan peneliti pada Lembaga Pemerhati Kebijakan Publik (LPKP), Jakarta)

The Name of the Rose


Umberto Eco dan Labirin Konflik

Judul buku : The Name of the Rose
Penulis : Umberto Eco
Penerjemah : Nin Bakdi Soemanto
Penerbit : Bentang Pustaka, Yogyakarta
Edisi : I, Maret 2008
Tebal buku : xxx + 624 hlm.

1980. Umberto Eco merilis novelnya yang terkenal, Il nome della rosa. Sebuah misteri intelektual yang mengombinasikan semiotika struktural dalam fiksi, analisis Biblical (yang berhubungan dengan Kitab Injil), studi Abad Pertengahan, filsafat, sejarah, dan teori sastra.
1983. Novel hebat ini diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul: The Name of the Rose. Sebuah karya intelektual yang luar biasa imajinatif dan penuh kreatif. Novel sejenis ini tak banyak ditulis oleh orang hebat. Satu di antara makhluk genius yang langka itu adalah Umberto Eco, yang disebut-sebut memiliki “misteri intelektual”.
Kakeknya menyebutkan bahwa Umberto Eco adalah seorang bayi yang terlantar, dan bahwa ia diberi nama Eco oleh seorang pegawai sipil yang penuh kreatif. Diduga, nama tersebut merupakan akronim dari adagium (ungkapan) “ex caelis oblatus”, tawaran dari surga. Eco sangat terobsesi oleh kasih sayang neneknya, dan seperti Jorge Luis Borges (1899-1986) atau Gabriel García Márquez (lahir: 1928), dia menyatakan bahwa dirinya mengembangkan kesukaannya terhadap hal-hal yang absurd dari selera humor neneknya yang ganjil.
Umberto Eco adalah novelis kelahiran Alessandria, sebuah kota kecil di sebelah timur Turin yang berjarak sekitar 60 mil di sebelah selatan Milan dan di bagian barat laut Propinsi Piedmont (Italia), pada 5 Januari 1932. Selain dikenal sebagai kritikus sastra dan budaya, ia juga dikenal sebagai ahli Abad Pertengahan (Italian Medievalist) dan seorang filsuf terkemuka. Eco telah mencapai status ikonik dalam studi kebudayaan. Novelnya diwarnai penguasaannya atas semiotika (semiotics). Dia adalah salah satu tokoh utama bidang ilmu ini.
Obsesi Umberto Eco dalam menekuni pengetahuan yang terpinggirkan tampak dalam limpahan data pada novelnya The Name of the Rose. Cakupan tulisan dalam novel ini sangat luas, mulai dari budaya pop (pop cultur) hingga filsafat; dari People’s Temple hingga Thomas Aquinas (1225-1274), dari Casablanca hingga Roland Barthes (1915-1980). Eco memiliki wawasan yang mumpuni dan penuh dengan ide-ide yang brilian. Membaca Eco seperti mengajari kita tentang pentingnya observasi dan kritisisme, karena kedua topik kembar inilah yang mengistimewakan semua umat manusia yang berpikir.
Umberto Eco lewat novelnya The Name of the Rose, bercerita tentang misteri pembunuhan yang diseting di sebuah biara Benediktin Italia (1327) di akhir Abad Pertengahan. Sejarah biara Italia di Abad Pertengahan itu dilukiskan penuh dengan konflik dan intrik yang melatari novel ini. Latar belakangnya memang tidak dikisahkan secara runtut. Banyak tokoh penuh intrik berperan dalam konflik yang juga sangat beragam. Alur penulisannya disajikan secara detail dan terperinci, sehingga tampak rumit dan berat.
Sejarah, sastra, filsafat, dan cerita detektif menyatu dalam novel The Name of the Rose dengan tokoh utamanya: William, Adso, Abo, Jorge, Salvatore, dan Ubertino. Setingnya dimulai dari pertemuan antara utusan Fransiskan dan Paus di sebuah biara, yang akan membahas ajaran Fransiskan yang dianggap menyimpang oleh Gereja Katolik pada masa itu. Namun sebelum pertemuan itu berlangsung, terjadi serangkaian konspirasi dan skandal pembunuhan misterius. Dikhawatirkan tragedi ini bisa mengganggu proses pertemuan itu.
