Thursday, August 28, 2008

Ahmadinejad: The Nuclear Savior of Tehran



Sang Nuklir dari Tehran

Judul buku : Ahmadinejad: The Nuclear Savior of Tehran
Penulis : Adel el-Gogary
Penerjemah : Tim Kuwais
Editor : Cecep Ramli dan Ito
Penerbit : Pustaka Iman, Jakarta
Edisi : I, April 2007
Tebal buku : x + 337 hlm.

Konon, keberatan Amerika Serikat (AS) terhadap pengembangan proyek nuklir Iran hanya untuk kepentingan negeri Paman Sam itu sendiri. Presiden George W. Bush tidak ingin ada negara lain di dunia—selain Amerika Serikat dan Israel—menguasai teknologi nuklir ini. Padahal, Presiden Ahmadinejad kembali menegaskan bahwa semua negara di dunia berhak memanfaatkan teknologi tinggi, termasuk teknologi nuklir.
Sebuah narasi hidup tentang Presiden Ahmadinejad dan revolusi nuklir di Iran (untuk perdamaian dunia), dibeberkan secara kritis dan komprehensif dalam buku Ahmadinejad: The Nuclear Savior of Tehran.
Tidak diragukan lagi, Ahmadinejad adalah Presiden Iran yang menghebohkan dunia yang membawa Republik Islam Iran kembali ke wacana politik internasional. Buku ini merupakan pengantar yang baik untuk lebih mengenal dan memahami Presiden Ahmadinejad serta kebijakan politik luar negeri Iran yang populer.
Ada sebagian orang yang memiliki kelebihan yang tak dapat diungkapkan dengan kata-kata. Pengaruhnya luas, perannya lebih besar dari gelar yang disandangnya, daya tariknya tak bisa dihentikan atau dibatasi, serta impiannya setinggi langit dan seluas samudera. Itulah profil singkat yang dimiliki Presiden Ahmadinejad.
Ketokohan Ahmadinejad dikatakan sebagai perpaduan tiga pribadi dari tiga zaman yang berbeda. Ia pun dianggap sebagai salah satu keturunan para pemimpin yang memiliki wawasan kenabian yang mulia. Kepribadian dan popularitasnya merupakan perpaduan agung antara wawasan keislaman dan patriotisme Hussain bin Ali r.a, keagungan Presiden Jamal Abdul Nasr, serta memiliki wawasan luas dan penyabar seperti Mahatma Gandhi.
Mahmoud Ahmadinejad terlahir di era globalisasi, di sebuah negeri yang masyarakatnya memegang teguh tradisi keagamaan yang meraka anut. Masyarakat Iran juga sangat teguh dalam pendirian dan teguh memegang kata bijak, “Bersahabatlah dengan siapa saja, sekalipun dengan serigala; yang penting kapakmu selalu siap.”
Barangkali pandangan inilah yang ada di sebagian masyarakat Iran. Ketika Presiden Ahmadinejad mengumandangkan revolusi nuklirnya, segara disambut meriah oleh rakyatnya. Pengalaman pahit yang dialami rakyat Palestina dan Irak, agaknya menjadi momok bagi masyarakat Iran. Presiden Ahmadinejad dan rakyatnya berkeyakinan bahwa Amerika Serikat merupakan pimpinan para ‘serigala’ yang mesti diwaspadai. Serigala-serigala ini senantiasa menunggu kesempatan untuk menerkam suatu negeri di kawasan Timur Tengah demi minyak, air, dan tanah jajahan. Serigala kecil, yakni Israil, telah berhasil memangsa Palestina. Sementara ‘serigala’ lainnya, yaitu negara Barat, menari-nari di Dewan Keamanan PBB, dengan tarian “hukum internasional”.
Di zaman seperti sekarang ini bagi rakyat Iran, kapak haruslah selalu siap. Namun kapak tidak ada gunanya jika tak ada tangan yang menggerakkannya. Seperti pada pemahaman, bahwa tak ada jihad—untuk membela kebenaran dan mempertahankan hak—tanpa adanya pasukan. Dengan pemikiran sederhana seperti ini, timbul keputusan yang sangat sulit namun harus ditempuh, yakni mengaktifkan kembali program pengayaan nuklir supaya Iran memiliki alat proteksi untuk melindungi diri dari segala ancaman, baik teknologi maupun militer. Mustahil bagi Iran dengan sejarah masa lalunya yang agung sebagai sebuah imperium besar, yakni Persia, membiarkan begitu saja wilayahnya dijajah dan diinjak-injak negara asing.
Sejak kemunculan pertamanya ke hadapan publik, Ahmadinejad adalah seorang yang sederhana, berperasaan halus, dan ramah. Dia adalah pemimpin bagi para pelajar yang tak mau tunduk begitu saja pada aturan universitas yang korup dan kerajaan yang diktator. Dia adalah patriot baru yang telah terdidik di madrasah kenabian. Dia tumbuh di bawah naungan pemikiran Imam Khomeini yang pernah berkata, “Jika Amerika senang kepadamu, maka ada yang patut dipertanyakan dengan akidahmu!”
Jika zaman itu adalah manusia, maka zaman yang hebat itu telah mempertemukan dua peristiwa penting yang terpisah selama 50 tahun. Di tahun 1965, Jamal Abdul Nasr menjadi pemimpin dunia Arab, setelah menentang AS karena menolak mendanai proyek pembangunan as-Saddul ‘Aaliy (bendungan raksasa Aswan) yang terletak di sebelah selatan Mesir. Akhirnya ia memutuskan untuk menasionalisasi perusahaan Terusan Suez, yang dikuasai Inggris dan Prancis. Tak pelak, ia harus berhadapan dengan kekuatan perang tiga negara (Inggris, Prancis, dan Israel) dalam pertempuran yang tidak seimbang. Namun demikian, Nasr punya prinsip, bahwa yang lemah tidak boleh mengalah begitu saja.
Lahirlah di negeri para mullah ini seorang pemimpin berkepribadian tangguh, Mahmoud Ahmadinejad. Dialah harapan masyarakat Iran—dan juga masyarakat di kawasan Timur Tengah secara umum—untuk membangun kepercayaan diri dan patriotisme agar tidak mengalah begitu saja terhadap hegmoni Amerika dan Zionis Israel.

Syafruddin Azhar adalah kolumnis, pengamat perbukuan, dan peneliti pada Lembaga Pemerhati Kebijakan Publik (LPKP) Jakarta.

No comments:

Post a Comment