Latar belakang penulisan yang ruwet (njlimet) seperti ini merupakan ciri khas profesor semiotika ini di hampir seluruh bagian dari novel-novelnya. Umberto Eco juga menulis novel laris (best seller) lainnya seperti Foucault’s Pendulum (Il pendolo di Foucault, 1988), The Island of the Day Before (L’isola del giorno prima, 1994), Baudolino (2000), dan The Mysterious Flame of Queen Loana (La Misteriosa Fiamma della Regina Loana, 2004).
Kekhasan atau keunikan novel karya Umberto Eco acap kali bercerita dengan detail yang rumit serta mengeksplorasi ketegangan dan intrik. Apalagi menyangkut semiotika, perlambang yang ada pada gambar yang menghiasi gereja atau gambar yang dilukis di pinggir buku literatur, bahkan pada mimpi. Eco menggambarkan detail yang tidak wajar tentang makhluk aneh yang membawa pesan tertentu. Perdebatan tentang tawa, tentang kemiskinan, tentang kaum bidah di kalangan umat Nasrani, dan mimpi ajaib si Adso.
Detail penggambaran tragedi pembunuhan beruntun terhadap para biarawan di suatu kompleks biara, disajikan dengan sangat menarik. Alur ceritanya berjalan penuh kejutan dan memikat perhatian pembaca, dengan tokoh yang masing-masing memiliki rahasia dan kepentingan pribadi. William dan Adso berusaha meraba-raba dalam ‘kegelapan’ tentang rahasia dan kepentingan pribadi masing-masing tokoh itu untuk menemukan titik terang dari misteri yang meliputi pembunuhan beruntun yang penuh rahasia.
Ini bukan kisah detektif biasa yang bisa ditebak berdasarkan fakta yang ada. Fakta dan data petunjuk tak dapat menebak akhir dari pengarusutamaan (mainstream) fiksi dalam cerita. Umberto Eco justru mengakhiri kisah penuh konfliknya dalam The Name of the Rose dengan klimaks yang menggemparkan dan juga mencengangkan. Diawali dari pengembaraan yang sepi dan diakhiri dengan kehancuran yang juga sepi. Secara konsisten, Eco menggunakan logika abduksi sebagai metode pada novel The Name of the Rose ini.
Novel karya Umberto Eco ini dibagi dalam tujuh bab. Tiap-tiap bab diceritakan secara detail pengaruh dan penyebab banyak kejadian dalam biara, di mana penggunaan waktu pun dibagi dalam waktu yang berlaku di akhir Abad Pertengahan di Italia.
Garis besar fiksi novel ini adalah perjalanan seorang calon biarawan yang menemani gurunya dalam sebuah petualangan ala biarawan. Jika pembaca terbiasa dengan gaya cerita Indiana Jones (ikon petualang era 1980-an), maka akan sedikit kecewa karena “petualangan” Umberto Eco adalah “petualangan intelektual”. Senjata yang mematikan adalah argumentasi yang membuat pihak lawan terdiam, malu, dan mengalah.
Jika ada “petualangan”, maka ada “hal penting” yang diperebutkan. Dalam cerita ini, “hal penting” tersebut bukanlah barang mahal seperti berlian atau harta benda berharga lainnya, tetapi perebutan kekuasaan perpustakaan. Perpustakaan menjadi tema utama dan biarawan menjadi aktor utama bagi “petualangan” ala Umberto Eco. Perpustakaan digambarkan memiliki misteri tersembunyi, penyebab terjadinya pembunuhan yang cerdik.
Membaca novel Umberto Eco ini membutuhkan kesabaran dan pikiran yang jernih untuk memahami pesan yang disampaikan. Satu hal yang menarik adalah, bahwa Eco tidak menyebutkan satu kata pun tentang rose (mawar) dalam novel ini, sebagaimana judulnya The Name of the Rose. Saya kira ini sebuah “misteri intelektual” yang melekat pada Eco. Namun, di akhir cerita (hlm. 583), Eco menulis: “stat rosa pristina, nomine nomina nuda tenemus”, yang artinya kira-kira: bunga mawar telah ada jauh sebelum nama “mawar: itu ada. Namun kita selalu berpegang pada namanya belaka dan mengesampingkan bunga mawar itu sendiri. Sebuah adagium penuh makna yang membuktikan labirin fiksi yang menyatu dengannya.

(Syafruddin Azhar adalah kolumnis dan pemerhati buku, tinggal di Jakarta)